Bab 11

1948 Kata
"Maksud? Jadi itu siapa?" Ben bertanya takut-takut, sekujur tubuhnya merinding seketika. Ben semakin dalam mencari perlindungannya pada Geya bahkan mengait lengan Geya, membuat Geya memutar bola matanya. "Lo tau jawabannya." Diah menjawab dengan santai. Ben meneguk air ludahnya kasar. Wajahnya pucat pasi. Pada akhirnya mereka berempat hanya diam sampai suara itu menghilang dengan sendirinya. Aarav, Ben, Geya dan Diah secara serentak memandangi pintu itu dalam diam. "Udah jam berapa?" tanya Diah pada Aarav yang menggunakan jam. "Jam set 12." "Bentar lagi." ujar Geya was-was. "Menurut kelian apa yang terjadi di luar?" tanya Diah. "Entah." Ben mengendikkan bahunya tak tahu menahu. Ben masih takut jadi ia tak ingin berpikir yang bermacam-macam. "Kenapa ya nggak boleh tidur jam sekarang? Padahal kan orang bilang yang ngeri tu di atas jam 11." Geya melemparkan pertanyaan membingungkan untuk sahabatnya itu. Pasalnya, menurut Geya, hantu akan menganggu mereka jika tengah malam, bukannya membiarkan mereka begitu saja. Aarav, Diah dan Ben bingung untuk menjawab pertanyaan Geya. "Nanti kalau udah jam 12 diam kalian semua." tegas Aarav tanpa bantahan. "Lah kenapa gitu?" Ben bertanya bingung. "Bisa aja kan setannya di luar jadi mereka nunggu gitu." jelas Aarav terus terang. Walaupun tidak mengerti Geya, Ben dan Diah menjadi diam saat waktu lima menit lagi akan menuju jam dua belas malam. Sampai tepat di jamnya, suara aneh dari luar mulai terdengar, suara yang beradu dengan benda-benda kasar yang saling beradu hingga memunculkan bunyi yang begitu keras, bahkan ada yang berteriak histeris. Pintu mereka bahkan dipukul-pukul kuat dari luar, sangat brutal nyaris membuat mereka takut apabila pintu itu rusak. Tangan Diah mulai sedikit mengeluarkan darah. Ada mahkluk jahat yang berada di luar, hal itu membuat mereka menutup mata erat. Aarav tak menutup mata, Aarav justru menatap tangan Diah yang bergetar mengeluarkan darah, Aarav berinisiatif memegang tangan itu untuk digenggam kuat hingga membuat tangan itu tak bergetar lagi. Darah dari tangan Diah mengotori telapak tangan Aarav. Suara gedoran pintu juga sudah terdengar lirih. Sepuluh menit kemudian baru suara dari luar sana akhirnya mereda, karena reda mereka langsung membuka mata kembali. Tepat detik yang sama, Aarav melepaskan genggaman dari tangan Diah. Dan bersikap biasa aja. Aarav juga mengelap darah itu dibalik bajunya jadi Diah tak bakal curiga bahwa Aarav memegang tangannya. Geya menyeka kasar air mata yang membasahi pipi dengan tangannya yang bergetar hebat. "Ngeri banget sumpah suaranya." Geya bersuara serak, isak tangis itu masih terdengar. Ben masih merinding. "Nggak nyangka, gue yakin yang tinggal di sini pasti penasaran sama suara yang di luar dan langsung hampiri suara itu dan disitu mereka langsung mati, gue yakin penyebabnya itu." jelas Ben panjang lebar, takut-takut. "Jadi apa ada yang selamat?" tanya Aarav pada Ben. "Ada." Ben membalas ucapan Aarav. "Gimana bisa dia selamat?" Aarav langsung bertanya pada Ben. Cukup membuat Aarav penasaran, karena mereka juga menginginkan kata 'selamat' untuk keluar dari rumah 'angker ' ini sama-sama. "Ada keluarga yang sewa rumah ini, yang selamat cuman satu pria dari lima orang. Para warga bertanya, apa yang terjadi? Dan pria itu hanya langsung berlari kencang pergi dari desa ini." Ben menjelaskannya dengan suara kecil. "Apa polisi nggak nyelidiki?" Aarav bertanya kepo pada Ben. "Setiap ada yang meninggal, nggak ada jejak sama sekali bahkan tubuh yang meninggalkan pun sudah tidak ada lagi. Katanya di sini ada pemakan manusia." Ben merinding sendiri ucapannya, sangat mengerikan. "Kan ada pria yang selamat itu, kenapa polisi nggak diminta kejelasan sama yang selamat itu?" Aarav bertanya lagi. Ben menggeleng pelan. "Ya mana gue tau, di dengar-dengar sih pria itu menghilang ntah ke mana." Ben berkata tak terlalu pasti. "Yaudah sekarang mending kita tidur aja." Diah berucap dengan tegas. Setelah Diah membersihkan tangannya dari darah. Tadi, Diah juga merasakan ada memegang tangannya erat namun Diah tak terlalu memusingkan hal itu karena dugaan Diah pasti Geya karena Geya berada disampingnya. Diah langsung naik ke atas kasur itu, begitupun dengan Geya. Sedangkan Aarav dan Ben juga ikut tidur di atas kain tebal yang mereka hamparkan ke atas lantai. Aarav, Ben, Geya dan Diah sudah memposisikan diri senyaman mungkin diatas kasur itu. Geya menatap langit-langit dengan tatapan menerawang kosong. "Gue harap ini semua mimpi, dan pas gue bangun, gue udah ada di rumah sendiri." Geya memanjatkan doa itu sebelum tidur, Geya mengaminkan doa itu sungguh-sungguh diikuti Diah yang mendengarnya. Diah dan Geya pun mulai memasukkan alam mimpi dengan tenang. Begitu juga dengan Aarav dan Ben dibawah lantai. Tanpa mereka sadari, ada wanita berambut panjang menutupi wajahnya yang memperhatikan mereka dengan raut wajah kesedihan dan kehampaan. Diah terbangun mendadak karena terkejut dan sekaligus merasakan sesak kencing yang menderanya. Diah mendongak kearah jam dinding di depannya, sudah pukul enam pagi saat Diah melihat jam. Diah pun mulai turun dari ranjang tanpa membangunkan Geya untuk menemaninya. Diah berjalan menuju kamar mandi, hanya saja langkahnya terhenti saat bayangan wanita dan seorang pria yang saling memukuli tubuh mereka masing masing, bahkan air bersih itu sekarang sudah merubah menjadi warna merah sebab wanita itu menyeburkan kepala sang pria, tidak tinggal diam wanita itu menebas kepala pria itu.  Diah syok, dia membeku di tempatnya depan pintu, Diah belum masuk kedalam kamar mandi. Dan yang membuat Diah semakin jantungan ketika kepala pria itu penuh darah itu bergerak cepat ke arahnya dan seakan melayang tepat ke wajahnya juga. "AAAAAKKHH!" Diah menjerit ketakutan. Dia menutup kedua matanya dengan tangan. Diah sudah jatuh terduduk didepan pintu kamar mandi. Diah terjaga, apa itu tadi? Diah mimpi. Iya ini hanya mimpi. Diah memegang lengannya dengan gusar, tidak lupa Diah melihat ke arah kamar mandi. Dan tampak kamar mandi itu tenang, tak ada tanda-tanda seperti yang ada dalam mimpi Diah itu. Sekarang masih jam tiga malam. Dengan keberanian, Diah mulai masuk ke dalam kamar mandi dan menyelesaikan hajatnya. Diah keluar dari kamar mandi. Diah berjalan menuju tempat tidur, namun ketika pertengahan dengan pintu luar tiba-tiba saja Diah tersentak kaget ketika mendengar ketukan keras dari luar. "Buka pintu!" Ucapan seseorang dari luar membuat Diah mengernyit heran, sekaligus bingung apa ini? Apa ada orang selain mereka? Tapi setahunya tidak ada orang selain mereka. Jujur, suara itu tampak seperti manusia normal yang meminta untuk dibukakan pintu. "Buka pintu!" Suara ketukan pun semakin kencang dan brutal. Membuat keringat dingin mengucur dari pelipis Diah. Diah meremas kedua tangannya yang bergetar ketakutan. Perlahan namun pasti, Diah berjalan kearah pintu luar itu, tepat sekarang ini Diah sudah berada sangat dekat dengan pintu luar tersebut. "Siapa?" tanya Diah lirih.  "Aku." Untuk kesekian kalinya, Diah dikejutkan ketika ucapannya direspon begitu cepat dari arah luar namun membuat Diah bingung. "Aku siapa?" tanya Diah sekali lagi. "Sahabat kamu." Diah semakin heran, tak mengerti. Entah gerakan dari mana, Diah perlahan memegang gagang pintu itu. Diah seperti baru saja dihipnotis, agar bisa menurut atas perintah dari luar. "Buka pintu dong, capek nih main di luar sendirian, mama nggak seru." rengek seseorang dari luar dengan memelas, seperti hendak menangis. Lagi-lagi sahutan terdengar, hanya saja bukan dari wanita tadi tapi dari suara anak kecil yang mengemaskan. Diah bingung sekali, apa benar ada orang lain disini kecuali mereka? Apakah ada manusia lain yang juga terperangkap disini seperti mereka? pertanyaan itu penuh dalam otak Diah. Diah bingung, apa harus ia membuka pintu? Keringat dingin mengalir semakin banyak keluar dari sekujur tubuhnya. "Diah, ngapain lo?"  Tangan Diah yang hendak membuka pintu langsung terhenti. Diah menatap Geya yang terduduk. Geya terbangun karena Diah sangat ribut. Tepat detik itu juga, Diah seakan sadar dan menjauh dari pintu. Diah berlari secepat mungkin kearah kasur, dan melompat ke kasur. Diah langsung menyelimuti tubuhnya, menutup seluruh tubuhnya sangat ketakutan. Diah menjadi khawatir kalau begini, Diah saja hampir terpengaruh untuk membuka pintu itu dan apabila Geya tak menegurnya. Entahlah bagaimana nasib Diah nanti.  "Ada orang di luar." cicit Diah sangat pelan. Geya pun ikut kembali merebahkan diri disamping Diah, dan menyelimuti juga tubuhnya yang kedinginan. "Apa gue buka aja ya? orang kayak seperti kita!" Sepertinya Diah masih memikirkan seseorang dibalik pintu luar itu. Mungkin, hipnosis yang hinggap dalam tubuh Diah masih bekerja dengan baik. Diah tampak baru setengah sadar. "Nggak ada orang kali di luar." Geya langsung menahan lengan Diah, ketika dirasakan oleh Geya, Diah ingin beranjak bangun lagi dari kasur. "Jangan aneh-aneh, Diah! bahaya!" Geya memberi peringatan yang tak main-main. Detik itu juga, Diah sudah tersadar sepenuhnya. Diah melanjutkan tidur. Kalau dipikir-pikir, tak mungkin ada manusia yang terperangkap disini. Tok Tok Tok Suara ketukan terjadi lagi lebih jelas. Hal itu membuat Diah menatap Geya seakan memberi tahu bahwa apa yang ia bilang adalah kenyataan. Geya terkejut mendengar hal itu, tak menyangka hantu diluar sana masih mengganggunya. Apa tak cukup saat jam dua belas tadi? Geya takut, lonceng kematian seakan terus memanggil mereka tanpa henti. "Jangan Di." Geya memasangkan wajah peringatan pada Diah. Mereka saling bersitatap, Geya dengan tatapan raut muka pias sedangkan Diah tak berekspresi. "Kenapa?" tanya Diah bingung. Geya menatap Diah tak mengerti. "Katanya lo bisa ngerasain makhluk halus tapi kenapa itu aja lo nggak ngerasa."  Diah menatap kukunya, tak ada darah yang keluar dari kukunya. Kukinya baik-baik saja disana, Diah juga menjadi bingung sendiri. "Tapi gue kali ini ngerasa dia bukan setan deh." jelas Diah pada Geya. "Kayaknya kemampuan lo udah hilang." Geya berkomentar. "Apa bisa hilang gitu aja?" ujar Diah bingung. Tak mungkin kan kemampuan itu menghilang tiba-tiba tanpa ada alasan. Tapi Dian merasa yang mengetuk pintu kamar mereka bukan hantu jahat. "Ya bisa, mungkin setan di sini ngelakuin hal apapun biar orang ni nggak bikin lo curiga." Geya menjelaskan pada Diah menurut pendapatnya. Diah tak menjawab lagi ucapan Geya, dia menjadi bingung harus menjawab bagaimana. Silsilah ini sangat rumit menurut Diah. Diah seperti tak menemukan jawaban itu. "Buka pintunya banyak banget ngomong." bentak cewek yang berada di luar itu. Mengetuk pintu itu sangat brutal. Tak hanya mengetuk tetapi juga seperti di tendang kuat-kuat. "Kan apa gue bilang." Geya bergedik menyeramkan. Geya langsung membawa tubuh Diah untuk dipeluk dalam dekapannya. Geya menyembunyikan wajahnya di tubuh depan Diah, tak berani menatap kearah pintu yang terguncang itu. "Buka pintunya!" Seseorang diluar menjerit kuat-kuat membuat Geya semakin membenamkan wajahnya dalam dekapan Diah karena menjadi sangat takut sekali. Begitu juga yang dilakukan Diah, Diah membalas pelukan Geya dan mereka saling memejamkan mata. "Ngeri banget." Bibir Geya bergetar. Ben dan Aarav secara kompak terbangun dari tidur nyenyaknya karena begitu ribut. Aarav dan Ben menatap Geya dan Diah di atas kasur dengan mata setengah menyipit, Aarav dan Ben masih merasakan kantuk yang berat. "Ada apa?" Ben bertanya dengan serak, mata Ben setengah terbuka. Diah menoleh kearah Ben takut-takut, Diah pun menjawabnya dengan sangat pelan. "Ada orang di luar."  "Siapa?" Aarav bertanya bingung. Pasalnya mereka tak mendengar apapun yang aneh. Aarav dan Ben terbangun karena Geya dan Diah yang keasikan berbicara sampai terdengar di telinga Ben dan Aarav. Tepat terbangunnya Ben dan Aarav, suara pintu dari luar itu menghilang begitu saja. Tak ingin bertanya lagi, Ben dan Aarav memilih melanjutkan tidur mereka. A "Menurut lo di luar itu siapa ya?" Diah masih mengajak Geya yang berbicara. Terpaksa Geya membuka mata, untuk menatap Diah yang memandangnya dengan bingung. Geya menghela napas panjang. "Lo kenapa sih Di? Mana ada orang lain selain kita di sini, mungkin mereka adalah korban di rumah ini." jelas Geya pada Diah. Akhirnya, Diah hanya bisa mengangguk saja karena bisa jadi benar ucapan Geya. Melihat anggukan Diah, Geya memilih menutup matanya lagi. "Tangan lo nggak berdarah, itu artinya setan ancaman kita udah nggak ada lagi kan. Kan tangan lo berdarah kalau ada tu setan." Geya memberitahu satu hal yang membuat Geya bisa menjadikan alasan kenapa kuku Diah tak mengeluarkan darah.  Diah membekap mulut Geya, Diah menatap sekitarnya dengn waspada. "Diam!" tegur Diah pada Geya yang sedikit tersentak karena jari Diah yang hinggap di bibir Geya. Geya hanya menghela napas panjang, jengah. "Gimana kalau sampai setan itu datang ke sini, setan itu tau kalau kita ngomongin dia." Diah masih menelaah sekitarnya dengan rasa penuh kewaspadaan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN