"Nyonya besar." pekik bu Ani begitu saja tanpa sadar ketika melihat sosok Inges yang ada di hadapannya.
Benar-benar sangat mirip dengan almarhumah istri tuannya Nyonya Rara Anjani Mahendra. Bukan sangat mirip lagi tapi wajah mereka nyaris sembilan puluh sembilan persen sama. Ditambah lagi Inges mengenakan pakaian bekas almarhumah yang melekat di tubuhnya benar-benar membuat ia menjadi sosok wanita yang selalu dia kagumi di dalam foto besar itu namun Inges tidak menyadari hal itu. Inges menjadi bingung sendiri kenapa bu Ani memanggilnya seperti itu. Sementara yang lain masih tertegun melihat nyonya besar KW nya tidak berlaku dengan Raden.
Raden bergerak cepat bangkit dari duduknya dan langsung menghampiri Inges dengan tatapan yang sulit diartikan. Dengan kasar Raden langsung menarik tangan Inges menyeretnya menaiki tangga secara paksa. Wajahnya nampak suram belum lagi Inges bisa mendengar detak jantung tuannya itu yang berpacu dengan hebat.
"Sakit tuan, bisa kan anda pelan sedikit. Ada apa sampai tuan bersikap seperti ini pada saya?" lirih Inges yang mulai merasakan sakit di pergelangan tangannya yang di genggam dengan sangat kencang oleh tuannya itu.
Tapi tangan kekar itu tidak merespon sedikit pun walau dengan susah payah Inges menarik tangannya agar bisa terlepas. Ia benar-benar dalam kebingungan dan kecemasan melihat wajah laki-laki berbadan besar yang menyeret tubuhnya itu.
"Abang mau di bawa ke mana Inges?" pekik Radit yang berusaha mengejar mereka namun langkahnya terhenti karena pak Surya yang ada di sampingnya menarik tangan Radit untuk menahannya tetap berada di posisinya dan tidak ikut campur dengan urusan kakaknya.
"Ya Allah gusti, itu beneran non Inges kan ya. Semalam memang saya yang memberikan nona Inges baju bekas almarhumah yang masih saya simpan beberapa helai di lemari saya untuk di kenang. Tapi kenapa malah sekarang nona Inges seperti Nyonya besar. Sangat mirip sekali, apa sebenarnya yang terjadi?" tutur bu Ani dengan wajah khawatirnya, yang lain juga masih syok dengan pemandangan yang mereka lihat ini.
Sementara di ruang atas Inges di bawa masuk ke dalam sebuah kamar besar yang berada di samping kamar Malaika tentu ia tau kamar itu adalah kamar bos besarnya yang sekarang menyeretnya dengan paksa. Masih dengan kasarnya Raden mencengkram bahu Inges dan menghempaskan tubuh gadis itu ke kursi di depan meja rias yang ada di salah satu sudut kamar besar tersebut.
"Aw sakit tuan." Inges meringis kesakitan.
Raden yang berdiri di belakangnya tidak memperdulikan sama sekali suara Inges yang kesakitan.
"Apa yang sebenarnya kamu lakukan hah? Apa kamu adalah penjahat licik yang mencoba menghancurkan saya? Apa yang sebenarnya kamu rencanakan? Bla.. Bla.. " pekik Raden tepat di atas kepala Inges, dengan tangan kekarnya itu ia guncang-guncang kan badan mungil itu tanpa perlu emosi saja sudah pasti dengan postur tubuh seperti itu akan membuat guncangan yang hebat terasa oleh badan Inges yang mungil.
Pertanyaan-pertanyaan yang begitu banyak dilontarkan oleh Raden tidak satu pun yang Inges mengerti maksud dari ucapannya itu. Inges masih belum sadar dengan wajahnya yang memantul di cermin. Ya saat ini wajah asli Inges sedang menampakkan diri, gadis bodoh itu tidak menyadari kalau make up yang ia poles di wajahnya telah luntur bahkan ia melupakan hal itu. Padahal ketika menelpon ibunya kemarin malam dia sudah diberikan wejangan dan peringatan keras untuk tidak lalai dengan hal besar itu, namun sayang Inges benar-benar lupa kalau sekarang dia tidak berada di rumahnya. Setiap malam sebelum tidur memang Inges menghapus riasannya dan akan kembali merias wajahnya ketika pagi tiba, namun karena tadi ia terlalu bersemangat untuk acara sahurnya ia bahkan sampai lupa memoles wajahnya dan sekarang hal itu menjadi malapetaka di pagi buta untuknya.
Inges yang sudah tidak tahan dengan perlakuan kasar sang bos serta ucapan-ucapannya yang sudah menggila, akhirnya Inges melawan dengan mengeluarkan kekuatannya jangan salah Inges adalah atlet beladiri sejak ia duduk di bangku sekolah dasar dan mengundurkan diri setelah ia mengetahui dirinya mendapatkan beasiswa untuk kuliah di kota yang berbeda. Ia bisa berdiri dan sekarang tubuhnya itu sudah terlepas dari cengkeraman raden namun tidak membuat Raden terjatuh dengan sigap ia membalikkan badannya menghadap ke Raden yang masih berdiri kokoh di tempatnya. Kini jarak mereka hanya beberapa centi saja sangat dekat, wajah yang tadinya penuh amarah itu mulai sedikit menunjukkan wajah khawatirnya. Kesalahan besarnya adalah ia meremehkan gadis dihadapannya itu.
"Cukup tuan kurang ajar sama saya. Hentikan kebrutalan tuan terhadap saya!" ancam Inges dengan tegas seraya mengangkat jari telunjuknya tepat di depan wajah Raden.
Untuk beberapa saat mereka hanya saling tatap dengan tatapan tajam dan rasa emosi dari keduanya yang masih membuncah.
"Bu Ani memang meminjamkan baju almarhum istri anda pada saya dan kalau anda tidak terima tidak seharusnya anda bersikap sekasar ini pada saya." Pekik Inges dengan emosi yang sudah tidak bisa ditahan. Sekali lagi Raden berusaha mencengkram kedua bahu Inges lalu memutarkan tubuh gadis itu kembali ke depan cermin. Inges yang melakukan perlawanan kali ini usahanya harus gagal.
"Lihat dirimu di depan cermin, saya harap kamu bisa menjelaskan apa tujuanmu menggunakan wajah istri saya!" suara teriakan itu menggema di ruangan besar itu.
Akhirnya Inges sadar dengan apa yang ada di hadapannya. Ia membelalakkan matanya tak percaya, itu bola mata sudah seperti mau keluar saja rupanya. Cukup lama ia diam mematung di sana dengan mulut ternganga.
Dasar gadis bodoh, bodoh, bodoh bisa bisanya kamu berbuat kesalahan sekarang. Habislah kamu sekarang, seisi rumah ini tau wajah kamu sebenarnya. Batin inges merutuki kebodohannya.
Kembali terasa ada guncangan hebat pada tubuhnya yang seketika membuatnya tersadar. Badannya diputar oleh lengan kekar itu, dan sekarang ia hanya bisa menutup mata tidak memiliki nyali untuk menatap mata merah yang ada di hadapannya itu. Tubuh mungilnya seketika gemetar. Seharusnya memang ia pulang saja tadi malam. Nasi sudah menjadi bubur, apa yang harus ia katakan sekarang. Bulir air mata tak terasa menjatuhi pipinya karena ia benar-benar ketakutan sekarang, entah apa yang akan terjadi pada dirinya nanti. Rahasianya sudah terbongkar, apa yang akan ia katakan pada ibunya.
Raden yang melihat gadis di hadapannya itu menangis seketika menjadi luluh. Seakan-akan ia melihat sosok istrinya tepat berada dihadapannya. Tanpa sadar ia membawa tubuh itu ke pelukannya.
"Maafkan aku Ra, aku tidak bermaksud menyakitimu. Maafkan aku!" ucapnya lirih, seketika pikirannya kembali menerawang ke masa lalu.
Terasa sesak di d**a, Raden pun semakin memperkuat pelukannya.
"Aku bukan Rara mu, aku Inges. Namaku Inges." Ucap Inges yang juga masih meneteskan air mata.
Seketika tubuh besar yang memeluknya melepaskan lingkaran tangan dari tubuhnya dan mundur beberapa langkah.
"Maafkan saya tuan, tapi saya tidak menggunakan wajah istri tuan. Ini wajah asli saya yang selalu saya sembunyikan dari orang-orang sejak belasan tahun lalu." Lanjut Inges kembali menjelaskan.
DEG
Seperti waktu terasa berhenti seketika, jantung Raden mulai berdetak kencang tak karuan. Putrinya memang sudah pernah mencoba menjelaskan dulu, kalau mamanya ada dalam diri mama kecilnya. Meskipun Malaika belum pernah melihat wajah asli Inges tapi ia bisa melihat dari senyuman inges yang sangat mirip bahkan benar-benar sama dengan senyuman sang Mama Rara tapi bedanya setia tersenyum akan muncul dua lesung pipi di kedua pipi Inges sementara sang Mama hanya memiliki satu lesung pipi di bagaian pipi kanan saja. Raden pun mengetahui hal itu apalagi dirinya sangat hafal setiap gerak gerik dan bagian tubuh sang istri. Memang selalu terpancar sosok istrinya ketika ia berhadapan dengan Inges namun ia akan cepat kembali tersadar melihat wajah Inges yang berbeda dengan istrinya. Namu hari ini dia benar-benar menyaksikan sosok istrinya seutuhnya ada pada Inges.
Setelah sedikit tenang Inges mengusap sisa air matanya sudah cukup lama ia berdiri mematung di depan meja rias itu. Sementara Raden yang duduk ditepi ranjang sambil memegangi kepalanya dengan dua tangannya hanya menatap kosong ke lantai tempat kakinya berpijak.
"Saya permisi tuan, saya mau sarapan!" lirih Inges dengan suara masih bergetar dan menyadarkan Raden yang masih termenung di sana.
"Tinggallah di sini bu Ani akan membawakan makanan untuk mu!" benar saja baru saja kata-kata itu terucap pintu kamar pun terbuka setelah bunyi ketukan dari luar sana.
Bu Ani meletakkan satu nampan berisi satu piring nasi lengkap dengan lauknya, potongan buah dan juga segelas s**u serta segelas air putih. Suasana tegang yang berlalu selama hampir 45 menit membuat orang-orang diluar sana masih menunggu dengan gelisah. Khawatir bos besar mereka akan lepas kontrol melihat wajahnya tadi yang menyeramkan saat menyeret tangan Inges. Terlebih lagi Radit yang sangat khawatir tentang Inges hanya mondar mandir di dapur.
"Ini non sarapan dulu!" bu Ani meletakkan nampan tersebut di atas meja yang berada tepat di samping pintu masuk kamar tersebut. Tanpa ingin mencari tahu apa yang sudah terjadi ia memilih langsung meninggalkan kamar itu dan menutup rapat kembali pintu kamar tersebut.
"Makanlah! " perintah Raden kini nada bicaranya sudah tidak sedingin biasanya, sepertinya kutub utara itu mulai mencair.
Tanpa menunggu lagi Inges langsung menghampiri meja itu ada kursi juga di sana. Dengan lahap ia menyantap makanan yang di bawa bu Ani tadi. Sementara Raden meninggalkannya dan masuk ke dalam bathroom. Tepat sepuluh menit berlalu makanan itu pun telah tandas hanya tinggal sisa piring dan gelas kosong saja. Belum ada tanda-tanda Raden keluar dari kamar mandi itu. Sekarang malah Inges yang bingung ia harus ngapain di kamar itu. Apa iya kabur saja ya, baru saja ia bangkit dan memegang ganggang pintu sebuah suara menahannya di sana.
"Mau kemana kamu? Jangan pernah berpikir kabur dari sini dan keluar dengan wajah itu." Ucap Raden memperingati Inges. Kini Raden sudah rapi dengan baju koko dan sarungnya.
Wajah wajah saya juga kenapa dia yang repot. Inges.
"Pergi ke kamar Malaika dan cepat kembalikan wajah mu seperti biasanya!" lanjut Raden lagi.
Inges hanya menuruti tanpa berkomentar apa pun.
"Kenapa aku tidak memperhatikannya waktu itu?" gumamnya setelah Inges keluar. Raden tidak memperhatikan wajah Inges yang menghadap ke sandaran kursi hanya terlihat setengah wajahnya itu pun tertutup rambut.
Sebelum Malaika bangun dari tidurnya Inges memutuskan untuk meninggalkan rumah itu. Tidak ada pembahasan tentang dirinya ketika menemui orang-orang yang ada di rumah itu. Mereka semua bersikap normal seperti sebelum ada insiden pagi hari itu kecuali Radit yang sedari tadi memang menunggunya di bawah tangga untuk meminta penjelasan tapi malah Inges yang menghindar dan berlalu pergi dari laki-laki itu. Sementara Raden tidak nampak wujudnya pagi itu. Inges juga tidak memperdulikan hal tersebut.