"Bagaimana caraku menghubungi ibu ya. Ponselku hilang dan nasib motorku bagaimana? Dasar pria sialan!" Inges mulai mengumpat sambil mengepal kedua tanganku.
"Aw aw sakit," dia meringis sendiri karena lupa kalau tangan kanannya masih terinfus.
Inges sudah melihat Radit tertidur pulas di sana. Sekarang apa yang harus dia lakukan, akan tambah banyak orang yang melihat wajah aslinya di sini. Harus kah dia kabur tapi itu tidak mungkin dia memiliki hutang pada lelaki itu sekarang.
"Astaga dan aku malah melupakan ibu. Bagaimana aku menghubunginya sekarang. Ah ya pakai telpon rumah sakit saja kali ya. Apa gunanya bayar mahal kalau gak nikmati fasilitasnya. Iya kan?" Inges kembali bermonolog sendiri.
Inges mencoba turun perlahan dari ranjang sebisa mungkin tidak menimbulkan suara agar tidak mengusik Radit yang sedang terkapar di sana. Meraih botol cairan infus dan memindahkannya ke tiang infus beroda itu lalu berjalan perlahan mendekati nakas di seberang sana dengan tangan kiri yang mengangkat tiang infus tersebut. Sengaja di angkat biar tidak ribut.
"Coba ranjangnya kecil kan aku gak harus repot turun begini!" lagi-lagi Inges hanya bisa menggerutu.
Setelah memencet nomor ibu Ani yang sudah di luar kepalanya lalu mengangkat gagang telepon itu dan menempelkannya di telinga kiri.
"Hallo bu," sapanya.
"Hallo Inges, kamu di mana sayang?" tanya Asih di seberang sana dengan suara parau.
Ibu pasti selalu terjaga karena mengkhawatirkan ku. Bodohnya aku sampai bisa lengah seperti itu. Inges bergumam dalam hati.
"Inge di rumah sakit bu. Ibu tidak usah khawatirkan Inge lagi ya! Istirahatlah bu, Inge baik-baik saja di sini. Secepatnya Inge akan pulang dan menceritakan semuanya!" pesannya pada sang ibu dengan suara yang sedikit mulai terdengar berisik.
Astaga dia hampir lupa dengan keberadaan Radit. Kembali Inges rendahkan suaranya dan berpamitan pada ibu Asih.
"Ibu aku tutup dulu ya, ingat ibu tidak usah khawatirkan Inge. Inges 1000% baik-baik saja di sini!"
"Kamu itu ya mana ada seorang ibu yang gak khawatir anaknya menghilang sudah dua hari ini tadinya ibu sudah akan melaporkan kehilanganmu ke polisi mengingat yang pulang hanya motor, dompet dan hp mu."
"Syukurlah aku pikir barang-barang ku sudah hilang di telan orang bu. Alhamdulillah masih selamat." Ucap Inges girang namun masih dengan suara pelan.
"Dasar kamu ini, ya sudah kalau begitu kamu istirahat saja ya nak. Hati-hati!" pesan ibu Asih kembali.
"Iya bu." Inges memutuskan sambungan teleponnya.
Dasar ibu mah sukanya begitu, barusan dia sendiri yang ceramah ibu mana yang tidak khawatir sama anaknya yang menghilang namun sekarang dengan santainya berpesan hati-hati. Batin Inges kini ia hanya bisa menggerutu sendiri lalu kembali naik ke ranjang dengan sedikit usaha agar tidak menimbulkan suara.
Entah berapa lama Inges duduk di ranjang itu sampai rasa kantuk pun mulai datang dan memaksanya untuk tertidur pulas.
Keesokan harinya Inges terbangun karena merasa ada guncangan di tubuhku.
"Nge bangun. Bangun sudah pagi bentar lagi dokter mau periksa keadaan kamu," ucap Radit seraya mengguncangkan bahu kanan Inges dengan pelan.
Perlahan Inges membuka mata dan bangkit dari posisi tidurku di bantu oleh Radit yang memegangi kedua bahunya.
"Aku baik-baik saja Dit hanya nyawaku belum terkumpul," ucapnya setelah dalam posisi duduk sempurna.
Radit terkekeh mendengar ucapan Inges lalu menyodorkan nampan berisi makanan yang di sajikan rumah sakit. Mencium aromanya saja sudah membuatnya lapar. Mata Inges langsung berseri melihat menu sarapan di nampan itu yang tidak nampak seperti makanan rumah sakit pada umumnya.
Mungkin ini yang di namakan beda kelas ya. Ini menunya sudah layaknya menu hotel bintang lima.
Tanpa berkomentar lagi Inges langsung menyantap hidangan tersebut, ada pasta sebagai menu utama didampingi dengan roti, salad, mashed potato, sup, dan lainnya.
"Sarapannya saja sudah secanggih ini." Inges bermonolog sendiri
"Pelan pelan saja makannya Nge, gak ada yang bakalan salip kok!" canda Radit.
Inges hanya membalas dengan senyum pepsodent sambil terus melahap makanan yang ada di meja kecil itu sampai habis semua tak bersisa.
"Sudah kenyang kah? Lu makan segini banyak bisa-bisa itu club bangkrut Nge di buat," ucap Radit yang hanya bisa terpesona melihat porsi makan gadis itu.
DEG.
Ucapan yang berupa becandaan itu mengingatkan Inges akan sesuatu. Seketika wajahnya berubah lemas.
"Bagaimana aku bisa mengembalikan uang 50 M mu itu Dit?" lirih Inges sambil menatap lelaki di hadapanku yang di tatap malah tertawa. Spontan Inges langsung memanyunkan bibirnya, lagi gak becanda malah diketawain.
"Wajahmu lucu Nge sudah seperti panda yang tidak di kasi makan seminggu. Hahaha," tawa Radit semakin membahana saja.
"Sialan lu." Inges semakin memajukan bibirku sudah seperti mulut bebek saja.
"Cukup membalasnya dengan kamu menjadi kekasihku saja Nge!" Ucap Radit santai yang niatnya becanda.
Namun siapa sangka ucapannya itu membuat seseorang yang baru saja memasuki ruangan itu menjadi geram. Raden menghampiri mereka dengan tatapan tajam yang sempurna.
"Siapa yang akan menjadi kekasih siapa?" ucapnya tegas penuh penekanan.
Radit dan Inges langsung menoleh ke sumber suara bersamaan. Inges hanya bisa menampakkan wajah paniknya di hadapan pria itu. Sementara Radit sedikit terkejut melihat bongkahan es yang berjalan ke mendekatinya dengan penuh tatapan membunuh.
Shit dasar pak surya tidak bisa dipercaya, umpat Radit dalam hati.
"Abang kenapa bisa di sini?" tanyanya dengan ragu tanpa menjawab pertanyaan Raden kakaknya.
"Bukan urusanmu lagi pula sudah seharusnya aku berada di sini dari kemarin, dan jangan pernah bermimpi untuk menjadi super hiro di sini karena yang sebenarnya menolong dia itu aku!" ucap Raden dengan wajah datarnya.
"Lah kenapa jadi begitu bang?" protes Radit "jelas-jelas aku yang nolongin Inge!" lanjutnya
"Hahaha uang yang kamu pakai untuk menebusnya itu uangku. Dan kamu anak kecil dengan gampangnya menggunakan uang itu layaknya uang lima puluh ribuan!" kini suaranya terdengar menakutkan.
Inges hanya bisa menundukkan kepalanya tak berani melihat beruang kutub yang sedang mengamuk itu.
Kenapa mereka malah ribut di sini sih. Inges.
"Sudah lah kamu pulang saja biar aku yang menjaganya." Suara Raden tiba-tiba mulai tenang.
"Tapi," ucapan Radit terhenti karena Raden kini sudah mengeluarkan tanduknya lagi.
"Tidak ada tapi-tapian. Dia milikku sekarang karena uangku lah yang menyelamatkannya." Bentak Raden dengan amarah yang terpancar dari sudut matanya.
Radit hanya bisa menghela nafasnya lalu beranjak pergi meninggalkan kamar itu dengan langkah berat. Hatinya tidak rela meninggalkan Inges tapi apa yang di katakan kakaknya benar uangnya lah yang dia gunakan untuk membeli Inges.
Deg..
Raden mendekati ranjang Inges setelah merasa Radit sudah jauh dari kamar itu.
"Kita pulang ke rumah hari ini sayang. Akan ku bawa kau kembali ke rumah kita!" ucap Raden dengan suara lembutnya sambil mengusap kepala Inges yang masih tertunduk itu. "Tunggu di sini aku akan mengurus biaya administrasi dulu dan meminta dokter Tirta untuk memeriksa mu sekali lagi. Maafkan aku yang datang terlambat!" lanjutnya lagi.
"Daebak apa orang ini salah minum obat pagi ini. Kenapa sikapnya menjadi sangat manis sekarang. Wah jangan-jangan memang benar dia memiliki kepribadian ganda?" gerutu Inges dalam hati. Ia masih tertunduk dan tak berani menatap Raden sampai Raden akhirnya keluar dari kamar.
"Sepertinya dia mulai menggila, terobsesi oleh wajah ini. Apa yang harus aku lakukan sekarang." Inges mulai bermonolog.
Tempramen Raden bener-bener tidak stabil melihat diri Inges dengan wajah itu. Sebentar-sebentar ia akan bersikap seperti biasa dingin seperti es namun akan cepat lagi berubah menjadi lelaki lemah lembut dan penyayang. Kan jadi serem kalau berada di dekatnya dengan suasana hati Raden yang seperti bunglon.
Aku harus cepat menemukan alat tempur baru agar bisa mengembalikan nyawa yang hilang dari tubuh beruang ini. Bahaya kalau dia terus begini bisa-bisa aku juga akan ikut gila di buatnya. Inges mulai berdiskusi dengan pikirannya untuk melancarkan aksinya mengembalikan kesadaran tuannya itu.