"Kamu tidak pergi ke rumah tuan Raden, Nge?" tanya Asih pada anaknya yang seharian ini terus di rumah saja ke kampus pun tidak. Karena memang kampus juga diliburkan 3 hari. Hehe
"Tidak bu lagi libur." Jawabnya berbohong tanpa melihat sang ibu yang berdiri di ambang pintu kamarnya. Inges kini tengah menikmati waktu santainya rebahan di atas kasur sambil mengotak atik ponselnya.
Sudah tiga hari ini Inges hanya berdiam diri di rumah semenjak kejadian dirinya terciduk di rumah tuan Raden waktu itu. Dirinya lebih memilih tidak pergi ke mana-mana ke kampus pun ia izin tidak masuk, benar-benar Inges yang tidak seperti biasanya. Ibunya juga sudah beberapa kali bertanya karena curiga dengan sikap anaknya itu namun dengan pintarnya Inges menyembunyikan rahasianya.
"Kuliah pun libur?" tanya sang ibu lagi.
"lya bu libur, besok baru masuk bu. Kepo banget sih bu sama kehidupan Inge. Biasanya juga gak pernah cerewet." Cibir Inges seraya menatap sang ibu kini.
"Ya heran aja gak biasa-biasanya kamu leha-leha di rumah. Paling juga kelayapan mulu." Sahut Asih.
"Ya elah bu anaknya diem di rumah ngomel, anaknya kerja terus diomelin juga. Ya sudah Inges mau keluar aja kalau gitu." Kini Inges sudah bangkit dari posisi tidurnya berjalan ke arah lemari dan mengambil sweeter rajut berwarna abunya lalu berjalanan keluar melewati sang ibu yang masih berdiri di depan pintunya.
"Eh mau kemana kamu? "
"Mau cari berlian kali aja ada yang buang di jalan." Jawab Inges asal.
"Dasar kamu ya anak kagak sopan!" Ibu Asih hanya geleng-geleng kepala melihat anak gadisnya yang melongos begitu saja meninggalkan rumah.
"Kenapa sih ibu pakai acara libur juga jadi gak tenang deh di rumah. Aish" Gerutu Inges seraya menaiki motornya. Ya ibunya memang libur dua hari ini dan itu membuat Inges pusing karena di komentarin mulu selama diam di rumah.
Setelah 15 menitan Inges mengendarai motor meticnya ia memarkir motor itu di bahu jalan taman favoritnya.
Sepi juga ini taman batinnya. Iya iya lah sepi ia datang ke taman siang bolong begitu mana orang-orang lagi puasa jelas lah jam segini waktu terindah untuk tidur. Hahaha.
Inges memilih duduk di bangku favoritnya di bawah pohon yang rindang itu. Taman kecil ini sangat nyaman dan bersih biasanya akan sangat ramai di kunjungi bila hari libur dan sore hari jika hari-hari biasa. Ia mengedarkan pandangannya menatap langit biru di atasnya. Pikirannya tiba-tiba tertuju pada Malaika, bagaimana kabar anak itu ya sudah 3 hari ia tidak bertemu dengannya. Biasanya paling lama ia libur hanya 1 hari dalam seminggu itu saja sudah akan membuatnya kangen dengan tingkah laku Malaika yang menggemaskan. Selama libur pun Inges akan menerima panggilan video call berkali-kali dari Malaika, namun selama tiga hari ini satu panggilan telpon pun tak ada dari anak kecil itu jadi wajar saja kalau ibunya curiga.
"Apa si beruang kutub membawanya ke luar kota sehingga Malaika tidak menghubungiku?" gumamnya.
Pandangannya nun jauh ke sana dan pikirannya juga entah ada di mana. Kini ia sedang di landa rindu akan malaikat kecilnya.
Dari jarak beberapa meter dari tempat gadis itu berada, sosok seseorang yang biasa mengikutinya kini sedang mengawasi Inges dengan sigap. Namun gadis itu tidak menyadari ada sepasang mata yang sedari tadi mengawasinya seperti singa yang sedang berburu mangsanya. Terlihat senyum mengembang di wajah pria paruh baya itu, dengan langkah yang begitu pelan ia mengendap mendekati Inges. Gadis bodoh itu benar-benar terbawa suana pikirannya, ia berada dalam mode terlena saat ini. Lalat lewat di depan mata pun tidak akan disadarinya. Pria itu melancarkan aksinya kini, setelah berhasil berdiri di belakang anaknya dengan cepat ia membungkam mulut dan hidung gadis tersebut dengan sapu tangan kotak-kotak yang sudah ia beri obat.
"Hmmpp," suara Inges tertahan, obat itu sangat cepat bereaksi. Percuma saja ia mencengkeram tangan lelaki itu, tubuhnya sudah lemas seketika dan ambruk di pelukan ayahnya.
Dengan langkah cepat pria tersebut menggendong tubuh mungil gadis itu. Situasi taman saat itu benar-benar memberikan keberuntungan untuknya. Akhirnya setelah berhari-hari ia berhasil menangkap anak gadisnya itu. Kini ia masukkan tubuh itu ke kursi belakang mobil hitam yang terparkir di balik Mushola taman itu.
"Akhirnya kamu juga berhasil aku rebut dari ibu mu. Cih dasar kalian berdua sama-sama liciknya bagaimana pun kalian bersembunyi di balik topeng kalian. Aku akan tetap mengenalinya." Cibir lelaki itu yang kini sudah menutup pintu belakang mobil dan langsung masuk ke dalam mobil di kursi pengemudi.
"Kali ini ibu mu akan benar-benar menyesal telah kabur dariku. Akan ku buat kamu benar-benar menjadi penghibur laki-laki ber-uang itu. Hahaha." Suara tawa yang terdengar mengerikan kini menggema dalam mobil hitam itu.
Pria paruh baya itu bernama Purnomo dia adalah suami Asih ang tak lain ayah kandung Inges. Tapi ia dengan kejamnya akan menjual anaknya sendiri hanya demi mendapatkan uang. Kelakuannya lebih rendang dari seekor binatang.
Dulu sebelum menikah ia adalah pria yang sangat baik bahkan begitu berwibawa di mata Asih. Meskipun ia dari keluarga yang cukup berada tetapi ia tidak pernah sombong dan pamer. Purnomo adalah sosok lelaki tampan dan berprestasi di kampusnya dulu, banyak wanita yang mengejarnya. Dia sangat ramah dan hangat pada siapa pun sehingga dirinya juga memiliki begitu banyak teman baik laki-laki maupun perempuan.
Karena kerendahan hati dan sikap lemah lembutnya membuat Asih tergila-gila padanya bahkan Asih rela meninggalkan orang tuanya demi menikah dengan Purnomo. Purnomo adalah anak dari juragan tanah di kampungnya dulu, kesalahan terbesar dalam hidupnya adalah membuat wanita bernama Asih itu jatuh cinta padanya.
Pria itu terus melajukan mobilnya hampir 4 jam berlalu. Ia memutuskan untuk berhenti di sebuah warung untuk beristirahat sebentar mengisi perutnya. Di liriknya gadis di kursi belakang itu masih tertidur pulas. Obat itu bertahan lama juga ternyata. Setelah selesai mengisi perutnya yang tadi berdemo ia kembali melanjutkan perjalanan.
Perjalanan mereka sudah sangat jauh meninggalkan kota kecil itu. Kini mobil itu sudah melewati perbatasan memasuki jalan besar kota Trans. Kota dengan gemerlap malam yang menakjubkan, kota dengan banyak gedung yang menjulang tinggi. Kota tempat para pebisnis hebat bertarung dan tentunya kota dengan hiburan malamnya yang sangat terkenal dan menggoda siapa saja yang datang ke sana. Karena begitulah hidup, di mana ada harta dan tahta di situ pasti ada wanita. Hihihi
Purnomo sudah berencana dari awal ia akan membawa putri keduanya untuk di jual di salah satu club malam terpopuler di kota Trans. Club STAR adalah club di mana para bos-bos besar berkumpul untuk membicarakan kesepakatan bisnis mereka. Di sanalah Purnomo akan bertransaksi dengan pengelola club itu untuk menjual anak kandungannya sendiri. Sebelumnya ia sudah berjanji akan membawa gadis perawan kepada pengelola club dan demi mendapatkan uang dengan angka nol yang fantastis ia setega itu menjual anak kandung sendiri.
Ada hal besar yang ia janjikan untuk pemilik club tersebut sehingga ia sampai berani membayar seharga 1 M hanya untuk seorang gadis perawan yang bisa mereka temua dengan mudah jika bertandang ke perkampungan. Namun gadis ini berbeda, gadis yang ditawarkan Purnomo bahkan bisa memberikan club itu keuntungan berkali lipat banyaknya dari harga yang sudah Purnomo tetapkan.
"Dasar samp*h apa kamu sudah bosan hidup hah? Tinggi sekali harga yang kamu berikan hanya untuk seorang gadis sialan itu?" pekik Bagas di depan wajah Purnomo malam itu, Bagas adalah pemilik club malam itu, "benar-benar sudah gila kamu! Cepat kalian bawa pria si*alan ini keluar. Sebelumku tembak kepalanya di sini!" lanjutnya lagi memerintahkan anak buahnya yang berjaga di pintu ruangan kebesarannya itu. Darahnya terasa mendidih seketika pria di hadapannya menyebutkan angka 1 M hanya untuk seorang gadis murahan yang ia klaim masih perawan.
"Tu-tunggu tuan. Saya jamin uang anda bahkan akan kembali berkali-kali lipat dari yang saya tawarkan" Ucapnya terbata kini ia benar-benar gemetar melihat wajah Bagas yang sudah merah padam karena amarah.
Bagas langsung mengernyitkan alisnya seketika lelaki itu kembali membual dengan kata-kata sampahnya yang tidak tau tempat untuk di buang sembarangan. Bagas benar-benar kesal kali ini, ia mengambil pistol yang selalu setia melekat di pinggang kanan tubuh kekarnya. Dengan cepat pelatuknya di tarik dan ditempelkannya tepat di kening Purnomo kini tinggal ia angkat saja jari telunjuknya maka suara tembakan akan menggelegar di sana. Wajah Purnomo seketika pucat pasi seperti mayat hidup badannya juga gemetar merasakan ujung pistol itu menempel dengan kulitnya. Tapi Bagas masih berbaik hati memberikan kesempatan untuk laki-laki gila dihadapannya itu untuk menyelamatkan nyawanya mengingat lelaki itu juga bukan musuhnya.
"Kamu menghina saya ya, kamu pikir saya sebodoh itu hah. Kalau memang yang kamu ucapkan itu benar kenapa kamu tidak menjual saja gadis jalang itu sendiri bahkan kamu akan mendapatkan bermiliar-miliar uang itu seperti ucapan mu? " Teriak Bahas kini sudah sangat geram, rahangnya mengeras matanya melotot penuh amarah.
"Ma-maaf tuan. Saya sudah tidak ingin berurusan dengan mereka lagi. Saya bisa dengan mudahnya menjualnya ke keluarga itu namun itu tidak akan bisa membayar rasa sakit hati saya." Ucapnya terbata dengan bibir yang sangat nampak jelas bergetar. Bagas bisa melihat kesedihan mendalam di sudut mata pria paruh baya itu saat melontarkan kata-kata bijaknya.
Sepertinya si b******k ini serius dengan kata-katanya, batin Bagas.
"Baiklah aku setuju dengan tawaranmu, tapi jika apa yang kamu ucapkan itu ternyata hanyalah sampah kamu harus siap dengan resikonya." Ancam Bagas dan sengaja melepaskan tembakan ke sembarang arah untuk memberikan ketegasan bahwa apa yang ia ucapkan bukan hanya sekedar gertakan biasa, "uang ku dan nyawamu akan menjadi milikku kembali!" lanjutnya.
Purnomo dengan susah menelan salivanya, dengan tubuh yang masih gemetar ia menganggukkan kepala tanda mengerti dan setuju dengan ucapan Bagas.
"Aku memberimu waktu hanya satu minggu bawa gadis mahal itu kemari!" kini Bagas berjalan menuju kursi kebesarannya seraya memberikan kode pada dua anak buahnya untuk membawa Purnomo keluar dari ruangannya.
Senyum Purnomo mengembang seketika mengingat transaksi yang ia lakukan dengan pemilik club tersebut. Dengan cepat ia menaikkan laju kecepatan kendaraanya.