Part 6
Pagi menyapa dengan kicauan burung dari halaman depan rumah pak Kasni, tetangga depan rumah Izra. Sesekali terdengar suara senandung langgam Jawa dari pria paruh baya tersebut.
Izra yang tadi tertidur lagi seusai salat Subuh, akhirnya terbangun karena mendengar berbagai suara tersebut. Pria berkulit kuning langsat itu merenggangkan tubuh. Menggeliat ke kanan dan kiri sambil menendangkan kaki dengan sekuat tenaga.
"A', buruan bangun!" teriak Rhea dari balik pintu kamar.
"Udah bangun ini, Dek," jawab Izra sembari menguap.
"Buruan mandi, terus ibu minta anterin ke pasar."
"Kamu aja atuhlah."
"Aku ada kuliah jam delapan, A', ini udah mau berangkat." Suara sang adik yang mengecil menandakan bahwa perempuan muda itu telah menjauh.
Izra menggeleng pelan sambil berdecak. Kemudian dia beringsut ke pinggir kasur, duduk diam selama beberapa saat sebelum beranjak ke luar kamar, jalan gontai menuju kamar mandi yang berada tepat di tengah-tengah antara kamarnya dan kamar Rhea.
Beberapa menit berselang, Izra keluar sembari menggosok-gosok rambut yang basah dengan handuk. Seulas senyuman tercipta di wajahnya saat membayangkan sang adik yang akan mengomel panjang lebar, bila tahu Izra telah memakai handuknya.
Pria beralis tebal itu jalan menuju balkon dan menggantung handuk di jemuran kecil di sudut kiri. Kemudian dia berpegangan pada tembok sambil memandangi langit biru yang sangat cerah. Menghirup udara pagi yang segar sembari memperhatikan sekitar.
Izra membalas sapaan pak Kasni dengan lambaian tangan. Pria paruh baya itu memang sangat ramah. Tak peduli tetangganya yang disapa itu masih muda atau tidak, dia akan menyapa duluan.
Suara panggilan ibunya membuat Izra tersadar dari lamunan. Pria yang kali ini mengenakan kaus biru muda dan jeans biru tua itu bergegas menuruni anak tangga.
"Sarapan dulu, terus anterin ibu ke pasar!" titah Bu Tias yang dibalas anggukan kepala Izra.
Tanpa banyak bicara pria tersebut langsung menyantap sepiring nasi goreng bumbu kencur yang dihiasi telur ceplok dan taburan bawang goreng yang wangi.
Seusai makan dan menyeruput kopi susunya, Izra bergegas menyalakan mesin motor dan mengelap matic hitam kesayangan itu sambil bersiul.
Beberapa menit kemudian, motor tersebut sudah keluar dari halaman rumah. Izra memacu kendaraan dengan kecepatan sedang. Berusaha untuk tetap berhati-hati dalam berkendara demi keselamatan diri.
Setibanya di pasar, Izra ikut masuk karena tidak tega bila nanti sang ibu akan kerepotan membawa banyak belanjaan.
"Aa' tunggu di sini aja, ibu mau ke bagian daging dan ikan," ujar Bu Tias sambil meletakkan kantung plastik besar hitam di dekat kaki Izra, yang tengah duduk di bangku sebuah warung kecil di dalam pasar.
Tanpa menunggu jawaban sang anak, Bu Tias bergegas jalan menuju bagian belakang pasar. Izra memesan teh manis hangat dan duduk sembari memperhatikan sekeliling.
Suasana pasar yang tidak terlalu terang ini merupakan tempat favorit makhluk tak kasatmata. Sejak tadi, sudah ada beberapa kelebatan di tempat-tempat gelap. Izra sengaja mengabaikan kehadiran mereka, karena tidak mau diikuti sampai ke rumah.
Teringat pesan ayahnya yang pernah mengatakan hal tersebut, saat Izra baru menyadari kekuatan supranatural yang dimilikinya. Hal ini bersifat turun-temurun. Hampir semua keluarga dari pihak Ayah juga memiliki kemampuan yang sama.
Bibir Izra melengkung ke atas, saat mengingat berbagai keluhan para sepupunya yang juga sama sepertinya. Mereka sering dianggap aneh oleh orang lain. Bahkan tidak jarang ada yang mengatai bahwa mereka telah bersekutu dengan setan.
Padahal, seluruh keluarga sudah berusaha untuk membuang kemampuan tersebut melalui rukiah dan lain sebagainya. Namun, tetap saja kemampuan itu kembali lagi, bahkan dengan kemampuan yang lebih besar dari sebelumnya.
Tiga puluh menit kemudian, Bu Tias kembali dan langsung mendudukkan diri di sebelah anaknya. Mengambil gelas milik Izra dan meneguk minuman sampai habis.
"Udah beres, Bu?" tanya Izra.
"Udah, bentar lagi kita pulang. Ibu mau istirahat bentar," jawab Bu Tias.
"Belanjanya banyak amat?"
"Ini sekalian buat nyetok seminggu. Capek bolak-balik pasar tiap hari."
Setelah dirasa cukup beristirahat, Bu Tias mengajak putranya pulang. Sekali lagi Izra memacu kendaraan dengan hati-hati, terutama karena bawaan kali ini penuh dan berat.
Setibanya di rumah, ternyata Kenzie, Gunther dan Gwen sudah menunggu. Tanpa sungkan Gwen menggelendot manja di lengan Bu Tias. Persahabatannya dengan Izra membuat gadis itu sering berkunjung dan sangat dekat dengan keluarga Izra.
"Gwen, habis bantuin Ibu, kita kumpul di ruang tamu, ya," ujar Izra sembari menggulung celana jeans karena dia hendak memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri.
Gwen mengangguk mengiakan, kemudian melanjutkan membantu Bu Tias memasukkan belanjaan ke kulkas sembari mengobrol dengan perempuan dewasa tersebut.
Tak lama kemudian, Emyr, Rini dan Galang tiba nyaris bersamaan. Mereka langsung berkumpul di ruang tamu dan membahas rencana perjalanan selanjutnya, sambil menikmati hidangan yang dibeli di pasar tadi.
***
Tepat pukul 10 pagi, Izra dan teman-temannya berangkat menuju bangunan hotel yang kemarin mereka datangi.
Sepanjang perjalanan, Stella memandangi wajah Emyr dengan tatapan penuh kekaguman. Sementara yang lainnya hanya mentertawakan nasib Emyr yang sering digandrungi para makhluk tak kasatmata.
Setibanya di depan hotel, ketujuh orang tersebut segera menurunkan semua peralatan yang dibutuhkan Kenzie dan memasangkannya di lobby hotel.
Kenzie yang meminta hal tersebut, karena dengan begitu dia bisa cepat membantu keenam temannya bila dibutuhkan.
"Oke, sesuai rencana tadi, kita mulai menyebar. Tetap pada jalur masing-masing kecuali kondisi darurat," titah Izra yang dibalas anggukan yang lainnya.
Kali ini Izra membagi mereka dalam tiga kelompok. Hal ini dimaksudkan agar banyak tempat yang bisa tereksplor nantinya.
Emyr yang berpasangan dengan Rini langsung menaiki tangga dan mengecek bagian depan lantai dua. Mereka mengecek beberapa kamar yang pintunya bisa terbuka untuk mendeteksi pergerakan makhluk halus di tempat tersebut.
Sementara Galang dan Gunther mengecek ke bagian dapur. Sedangkan Izra dan Gwen bergerak memasuki lorong di belakang meja lobby.
Stella melayang pelan mengikuti Izra dan Gwen. Tadinya dia memaksa ingin ikut dengan Emyr, tetapi karena takut diguyur bubuk bidara oleh Gunther akhirnya hantu perempuan bergaun kuning muda tersebut menurut dan mengikuti Izra.
"Stop di sini, Gwen," ujar Izra sambil menatap layar ponsel yang disematkan di tas khusus miliknya.
"Auranya pengap banget ini, Bro," sahut Gwen sembari memindai sekitar.
"Hu um, kita tunggu perintah dari Kenzie, karena di layar ini nggak keliatan apa-apa."
"Tes, tes. Aa' Izra, kameranya naikin dikit, ada sesuatu di ujung kanan," pinta Kenzie dari microphone.
Izra menggeser kamera yang menyatu dengan senter di bagian kepalanya. Secarik senyuman terbit di wajahnya yang tampan saat melihat kelebatan merah di tempat yang disebutkan Kenzie.
"Mbak Mun!" pekik Stella.
Tiba-tiba sesosok perempuan bergaun merah tua itu muncul di antara lemari bufet yang sudah lapuk di sudut kanan. Rambut panjangnya berkibar. Mata merah menyala dan menatap nyalang pada dua sosok manusia di hadapan. Raut wajahnya tampak sangat dingin.
"Hati-hati, Aa', dia hantu sensian," bisik Stella sambil merapatkan tubuh di belakang Izra.
"Kamu tuh gimana sih, Stel, hantu kok takut hantu," keluh Izra sambil menggeleng pelan.
Stella tidak menjawab, melainkan sibuk mengintip dari balik bahu Izra. Sementara Gwen langsung melakukan gerakan silat di tangannya, sembari meniupkan udara ke sekeliling.