Mungkinkah Dia Cemburu?

1785 Kata
Setelah hampir satu jam perjalanan dari kampus akhirnya tiba juga di kediaman tuan Raden. Sebenarnya waktu tempuh tidak selama itu 20 menit saja sudah sampai rumah mengingat jalur yang dilewati akan lengang di sore hari namun karena ada tambahan jadwal mampir-mampirnya si Malaika jadi waktu perjalanan menjadi lebih lama dari biasanya dan hal ini pasti akan menjadi masalah nantinya. Masa iya sih si Kutub bakalan marah karena kami telat pulang, kan adiknya sendiri yang di utus untuk menjemput kami. Inges. Mobil berhenti tepat di parkiran yang ada di samping rumah besar itu. Baru saja Inges akan membuka pintu eh malah pintunya sudah dibuka dari luar siapa lagi pelakunya kalau bukan si ceria alias ayah ke dua Malaika yang bernama Radit. Benar-benar persaudaraan dengan dua kepribadian yang bertolak belakang. "Ih ayah kecil romantis sekali. Malaika jadi tersentuh!" celetuk Malaika tiba-tiba dengan suara centilnya saat pintu itu terbuka penuh, sang Ayah Kecil hanya tersenyum. Inges malah menahan tawa. Dua tuan putri itu turun dari mobil bergantian lalu melangkah memasuki istana besar itu. Nah pemandangan yang satu ini baru bisa di bilang keluarga bahagia yang sesungguhnya. Pasangan orang tua yang ceria sama-sama tengah menggandeng tangan kecil putri lucunya memasuki rumah mereka. Pas banget kan posisi mereka, langkah kaki mereka juga seirama gaes. Malaika yang berada di antara Inges dan Radit hanya tersenyum bahagia dengan menggenggam erat tangan dua orang dewasa yang berjalan di samping kiri dan kanannya itu. Alangkah bahagianya kalau yang di sisi kananku ini adalah papa kutub bukannya ayah kecil. Bisik hati kecil Malaika. Tanpa sadar ada sosok berbadan tegap sudah menunggu mereka di ambang pintu dengan kedua tangan yang melipat di atas d**a. Siapa lagi kalau bukan Raden si Papa Kutub dengan tatapan tajamnya seakan ingin membunuh mangsanya yang ada di hadapannya. Malaika yang menyadari kehadiran papanya langsung melepas genggaman tangan Inges dan Radit lalu berhamburan ke arah Raden. Raden pun menyambut putrinya dengan membentangkan tangannya seraya berjongkok agar nanti posisi mereka sejajar. Pemandangan macam apa ini yang tercipta sekarang. Inges dan Radit hanya saling pandang nampak wajah terheran-heran mereka karena mendapat sambutan dadakan. "Mau berapa lama lagi kalian akan berjalan di situ, kalian tidak sedang memainkan sebuah daram" tegur Raden dengan suara sedikit meninggi mengisyaratkan untuk dua anak muda itu mempercepat langkahnya. Malaika hanya tersenyum melihat kelakuan papa kutub nya. Sementara sepasang umat manusia di sana mempercepat langkah mereka memasuki rumah itu. "Apa papa cemburu pada ayah yang bisa langsung dekat dengan mama kecil?" bisik Malaika di telinga papanya ketika meraka berjalan memasuki rumah. Raden hanya memberikan tatapan dingin ke anak yang di gendongnya itu. Malaika langsung memajukan bibirnya sudah seperti moncong bebek saja. "Bu tolong bantu Malaika membersihkan diri!" pinta Raden pada Ani pengasuh Malaika dengan sopan. Bu Ani adalah istri pak Surya, pasutri ini memang sudah lama bekerja di keluarga Raden Widjaya dari sebelum tuannya itu menikah sampai istri tercinta tuannya meninggal beberapa tahun lalu mereka masih setia menemani di sini. Meskipun Raden begitu dingin terhadap orang disekitarnya namun tidak dengan 2 orang itu, ia juga sangat menghormati mereka yang sudah di anggap layaknya orang tua kedua. Bu Ani langsung mengambil alih Malaika dan membawanya ke kamarnya yang ada di lantai dua. "Baik tuan. Mari non!" Ani berlalu pergi membawa Malaika yang kini sudah ada di gendongannya. Setelah kepergian sang mama, Ani lah yang menggantikan peran mama nya di rumah itu mengurus Malaika sampai beberapa bulan lalu Malaika bertemu dengan Inges yang langsung memanggilnya dengan sebutan mama kecil ketika ia bermain di taman bersama sang Papa. Malaika langsung menempel pada Inges tanpa mau lepas, Papanya sampai kewalahan mencari alasan untuk membawa anaknya pulang bahkan ia untuk pertama kalinya bersikap kasar pada Malaika yang membuat anak itu menangis sejadi-jadinya di taman waktu itu. Inges yang tidak tega akhirnya menawarkan dirinya untuk mengikuti Raden ke rumahnya. Namun Malaika tetap tidak mau beranjak dari sisi Inges, dia tidak melepaskan pelukannya saat Inges menggendongnya sampai akhirnya keputusan itu di buat oleh papanya untuk memperkejakan Inges menjadi pengasuh sementara Malaika. Dan itu berhasil membuat Malaika mau melepaskan Inges. Setelah menatap kepergian Malaika yang berada dalam gendongan Ani sudah sampai di ujung tangga atas Raden bergegas menuju ruang tamu menemui dua muda mudi yang tadi menerobos masuk ke ruangan itu. Benar saja sekarang mereka berdua sedang asyik berbincang di sana dengan posisi duduk berseberangan dan Raden yang menyaksikan pemandangan itu nampak sedikit geram, terlihat rahangnya mengeras dengan tatapan tajamnya. Sayangnya sepasang anak muda itu tak menyadari beruang kutub yang sedang mengintainya di ujung pintu sana. Radit dan Inges memang seumuran hanya terpaut usia Radit lebih tua 1 tahun di atas usia Inges. Kalau di bandingkan dengan usia Raden yang bisa dibilang terpaut cukup jauh. Usia Raden tahun ini akan memasuki kepala 3 namun wajah tampannya tidak memperlihatkan penuaan dini sedikit pun malah hampir sama mudanya dengan wajah Radit. Aneh kan padahal Raden orangnya emosian tapi kenapa malah terlihat awet mudah. Hahaha. "Ehm." Suara Raden yang sedikit menggema membuat Inges dan Radit menatap ke arah suara itu. "Hai bang mau ikut ngumpul?" tanya Radit basa basi ketika sadar abangnya sudah berdiri di ujung sana dengan wajah menyeramkan. Sementara Inges jangan di tanya lagi dia hanya menunjukkan senyum ketakutannya. "Inges malam ini kamu tinggal di sani!" perintah Raden datar tanpa membalas tawaran adiknya. "Tapi tuan saya harus pulang menemani ibu saya, beliau sendiri di rumah." Tolak Inges dengan nada sehalus mungkin. "Memangnya ibu kamu Malaika yang akan takut bila berada di rumah sendiri?" suara Raden mulai terdengar ketus dan dingin. "Bukan begitu tuan- baiklah." Inges pun menyerah karena percuma saja ia melakukan penolakan sebelum benar-benar beruang itu mengamuk lebih baik ia mengiyakan saja dari pada cari masalah. "Maksa amat sih lu bang, kali aja Inge emang gak bisa jauh dari ibu nya namanya juga keluarga bang apalagi mereka hanya tinggal berdua." Protes Radit membantu menyalurkan isi hati Inges yang bisa liat dari raut wajah gadis di seberangnya itu. "Anak kecil gak usah ikut campur, tau apa kamu tentang keluarga. Kamu sendiri saja kelayapan ke sana kemari seperti tidak memiliki orang tua dan keluarga." Balas Raden seraya mendekat ke kursi tempat Radit dan Inges duduk. Raden menghempaskan pantatnya tepat di samping kursi yang diduduki Radit. Radit hanya mendengus kesal seraya bangkit dan melongos pergi meninggalkan sang kakak dan Inges berdua di sana. "Kamu jangan berpikir terlalu jauh dulu, saya memintamu tinggal di sini sampai besok karena di luar sana ada yang mengincar mu!" Raden mulai menjelaskan tujuannya menahan Inges di rumah itu tetap dengan wajah datar dan dinginnya. "Iya saya tau tuan. Tadi saya sudah bahas juga dengan tuan Radit." Ucap Inges hanya menatap sebentar ke arah bosnya itu. "Bagus lah." Kini Raden bangkit dan berlalu pergi begitu saja meninggalkan dia di kursi itu sendiri. Dasar beruang kutub cuma itu saja yang dia sampaikan, tanpa ada basi basi menunjukkan kamar tidur untukku di mana. Masa iya aku tidur di sofa ini, batin Inges menggerutu kesal. Ia pun bangkit dari duduknya dan memutuskan ke kamar malaikat kecilnya. Sesampainya di kamar di lihatnya Malaika sedang tertidur pulas. Cantik sekali seperti sang mama yang sudah berada di surga. Di kamar Malaika ada sebuah foto berukuran besar di atas ranjang anak itu. Tentu saja itu sebuah foto keluarga. Inges sangat suka menatap foto seorang wanita yang sedang menggendong anak kecil berusia sekitar 1,5 tahun menggunakan gaun putih yang serasi dan hal yang menyenangkan di sana terlihat Raden dengan senyum menawannya jauh berbanding terbalik dari wajahnya sekarang ini. Inges hanya menatap foto wanita itu entah kenapa ia seakan sedang melihat dirinya di pantulan kaca. Wanita itu sangat cantik dan wajahnya begitu mirip dengannya. Pertama kali ia melihat foto itu betapa kagetnya dia dan hampir saja berteriak namun ia masih bisa mengontrol alam sadarnya. Pernah juga ia bertanya ke ibu nya apa memang ia benar-benar hanya anak satu-satunya dan ibu nya pun hanya mengangguk waktu itu. Lalu kenapa ia bisa semirip itu dengan wanita di dalam foto itu. "Malaika tau mama di sana. Mama hanya tidak pergi ke langit tapi mama hanya menyamar jadi mama kecil." Gumam malaika tentu saja ucapan itu membuat Inges kaget bukan main tapi saat melihat ke arah suara anak itu masih tertidur lelap. "Kenapa Malaika bisa ngomong seperti itu dalan tidurnya. Tau ah lebih baik aku telpon ibu saja ngasi kabar dulu." Ucap Inges seraya mengeluarkan ponselnya dan berjalan menuju balkon yang ada di luar kamar Malaika. Menjauhkan diri dari anak itu agar tidak mengusik tidurnya. **** Malam sudah berganti pagi dan ini baru pukul 6 pagi. Dengan kepala yang masih terasa berat ia mencoba meraih ponsel yang di letakkan di samping bantalnya. Entah pukul berapa ia tidur semalam karena keasyikan bermain dan ngobrol bersama Radit serta Malaika di ruang bersantai keluarga rumah itu. Radit juga menginap di rumah ini dan tidur di kamar tamu lantai bawah. Sementara Inges tidur bersama Malaika di kamar anak itu, Inges memilih untuk tidur di sofa panjang di kamar tersebut yang berada di tepi kasur Malaika. Awalnya Inges tidur bersama Malaika di kamar anak itu, Inges memilih untuk tidur di sofa panjang di kamar tersebut yang berada di tepi kasur Malaika. Tadinya memang Malaika ikut tidur di kasur namun karena merasa kurang nyaman tidur di sana akhirnya ia pindah ke sofa panjang itu. Dengan cepat ia meraih ponselnya dan mematikan alarm tersebut agar tidak membangunkan Malaika, ia bangkit dari sofa dan berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci wajahnya. "Perasaan tadi pas pindah tidur aku tidak mengenakan selimut deh, terus kenapa selimut ini tergeletak di sini." gumam Inges ketika melihat ada selimut yang berserakan di lantai tepat ada di bawah sofa yang ia jadikan kasurnya semalaman ini. Tidak ingin menyita waktu hanya untuk berfikir masalah selimut Inges pun langsung merapikannya dan meletakkan selimut itu di ujung lain sofa tersebut. Setelah menengok ke arah Malaika yang masih tertidur pulas ia bergegas keluar kamar menuju dapur. Tadi Inges sempat berpikir untuk membangunkan Malaika agar mereka bisa sarapan bersama namun hal itu di urungkan nya melihat wajah tenang anak itu yang sedang tertidur pulas. Inges keluar dari kamar Malaika dengan sebisa mungkin tidak menimbulkan suara langkah kakinya santai menuruni setiap anak tangga rumah besar itu sampai ia tiba di dapur dan melihat pemandangan yang menyejukkan hatinya. Di meja makan sudah ramai orang di sana, ada tuan Raden, Radit, pak Surya serta bu Ani di meja makan. Eh ada beberapa pekerja juga yang bekerja di rumah itu sedang sarapan bersama di meja yang terpisah. Ternyata tuannya yang sedingin kutub utara itu memiliki sisi baik juga, ia tidak merasa keberatan dan risih makan bersama dengan para pembantu di rumah ini. Tanpa sadar inges tersenyum lebar menunjukan rasa bahagianya, namun orang-orang yang ada di ruangan itu malah mematung di tempatnya dan menatap Inges dengan mulut menganga penuh kekaguman juga rasa kaget yang tidak terkira seperti sedang melihat sosok makhluk yang turun dari kayangan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN