Bab 10

1958 Kata
"Kalian aja gue nggak mau, bisa bisa mahkluk yang ada di rumah ini marah nantinya." ujar Diah penuh peringatan. Geya mengangguk setuju. "Gue juga nggak mau." Geya juga menimpali. Ben dan Aarav saling melirik akhirnya mereka menggeleng secara bersamaan, bagaimana tidak apa yang di ucap Diah bisa saja benar. Diah dipercayakan beberapa kali ini, kata-katanya selalu benar. "Jadi sekarang gue mau nanya, tujuan lo kesini apa?" tanya Aarav pada Ben dengan ketus. Ben tampak berpikir sejenak, kemudian menjawab dengan nada bersalah. "Sebenarnya karena penasaran sih." setelahnya Ben menunduk, takut mendapatkan pelototan dari sahabatnya. "Penasaran lo bilang?" Aarav membentak, ia tak abis pikir dengan ucapan Ben itu. Enak sekali bicara, meletakkan nyawa kesini hanya karena penasaran. Ben mengangguk pelan. "Iya, gue cuman butuh teman aja ke sini." jelasnya lagi dengan terus terang. Ben menatap kearah lain. Aarav, Ben dan Diah masih menggeleng-gelengkan kepala tak percaya dengan ucapan Ben yang segampang itu. Ben perlahan mendongak kearah sahabatnya, menatap mereka secara bergantian. Ben meringis kaku ketika mendapati tatapan tajam dari ketiga sahabatnya. "Awalanya gue mau ajak kalian sewa ni tempat, tapi karena gue jadi takut karena orang tua gue yang nakut-nakutin ya jadi pengen liat-liat aja. Lah sekarang malah kena sial." lanjut Ben lagi. "Lo gila." Aarav berkomentar. Ia mengacak rambutnya kasar, saking kesalnya dengan Ben. Ingin menghajar Ben lagi namun itu tak mungkin, mereka hanya buang-buang tenaga dan waktu saja karena tetap saja tak bisa membalikkan waktu. "Gue penasaran aja gitu, awalnya juga mau balik terus cuman ini gara gara lo yang nggak buat kita terkunci." ujar Ben lagi, ia menatap kearah Aarav. Kilatan di mata Aarav berapi-api ketika mendengar ucapan Ben yang ini. Aarav menatap Ben tajam sekali. "Nggak malu lo bilang gitu? Ingat siapa yang udah buat kami di sini." sindir Aarav tajam. Diah memutar bola matanya malas, ia ingin menengahi Aarav dan Ben. "Udah, dari tadi bahas itu mulu. Percuma lebih baik kita sekarang makan." titah Diah lebih bermutu. Aarav, Geya dan Ben mendengarkan Diah, mereka pun merongoh tas masing-masing dan mengeluarkan makanan. Hari ini mereka hanya makan roti dan air putih. Sebenarnya tak membuat mereka kenyang namun itu sudah cukup, daripada nanti di kemudian hari lapar karena stok makanan habis. "Serius cuman segini?" Ben mengomel setelah menghabiskan makanannya. Ben memang terkenal cowok yang kuat makan tapi tak membuat tubuh Ben gemuk. Geya lantas menimpali, "Lo nyusahin ya!" judes Geya buat Ben. Ben akhirnya mendengus tak menjawab ucapan Geya dan memilih melahap kembali makanannya begitu pun yang lainnya. Ben menyandarkan tubuhnya di dinding, ia menghembuskan napas lelah setelah selesai makan. "Bosan banget." "Nggak ada jaringan nggak bisa buka sosial media." Geya membetulkan ucapan Ben apalagi ketika Geya kembali membuka ponselnya dan melihat tak ada tanda-tanda jaringan akan membaik. Apakah Geya bisa bertahan tanpa sosial media, ia rasa tidak akan bisa. Geya hanya bisa pasrah. Diah menghela napas panjang mendengar ucapan sahabatnya. "Sekarang kita ngapain ya? Harus ada yang kita buat lo semua tau kan kita nggak boleh tidur sebelum lewat jam dua belas malam." tutur Diah menjelaskan lebih rinci. "Ya ngapain?" Geya mencoba perpikir. Namun berakhir Geya mengusap kepalanya karena gsgal memikirkan hal apa yang bagus buat mengisi kebosanan ini. "Gimana kalau kita main tantangan atau kejujuran?" Ide Ben akhirnya. Ben menatap berbinar-binar kearah ke-tiga sahabatnya. "Iya ayo." Diah menyetujui ucapan Geya. Ketika ada melihat sebuah botol terdapat di dekat jendela. Diah bangkit dari kasurnya, dan mulai menaruh botol itu ditengah-tengah. Mereka sudah membuat lingkaran, saling berkumpul. "Oke gue mulai." seru Diah. Diah pun memutarkan botol minum dengan gerakan apseptis. "Nah, kena lo." Ben berseru senang ketika botol bekas itu berhenti berputar kearah Aarav. Aarav hanya memutar bola matanya malas mendengar antusias Ben itu "Tandangan atau kejujuran?" tanya Geya untuk Aarav. "Kejujuran." Aarav menjawab dengan pelan. "Siapa cinta pertama lo?" semprot Ben begitu saja. Tentu saja membuat Aarav sedikit terkejut tak menyangka akan mendapatkan pertanyaan itu. Aarav memejamkan matanya sejenak, ketika senyum cinta pertamanya muncul dalam benaknya, mendadak jantung Aarav berdetak tak karuan. Dan, mana mau ia membocorkannya. "Gue mau tantangan aja deh." ujar Aarav akhirnya. "Yaudah gue mau lo naik ke lantai atas terus balik lagi ke sini." Ben memberi tantangan dengan santai sekali, membuat Aarav melotot tajam kearah Ben. Ben hanya terkekeh sinis. "Gila lo." Geya memaki Ben. Geya menatap tidak percaya ke arah Ben. Di kira disini tempat bermain apa, Ben seperti tak punya otak untuk berpikir. "Nggak masalah gue." putus Aarav akhirnya dengan santai. Tanpa basa-basi, Aarav langsung bangkit dari duduknya. Berjalan kearah pintu, dan mulai keluar. Ben, Geya dan Diah tak tinggal diam, mereka tetap mengikuti Aarav kemana pun pergi. Geya, Diah dan Ben menjaga-jaga dari bawah. Aarav perlahan menaiki satu persatu tangga itu dengan sangat hati-hati. Ben, Geya dan Diah hanya menatap Aarav dari bawah tangga, harap-harap Aarav baik-baik saja. Dengan santai Aarav naik tanpa rasa takut, sebelum itu Aarav menghidupkan lampu terlebih dahulu agar membuat Aarav lebih enak saat menyelusuri lantai dua ini. Tidak ada yang aneh, hanya saja udara lantai dua lebih mencekam apalagi dengan dinding yang sedikit ada jejak merah dan hijau. Aarav memutuskan untuk langsung turun hanya saja langkahnya langsung terhenti saat suara tangisan terdengar. Awalnya, Aarav tak terlalu memikirkan suara itu namun lama-kelamaan suara tangisan itu semakin besar, berasa nangis di telinganya. Aarav jadi ragu untuk turun, hanya saja Aarav berpikir bisa saja kan memang ada yang meminta bantuan. "Ada orang?" tanya Aarav bertanya dengan pelan. Aarav mendengarkan suara itu di lorong-lorong gelap, Aarav berjarak sangat jauh. Lorong itu cukup gelap tak dipasangkan lampu disana. "Tolongin saya Bang," suara halus dan seperti tertekan itu terdengar. Aarav semakin penasaran, apakah ada orang lain juga disini selain mereka yang terjebak? "Saya mau pulang, kok susah keluar sih." lanjut wanita itu lagi dengan serak, menangis dengan tersedu-sedu. Dengan penuh keberanian, Aarav yang menduga suara itu berasal dari salah satu kamar yang berada di lorong gelap itu membuat Aarav pun membuka pintu dengan sangat perlahan, dan tepat di dalam sana hanya ada kasur yang berantakan dan barang barang yang berhemburan seperti kapal pecah. "Nggak ada orang." desis Aarav setelahnya, ketika tiba-tiba saja sekujur tubuhnya merinding tak terkendali. Apa itu tadi? Aarav tidak tuli, siapa yang meminta tolong tadi? Rumah ini bukan bisa di ajak main-main, tidak menunggu lama lagi Aarav langsung turun ke bawah kembali dengan sangat hati-hati. "Gimana?" tanya Ben kepo pada Aarav. Cukup penasaran sebenarnya diatas ada apa saja namun Ben tak punya keberanian apapun untuk keatas. "Gue dengar ada yang nangis minta tolong, pas gue buka pintu nggak ada orang ternyata." Aarav menjelaskan dengan bergedik ngeri. Tanpa disadari Aarav, wajah cowok itu sudah pucat parah. "Masuk lagi." Ben langsung menarik tangan Aarav kencang kembali ke kamar. Diikuti oleh Geya dan Diah, mereka berlari secepat mungkin untuk kembali masuk kedalam kamar lagi. Tak main-main, tubuh mereka merinding abis ketika mendengar ucapan Aarav barusan. "Lo sih." Geya mengunci pintu kamar rapat-rapat. Setelahnya Geya memukul lengan Ben kuat-kuat, membuat sang empu meringis tertahan. Ben hanya membalas pukulan itu dengan tatapan tajamnya kearah Geya. Geya mendengus sinis kearah Ben Geya menatap marah pada Ben. "Bisa nggak sih Ben pikiran lo tu yang benar sekali-kali," ketus Geya. Rasanya Geya ingin sekali membuang Ben kelaut sekarang juga. Diah tak terlalu memikirkan ucapan Geya dan Ben. Diah hanya menatap Aarav yang hanya terdiam kosong ke depan, hingga Diah dikejutkan dengan darah yang bercucuran banyak keluar dari leher Aarav. Diah langsung bergerak cepat mendekati Aarav dan mengelap darah Aarav yang keluar tanpa henti, menggunakan kain yang Diah ambil di dekat mereka. "Aarav leher lo berdarah." teriak Diah. Pasalnya Diah sudah beberapa kali memberikan kalimat itu namun Aarav seperti tak mendengarkan suaranya. Geya dan Ben ikut panik ketika melihat darah Aarav. "Kok bisa." Aarav akhirnya terkejut karena sentuhan Diah pada lehernya. Reflek, Aarav pun ikut mengelap darah yang berada di lehernya pelan. Awalnya Aarav tak merasakan sakit, dia hanya bersikap biasa saja. "Apa perlu di obatin?" Geya bertanya khawatir, menatap Aarav yang justru tetap terlihat tenang saja. "Nggak perlu." Aarav menjawab dengan santai. Lukanya memang tergolong kecil, hanya saja darahnya yang banyak sekali keluar namun sekarang darah itu sudah mulai menghilang, tak sebanyak tadi. "Kok bisa sih ngeri banget." Diah menatap Aarav tak kalah khawatir. Aarav menjawab seraya menatap Diah, kemudian mengendikkan bahunya. "Mungkin tu hantu yang nyakar." jelas Aarav tenang. "Ngeri banget gila." Ben berdesis. Aarav tidak perduli lagi, dia memilih duduk di sofa sambil kembali merenungi mencari cara untuk keluar dari sini. Namun tak ada cara, membuat otak Aarav nyaris ingin meledak saja. "Ke atas yok." ajak Aarav enteng pada sahabatnya. Ben, Geya dan Diah melemparkan tatapan melotot tak percaya dengan ucapan Aarav barusan. "Ngapain gila lo?" kompak Geya, Diah dan Ben serentak membalas ucapan itu. "Kalian semua kan tau kalau di sini gak ada apa-apa, pasti di atas ada." jelas Aarav. Mungkin cuma ini caranya mereka menemukan jalan keluar dengan menaiki tangga atas. Mustahil hanya berdiam diri saja. Diah menghela napas panjang. "Iya, tapi besok aja." putus Diah akhirnya. "Gue nggak ikut." Ben langsung menggeleng kuat, takut sekali. Belum keatas saja sudah membuat Ben gemetar apalagi sudah berada di lantai atas bisa jadi Ben langsung pingsan di tempat. Diah mengangguk sekilas. "Oke, tapi kalau lo di gangguin sendiri kami nggak perduli." Diah menjawab dengan enteng. Ben langsung gelanggapan. Mukanya pias, tanpa sahabatnya mana bisa Ben bertahan hidup sendiri. Ben hanya bisa berpasrahkan diri, ia mengangguk lesu. "Iya deh." Diah menunjuk kearah benda petak itu. "Disini ada TV, bisa hidup nggak ya?" Diah berpikir keras, bukan tanpa alasan dia bosan, mau nonton di ponsel pun tidak ada internet. Padahal banyak sekali list drakor yang belum sempat Diah tonton. "TV nya nampak banget baru." Geya berdecak dengan kagum. Kenapa Geya tak sedikitpun menyadari bahwa ada TV disini. "Itu pasti punya orang yang kemarin itu tinggal di sini." jelas Ben. "Iya hidupin terus." Geya menyuruh Ben untuk maju dan menghidupkan TV itu. Sampai akhirnya mereka berseru senang ketika TV itu menyala terang dan jelas. Mereka pun memilah siaran akhirnya menonton sinetron Indosiar, hanya Diah, Geya dan Ben saja yang menonton itu dengan seksama. Berbeda dengan Aarav yang tampak tak berminat sedikitpun. Aarav hanya mengamati sekitar hingga akhirnya Aarav mengernyitkan dahinya ketika sesuatu yang aneh. Saat melihat tumpahan air di bawah pintu, padahal mereka tidak menjatuhkannya. Aarav hanya menatap itu datar kemudian Aarav melirik kearah sahabatnya sekilas yang masih asik dengan dunia sendiri. "Di kira gue takut." lirih Aarav dengan meremehkan. Aarav tidak terlalu takut dengan hal semacam itu, hanya saja jika tiba nampak penampakan pasti Aarav akan takut juga. Tidak terasa mereka sudah menonton terlalu lama. "Ya ampun, udah nggak seru." ucap Diah. Akhirnya Diah memilih mematikan TV setelah mendapat persetujuan dari sahabatnya. Mereka jarang sekali sebenarnya menonton TV apalagi sinetron. "Ngantuk banget," ucap Geya sambil menguap pelan, seraya menutup mulutnya dengan tangan. "Jangan dulu!" Aarav memperingati dengan tegas. "Lo biasanya juga bergadang, kok tiba-tiba jadi cepat ngantukan." Diah mengernyitkan dahinya heran. "Lo tau kan, kalau ponsel nggak ada jaringan. Biasa gue bergadang karena asik balas pesan pacar gue." jelas Geya. Ia jadi merindukan pacarnya, biasanya mereka akan slepp call, namun untuk sekarang tidak bisa membuat Geya sedih berlipat-lipat. Diah hanya mengangguk paham. "Gue yakin, pacar gue pasti bakalan datang kalau tau selama sehari dia nggak ngeliat gue." Geya merenungkan wajah pacarnya, menatap dinding disana dengan kosong. "Yakin lo? Bisa ajakan di malah senang dan punya pacar baru," canda Diah sambil tertawa. Aarav, dan Ben hanya menatap mereka saja dalam diam, tak berniat ingin menimbrung. "Kurang hajar." Geya menoyor lengan Diah. Diah semakin meledak tawa melihat wajah Geya yang kesal padanya. Tok Tok Tok Pintu kamar mereka di ketuk keras dari luar dengan sangat tak santai bahkan cenderung brutal sekali. Hal itu membuat Diah, Aarav, Geya dan Ben terkejut setengah mati, bahkan sekarang Ben sudah duduk belakang Geya untuk mencari perlindungan. "Siapa tuh?" tanya Geya lirih, takut. "Nggak ada orang di luar." Diah menjawab dengan was-was.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN