Bab 9

1941 Kata
Dengan rasa takut yang luar biasa, Diah menunjuk kearah lantai dua itu. Diah semakin pucat. "Tadi ada pas di atas, gue nggak bohong. Ini bahaya!" Diah menjerit dengan panik. Tentu saja, Geya disamping Diah mengusap punggung Diah untuk menenangkan Diah. Geya percaya dengan ucapan Diah karena ia tahu tentang kemampuan Diah sejak mereka saat sekolah dulu, Diah memang sering merasakan hal mistis yang menyeramkan. Berbeda dengan Ben dan Aarav mereka masih tetap bingung. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Diah, pikir mereka. Dan tiba-tiba saja kuku Diah kembali berdarah, Diah tak merasakan sakit tapi darah yang keluar dari kuku itu menetes membasahi lantai. Aarav, Ben dan Geya melihat itu, mereka semua panik dengan kondisi Diah yang menjadi sangat memprihatikan seperti ini. Aarav, dan Ben hendak maju mendekati Diah, menanyakan kondisinya namun Diah mendadak tersudut di pintu ketika Diah melihat sebuah bayangan hitam raksasa, melayang cepat kearahnya, bola mata Diah membesar melihat itu, melaju semakin dekat seolah ingin masuk kedalam jiwanya. Diah terpaku, memantung di tempat. "BERHENTIIIIII!" jerit Diah begitu kuat dan tepat setelah itu Diah langsung jatuh pingsan. Aarav, Ben dan Geya bergegas mendekati Diah dengan tatapan penuh khawatir. Atmosfer menjadi mencekam dan mengerikan detik itu juga. Ben langsung inisiatif mengendong Diah ala bridal style dan membaringkan Diah ke atas sofa. Ben merogoh saku tasnya, dan mengeluarkan minyak kayu putih yang memang selalu Ben bawa. Ben mengarahkan minyak kayu putih itu kearah hidung Diah, dan Ben juga mengipas wajah Diah dengan buku tulis yang Ben juga bawa dalam tas. Begitu banyak keringat yang mengumpal di pelipis Diah, Ben mengelap keringat itu dengan pelan. "Gimana nih?" Geya bertanya dengan khawatir. Ia menjambak rambutnya karena tak bisa berpikir apa-apa sekarang. Geya mondar mandir dengan panik. Aarav yang melihat Geya yang bertindak seperti ini membuat Aarav memutar bola matanya. "Bisa diam?" ucap Aarav yang kesal dengan Geya. "Aaaaaaa," teriak Diah dan langsung terkejut dan terbangun. Napas Diah memburu cepat seperti habis dikejar hantu. Diah gelagapan, Diah langsung menyambar tasnya, seperti bersiap-siap untuk pergi. "Kita harus pergi dari sini!" titah Diah untuk ketiga sahabatnya. "Nggak bisa, gimana bisa pergi?" Geya yang sudah berada di posisi Diah, langsung mengusap punggung Diah, memeluknya kedalam pelukan hangat Geya agar bisa menenangkan Diah yang masih ketakutan. "Tenang ya, tenang jangan kayak gini!" Detik kemudian, Diah mulai tenang karena usapan Geya. Napas Diah juga sudah mulai teratur, Geya membantu Diah untuk berbaring lagi. Meski mata Diah terpejam, Geya tahu Diah tidak tertidur, dia hanya beristirahat. Tak lama kemudian, Geya berdiri dan langsung menuju Ben dan mencekiki leher Ben, tanpa ampun. Ben tentu saja terkejut dengan Geya yang bergerak tanpa aba-aba, itu membuat Ben tak bisa menghindar. Ben menahan pergelangan Geya agar Geya tak terlalu menekan lehernya, susah payah Ben bernapas, sungguh Geya mencekiknya luar biasa. Napas Ben tersengal-sengal. "Puas lo? Kalau ada yang mati lo duluan yang harus mati." kutuk Geya untuk Ben kejam. Ben tak terlalu memusingkan ucapan Geya, yang saat ini Ben ingin lakukan ia hanya ingin tangan Geya lepas dari lehernya. "Lepasin gue oi!" sentak Ben, pada Geya dengan susah payah, napasnya sudah tersendat. Diah membuka kelopak matanya ketika merasakan keributan yang terjadi, mata Diah langsung membulat saat melihat Geya yang mencekik Ben sampai wajah Ben memerah. Bergegas, Diah berdiri dan mencoba menarik tubuh Geya agar menjauh dari Ben, sedangkan Aarav tampak tak peduli dan asik menyaksikan saja. Melihat Ben seperti itu, padahal menurut Aarav, Ben bisa saja memukul ataupun menendang tubuh Geya, Aarav memang mengenal Ben tak suka menyakiti wanita. "Bantuin." Diah menatap Aarav memohon, dia memelas lelah. Melihat Diah seperti itu, Aarav jadi tak tega menolak sampai akhirnya Aarav mengeluarkan dengusan, dan sigap membantu keduanya, hingga mereka pun terpisah. Geya mencoba memberontak, dan ditahan oleh Aarav dan Diah. Geya menatap Ben dengan tatapan musuhan, sedangkan Ben menarik napas banyak-banyak, mengisi oksigen untuk paru-parunya sebanyak mungkin sekaligus mengusap lehernya yang memerah. Ben tak marah, ia merasa pantas mendapatkan ini. "Ada yang mau ngomongin sama kalian, gue lupa karena sangking terkejutnya," Aarav membuka suara, memecahkan keributan itu. Diah, Geya dan Ben langsung menoleh kearah Aarav dengan pandangan bertanya-tanya. Geya, Ben dan Diah tiba-tiba tegang. mereka tidak sanggup untuk kembali menerima kabar yang lebih buruk lagi. Mereka takut semua. Aarav menunju dinding yang berada di samping jam besar itu, disana tercantum kalimat yang diukir dengan darah, Aarav tak sengaja membacanya. Aarav pun menjelaskannya pada ketiga sahabatnya. "Di tulis di situ jangan tidur sebelum lewat jam dua belas malam!" ujar Aarav, seraya menatap sahabatnya satu persatu. Geya mengernyitkan dahinya, heran. "Biar apa coba?" Geya tak abis pikir dengan rumah 'angker' ini banyak sekali hal buruk. "Mana gue tau." Aarav mengendikkan bahunya tak tahu menahu, Aarav hanya membaca saja namun tak paham apa maksud di balik kalimat itu Diah mengangguk mengerti, hanya sekilas. Kemudian menatap sahabatnya, soalah memberi peringatan. "Udah ikutin aja." tukas Diah akhirnya. Ben dan Geya akhirnya hanya bisa menuruti saja, mungkin itu juga merupakan salah satu makna yang buruk yang ada di dalam rumah ini. Mereka juga tak ingin mencari masalah. Ben lelah berdiri, Ben pun menuju kearah sofa kemudian menatap bergantian sahabatnya. "Kita tidur di mana malam ini?" Ben menatap ke depan dengan sendu. Ben ingin keluar dengan selamat, ia sering mendengar juga jika yang pergi lima ada salah satu dari mereka atau dua yang bakalan selamat. Apa Ben boleh egois? diantara selamat itu juga termasuk dirinya. Ben sendiri tidak tahu apa yang terjadi disana, karena ketika keluar orang yang selamat itu hanya bungkam seolah pikiran mereka kosong dan pulang ke daerah aslinya bahkan ada juga yang lupa ingatan. Sungguh menyedihkan. "Ada kamar nggak ya?" gumam Diah, Diah menelaah sekitarnya, mencari-cari apakah disini ada kamar atau tidak. Hingga ia mendapat sebuah pintu dipojokkan kanan. "Itu ada pintu." Diah menunjuk pintu yang besar. Mata Geya sudah mengarah kesana, ia langsung berdiri dengan sedikit senang. "Yaudah ke sana!" putusnya akhirnya. Geya hanya meminta malam ini bisa tertidur dengan tenang. Aarav, Ben dan Geya menuju kamar itu. Di dalam hanya ada satu kasur besar, dan barang-barang yang biasa tampak mewah seperti rumah ini. Barang itu masih utuh tertutup dengan kain putih. Diah, dan Geya berjalan menuju kasur, menyikirkan kain putih itu dari kasurnya. Kasurnya cukup luas, empuk dan sangat nyaman untuk tidur. "Kami tidur di luar?" Aarav bertanya akhirnya. Aarav sadar diri dia adalah pria jadi tak mungkin bergabung dengan cewek-cewek. Diah menatap Aarav, kemudian menjawab, "Di luar nggak ada kamar lagi, ada di lantai dua sih." Diah berkata dengan santai. "Ngeri woi, lagi pula kalian berani berdua?" Ben langsung menyela ucapan mereka, cowok itu bergidik ngeri ketika membayangkannya. Ben tengah mengamati keadaan kamar yang cukup luas. Diah dan Geya kompak menggeleng melihat tingkah Ben. Aarav menarik napas panjang. "Yaudah kami tidur di sini aja." putus Aarav akhirnya ketika Aarav selesai menilai, bahwa mereka bisa tidur di lantai, lantainya sebenarnya cukup bersih hanya dilapasi dengan pakaian mereka, Aarav dan Ben bisa tertidur disitu. "Tapi kalian jangan macam-macam." Geya berujar dengan tegas, dia menatap dengan sorot mengancam pada Aarav dan Ben. "Tenang aja." Aarav berkata dengan santai. "Lagi pula kami bakalan tidur di bawah," lanjut Aarav. Ben dan Aarav masuk ke dalam kamar. Cowok-cowok mulai duduk di atas lantai, mereka sudah mempersiapkan tempat yang terbaik buat tidur malam ini. Aarav dan Ben tidur menggunakan kain tipis baju gantinya dan juga tas untuk bantal kepala. Mata Ben terus tertuju kearah lemari cukup tinggi itu, sangat bagus. Ukiran lemari itu dikelilingi dengan gambar tengkorak. Ben seakan kepo, apa sebenarnya isi dari lemari itu. "Panasaran sama isi tu lemari," ujar Ben Geya melotot dengan tatapan peringatan untuk Ben. "Jangan macam-macam!" "Ya kan kadang ada kain, lagi pula itu pasti barang orang yang pernah datang ke sini." jelas Ben pada Geya. Tanpa basa-basi, Ben langsung ke sana dan membuka lemari, terisi begitu banyak baju wanita dan pria yang menjadi satu, Ben mendapatkan kain besar untuk alas tempat tidur dan kain itu tebal, sangat empuk untuk tidur. Ben menaruh melampirkan di atas lantai dan langsung merebahkan tubuhnya. Uh, Ben akhirnya bisa mengistirahatkan tubuhnya. "Jangan tidur!" ucap Diah penuh peringatan. "Kan di bilang jangan sampek tertidur sebelum jam 12!" Diah menatap Aarav, dan Ben yang sudah merebahkan diri di sana, mematau mata mereka. Geya dan Diah sudah memposting diri diatas kasur, punggungnya bersandar di kepala ranjang. Sekilas Ben menatap Diah, kemudian menjawabnya. "Gak tidur cuman berbaring aja." Bosan merebahkan diri, Aarav bangun dan lebih memilih untuk duduk di sofa yang berada di dalam kamar, pria itu mengeluarkan ponselnya. Di cantum di layar pojok kiri, tak ada jaringan yang muncul. Aarav menghela napas panjang melihat itu, sedikit kesal. "Ini tempat pasti nggak pernah akan ada jaringan." keluh Aarav. Tanpa jaringan apa yang bisa mereka perbuat, rasanya sangat membosankan kalau tidak menonton YouTube ataupun bermain sosial media lainnya. Sampai akhirnya, Aarav memasangkan headset di lubang telinga dan mulai mendengarkan musik dengan volume kecil, jadi memudahkannya untuk mendengar ucapan sahabatnya nanti. Geya dan Diah terdiam, bingung dengan semua hal yang tiba-tiba menghampiri mereka. Tak tahu harus menjelaskan bagaimana, terlalu rumit untuk dipahami. "Gue nggak yakin banget, kalau sampai bisa keluar dengan selamat." Geya berkata dengan lirih, bahu gadis itu merosot lemah. Pikirannya menerawang dan sorot matanya menjadi kosong. "Kenapa lo bisa bilang gitu?" Diah menatap Geya tak suka, ia benci dengan pemikiran gadis itu. Tentu saja, Diah hanya ingin mereka semua keluar dengan selamat dari sini, semuanya, tak terkecuali. "Lo liat nggak barang yang berjatuhan itu? Apa lagi coba kalau bukan setan, ya setan di rumah ini pasti nggak bakalan biarin kita keluar secara hidup-hidup." jelas Geya dengan gurat kesedihan, dia menatap Diah. Diah akhirnya hanya bisa mengangguk, ia pun sudah ragu untuk selamat. Kejadian itu memang sangat mengerikan. "Ya datang ke sini emang banyak yang mati." Ben menyela, ia menaruh tangan ke belakang, menatap langit-langit kamar dengan pandangan menerawang kosong. Dari lubuk hati paling dalam, Ben merasa sangat bersalah. Geya langsung menatap Ben dengan sorot mata berapi-api. "Jadi lo mau apa ajak kami ke sini hah?" bentak Geya. Rasanya Geya ingin menghabiskan Ben detik ini juga. Geya hendak turun menuju Ben karena kemarahannya muncul kembali ke permukaan tapi buru-buru di tahan oleh Diah dan Diah berkata 'harus tenang, jangan kayak gini' menggunakan gerakan bibir Diah yang bisa Geya tangkap, Geya hanya bisa menarik napas cukup panjang. "Kalau lo tau ini bahaya nggak usah ajak kami, kalau mau mati sendiri aja nggak usah ajak-ajak." Diah berkata dengan sangat ketus. Ia menatap Ben dengan sinis, ketika Ben menatap kearah mereka dengan tatapan menyesal, yang sangat terbaca oleh Geya dan Diah. "Ya udah lah ya, gue juga nggak nyangka bakalan begini. Maafin gue!" mohon Ben sedih. Geya dan Diah tak lagi memperdulikan Ben, mereka sudah memegang perut secara bersamaan karena dengan kompak juga perut mereka berbunyi, meminta untuk diisi makanan. Mereka memang belum makan sejak tadi, ini juga sudah hampir tengah malam. "Lapar." ujar Diah langsung mendapatkan anggukan yang sama oleh Geya. "Sama." ujar Geya. Diah dan Geya langsung meluncur kebawah, ke tas mereka masing-masing. Mereka membuka koper, dan sangat banyak snack, roti dan minuman dengan variasi yang bermacam-macam, hanya saja tidak ada nasi. "Apa kita bisa bertahan selama tujuh hari sama semua makanan ini?" gumam Diah menatap makanannya dengan sorot yang sulit untuk diartikan. Geya menatap makanan itu juga tidak yakin. Makanan mereka tergolong sangat dikit apabila harus bertahan selama seminggu lamanya. "Cukup tapi kekurangan gizi!" Ben menimpali. Makanan persiapan mereka memang jauh dari makanan sehat, lebih banyak makanan yang berpengawet. "Di sana ada kulkas, mungkin ada makanan." ucap Aarav menunjuk ke arah tempat di mana dapur berada. Geya melotot kaget mendengar ucapan Aarav. "Gila lo Rav, bagaimana bisa? Bisa jadi kan itu makanan setan." Geya bergidik amit-amit. Ben tampak berpikir, akhirnya berbicara. "Tapi kayaknya bisa deh, soalnya itu pasti makanan orang yang sebelumnya tinggal di sini." jelas Ben terus terang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN