Pria Berkelakuan Bunglon

1187 Kata
Setelah selesai melakukan pemeriksaan terakhir kini Inges sedang duduk bersandar menunggu suster selesai membuka selang infus di tangannya sementara dokter Tirta masih setia menunggu di sampingnya. sebenarnya Inges agak risih juga sama ini dokter karena ia dari tadi hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit di artikan. Tapi Inges sadar kenapa tatapan dokter ganteng ini seperti itu padanya, pasti ada sangkut pautnya sama wajahnya aslinya yang terpampang nyata. Namun Inges enggan entuk menanyakan hal itu karena ia tidak mau terlibat dalam kehidupan masa lalu tuannya. Sementara Raden masih belum kembali keruangan itu sejak ia keluar tadi. "Ganti pakaianmu dulu sayang!" ucap Raden yang masuk tiba-tiba membawa paper bag besar berwarna coklat sontak membuat 3 orang di ruangan itu menoleh ke arahnya. Ya salam beruang kutub ini sepertinya sedang kehilangan kesadarannya, batin Inges. Tirta dan Inges hanya bisa membelalakkan mata dengan kelakuan orang di depan mereka itu. "Dok sepertinya tuan di sana itu juga butuh obat sikapnya aneh sekali sejak ia datang ke sini!" ucap Inges dengan memberikan kode pada dokter Tirta untuk melihat orang di depan sana yang menurutnya sedang tidak sehat akalnya. Dokter Tirta hanya tersenyum sinis ke arah Raden namun lagi-lagi dia hanya bersikap santai tak peduli dengan sahabatnya itu. "Kamu benar Nge, dia sudah kehabisan obat sadarnya." Tutur Tirta membenarkan. "Kalian berdua kompak sekali!" ucap Raden dengan melebarkan senyumnya. "Maaf nona infusnya sudah saya lepaskan. Saya permisi dulu!" sela suster itu seraya pamit undur diri. Inges dan Tirta hanya menganggukkan kepala. Setelah pintu kamar ditutup rapat oleh suster tadi, Inges langsung angkat bicara sebelum tuannya tambah menggila. "Tuan sadarlah saya Inges pengasuh Malaika bukan kekasih anda!" jelas Inges dengan tegas. "Hahaha," suara tawa menyeramkan terdengar. Ups sepertinya Inges salah berbicara. "Apa kamu lupa aku sudah mengeluarkan uangku untuk menyelamatkanmu. Apa kamu bisa mengembalikan uang itu?" lanjut Raden dengan suara dan tatapan dinginnya. Mampus lu Nge kenapa gak diem aja sih. Biarin aja si beruang kitub ini bertindak semaunya. Batin Inges merutuki diri sendiri. Sementara Tirta hanya mengernyitkan alisnya melihat sikap Raden yang kini berubah kembali. "Bro sepertinya kamu harus hati-hati dengan dirimu sendiri," pesan Tirta penuh makna, "ingat dia adalah orang yang berbeda!" lanjutnya lagi seraya menepuk bahu Raden setelah itu ia pergi meninggalkan ruangan VVIP tersebut. Kini tinggallah mereka berdua di sana Inges dan Raden. Raden mendekati ranjang dan sedikit menundukkan punggungnya membuat wajah mereka semakin dekat. Sementara tangan kanannya yang membawa paperbag diletakkan tepat di samping Inges. Inges hanya menatap ke depan tanpa berani sedikit pun menoleh ke arahnya. "Jangan pernah sekali-kali kamu memperingatkan ku atau membantahku jika tidak kau harus mengembalikan uang itu dengan nyawamu sendiri!" titah Raden berbisik di telinga Inges. Seketika wajah inges berubah pucat mendengar kata-kata Raden. Ia hanya menelan saliva nya. Tanpa sadar Inges menoleh ke arah Raden membuat bibir dan ujung hidungnya bersentuhan dengan pipi mulus lelaki itu. Bodoh bodoh dasar gadis bodoh, lalu apa bedanya aku sekarang. Apa yang aku perbuat sekarang, berada di club maupun keluar dari sana aku sama saja. Lagi-lagi Inges hanya bisa merutuki dirinya. Sementara Raden tersenyum bahagia mendapatkan ciuman lembut itu. "Bagus begini lebih baik!" ucap Raden kembali berbisik dan perlahan menarik tubuhnya dari hadapan Inges, "ganti bajumu dan kita akan keluar dari sini!" lanjutnya lagi. Hening. Inges masih mematung di ranjangnya sampain suara lembut itu kembali menyapa dan menyadarkan dirinya. "Apa kamu butuh bantuan sayang?" tanya Raden yang mulai menjulurkan kedua tangannya. "Eh ti-tidak tuan aku bisa sendiri!" jawab Inges gugup lalu bergegas mengambil paper bag coklat itu menuruni ranjangnya dan beranjak ke kamar mandi untuk mengganti baju pasien yang dikenakan selama ia di rumah sakit. Setelah beberapa menit ia keluar dari kamar mandi itu. Ditatapnya pakaian yang ia kenakan benar-benar tidak sesuai dengan gayanya yang biasa. Kini ia menggunakan dress polos one shoulder yang cantik Dengan detail pita di samping berwarna dusty. Ia terlihat sangat feminim dengan rambut yang di silangkan ke samping kiri lehernya. Tak hanya pakaian Raden juga sudah menyiapkan sepatu hak datar yang manis lengkap dengan tas selempang kecil berwarna senada dengan bajunya. Inges benar-benar sakit mata melihat penampilannya sekarang di tambah model baju yang lengannya sedikit turun di bagian kirinya membuat bahunya terlihat makanya ia sengaja membiarkan rambutnya terurai ke samping kiri tanpa mengikatnya. Raden yang sedari tadi menatapnya dengan tatapan takjub hanya tersenyum bahagia melihat penampilan gadis itu. Ketika pandangan mereka bertemu cepat-cepat ya memalingkan wajahnya menghadap ke sembarang arah. Sialan kenapa mereka begitu mirip, batinnya. "Mana kacamata hitam yang aku di dalam paper bag itu. Kenakan cepat!" ucap Raden lagi-lagi memerintah dengan seenaknya. Nah kan balik lagi dia ke dirinya yang sedingin es itu. Melihatku saja enggan lalu buat apa dia bawakan aku pakaian seperti ini, batin Inges. Dengan cepat ia kenakan kaca mata hitam bundar besar itu yang sedari tadi di genggamnya. Kacamata yang hampir menutup setengah wajahnya. "Sudah bereskan barang mu sekarang, aku tunggu di luar!" ucap Raden sambil berlalu pergi. Inges hanya menganggukkan kepala dan terus menatap punggung lelaki yang berjalan keluar itu. Karena barang bawaannya tidak banyak maka ia tidak membutuhkan waktu lama untuk berkemas. Ia hanya mengambil pakaiannya di dalam nakas sana dan memasukkannya kembali ke dalam paper bag yang tadi di bawa oleh Raden. Lalu pergi keluar menyusul Raden. "Kemana kita akan pergi?" tanya Inges yang susah berdiri di samping Raden. Raden menoleh dan tersenyum. "Kita akan pulang ke rumah, memangnya mau ke mana lagi?" ucap Raden sambil menggandeng tangan Inges. Inges sempat menghindar karena terkejut mendapat perlakuan itu namun Raden dengan cepat menarik tangannya. Jadi kini mereka hanya bergandengan tangan dan Raden mulai menuntun Inges berjalan. Mereka berjalan beriringan di koridor rumah sakit mewah itu. "Tuan aku malu, semua orang melihat kita. Ini juga bulan puasa tidak baik seperti ini!" ucap Inges dengan suara pelan karena merasa risih dengan tatapan orang-orang di sana. "Diam." Hanya itu yang Raden ucapkan. Mereka pun berlalu sampai akhirnya tiba di parkiran mobil. Raden membukakan pintu dan membantu Inges masuk kedalam mobilnya. Lalu ia memutar dan masuk ke dalam mobil duduk di kursi pengemudi dengan Inges di sampingnya. "Apa tuan akan mengantarkan saya pulang ke rumah saya?" tanya Inges memastikan yang di maksud Raden tadi pulang ke rumah itu rumahnya dia tau rumahnya Raden. "Ke rumah kita." Jawab Raden singkat. Mobil pun melaju meninggalkan rumah sakit itu menembus jalanan kota besar itu. Bangunan-bangunan tinggi menjulang ke langit terlihat berjejer rapi. "Apa-apaan dia bilang rumah kita, dasar beruang kutub gak jelas," gumam Inges dalam hati. Mobil terus melaju dengan cepat memecah jalanan kota. Hening tak ada percakapan selain suara bising dari kendaraan yang lalu lalang di jalan raya itu. Sampai akhirnya Inges terlelap dalam tidurnya. Kepalanya bersandar pada kaca pintu mobil. Ketika mobil berhenti karena lampu merah menyala dengan perlahan Raden memindahkan kepala Inges ke sandaran kursi mobil dan menurunkan sedikit posisi kursi mobil itu agar Inges bisa nyaman dalam posisi tidurnya. Terlihat goresan senyum bahagia di wajah lelaki itu. "Siapa sangka takdir mempertemukan kita kembali dengan cepat walaupun kamu dalam jiwa yang berbeda. Namun aku akan pastikan kamu akan selalu menjadi milikku." Gumam Raden dengan suara pelan lalu dikecupnya kening Inges dengan lembut dan penuh sayang. Sedangkan di alam bawah sadarnya Inges ia sedang bermimpi seorang pangeran tampan sedang mencium keningnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN