Part 5
-Kediaman Izra-
Suara petikan gitar mengiringi nyanyian merdu dari Izra. Pria muda berparas menawan itu tampak sangat menghayati lagu, hingga membuat Kenzie tersenyum melihat tingkah sahabatnya tersebut.
Sesekali Kenzie ikut menimpali dengan suara khasnya yang sedikit berdengung, tak peduli hal tersebut akan semakin menghancurkan harmoni lagu.
Sesosok perempuan bergaun kuning muda melayang di pinggir balkon, memperhatikan kedua pria yang tengah duduk-duduk di teras atas itu dengan lekat.
Sejak baru tiba tadi, Stella tidak bisa memasuki rumah milik orang tua Izra tersebut. Hal ini disebabkan karena pagar gaib yang melindungi rumah. Sehingga dia hanya bisa melayang mengitari rumah, atau nongkrong di atas pohon jambu air di depan rumah.
Stella juga tidak bisa memasuki rumah sebelah kanan, yang merupakan tempat tinggal Kenzie dan kedua kakaknya. Orang tua Kenzie tinggal di Sukabumi, karena ayahnya merupakan salah satu pejabat di sana. Mereka akan pulang ke Bandung setiap akhir pekan untuk mengontrol ketiga anaknya.
"Ngeliatin mulu," omel Izra sambil memandangi Stella yang melayang mendekat.
"Habisnya aku nggak bisa masuk," sahut hantu perempuan itu dengan nada suara manja. Bibirnya mengerucut sempurna dan membuat wajahnya tampak lucu.
"Coba aja masuk, paling gosong," canda Kenzie.
Stella kembali mencebik, melipat tangan di bagian depan tubuh dan membuang muka ke arah lain selama beberapa saat. Kemudian dia kembali memandangi kedua pria muda itu sembari bertanya,"kenapa sih, aku dilarang ikut sama Emyr ganteng?"
"Karena ibunya Emyr itu dukun besar. Bisa-bisa kamu hangus terpanggang bahkan sebelum menyentuh pagar rumahnya," jawab Izra yang disambut tawa Kenzie.
"Beneran? Hiii!" Stella menggerak-gerakkan tubuhnya dengan cepat. Gaun yang dikenakan pun ikut berkibar.
Suara panggilan dari lantai bawah, membuat Izra dan Kenzie menghentikan aktivitas mereka. Izra menutup pintu balkon sebelum jalan menuju tangga. Kenzie mengekor setelah sebelumnya meletakkan gitar di gantungan, dekat pintu kamar Izra yang berada di bagian kiri rumah.
"Makan, yuk!" ajak Bu Tias, ibunya Izra, sesaat setelah mereka tiba di ruang makan yang berhadapan dengan tangga.
"Aku pulang dulu," pamit Kenzie.
"Udah, sini, kita sama-sama makan!" titah Pak Amran, ayahnya Izra yang sedang menaikkan sarungnya sebelum bergerak duduk di kursi bagian ujung kanan meja.
Kenzie beradu pandang dengan Izra yang menjulurkan lidah. Sangat paham bila tidak bisa membantah perintah Pak Amran, beliau akan marah.
Seorang perempuan muda jalan mendekat dengan membawa satu mangkuk besar berisi sayur asam. Meletakkannya di atas meja dan menarik kursi di sebelah kanan sang ayah.
Izra duduk di sebelah Rhea, adik perempuan satu-satunya yang saat ini baru masuk kuliah di universitas yang sama dengan dirinya. Kenzie duduk di sebelah kanan Izra.
Setelah membaca doa bersama, kelima orang tersebut menikmati hidangan sambil mengobrol santai. Izra menceritakan tentang kejadian tadi siang pada ayahnya. Kenzie menimpali sesekali.
"Stella di sini?" tanya Rhea. Gadis berparas manis itu memindai sekeliling ruangan, berharap bisa menemukan sosok hantu perempuan bergaun kuning tersebut.
"Di luar, tadi sih di pohon mangga," jawab Izra sambil menyuapkan makanan ke mulut dan mengunyah dengan perlahan.
"Besok kembaliin lagi ke tempatnya," timpal Pak Amran.
"Iya, Yah, rencana kami juga gitu." Izra menarik selembar tisu dan mengelap sudut bibirnya.
"Kayak gimana sih tampangnya?" Rhea kembali bertanya dengan rasa penasaran tingkat tinggi.
"Keluar dan lihat sendiri aja," sahut Izra.
"Menyeramkan nggak?" Rhea berdiri dan mengangkat piringnya serta piring Ayah dan ibunya.
"Nggak, ngemesin," timpal Kenzie.
Bu Tias mengikik geli mendengar jawaban Kenzie. Perempuan berusia empat puluhan itu mengerling pada suami, yang membalas dengan menaikkan alis. "Jangan sampai tergoda jurig, nanti kayak Ayah," ujar beliau sembari menahan tawa. (jurig = hantu)
"Beuh! Diungkit deui!" protes Pak Amran. Wajah pria berusia empat puluh tujuh tahun itu berubah sedikit masam. Akan tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama, karena pria yang berwajah manis itu akhirnya tersenyum lebar.
"Gimana ceritanya, Bu?" tanya Izra sambil berpindah duduk di sebelah sang ibu.
"Ayahmu, papanya Kenzie dan teman-teman lainnya, lagi liburan ke Lembang. Nyewa villa gitu. Pas malam tiba, ada perempuan muda yang datang dan menawarkan jasa nyanyi dengan diiringi sound sistem bawaannya dan beberapa orang lainnya," ucap sang ibu memulai cerita. Wajah Bu Tias tampak sangat bahagia bila sedang menceritakan kisah masa lalu sang suami.
"Penyanyi dan pemain musik itu jumlah totalnya ada lima orang. Tiga laki-laki dan dua perempuan. Semuanya memakai pakaian ala artis keliling. Ayah, lanjutin gih!" Bu Tias menghentikan ucapannya.
"Ehm, awalnya nggak ada yang aneh. Beberapa teman ayah ikut berjoget bersama para pemusik itu. Seusai pentas dan menerima bayaran, mereka pun pergi. Sebelum pergi itu, penyanyi yang paling cantik mengedip-ngedipkan mata ke ayah." Pak Amran menyambung ucapan sang istri.
"Terus, dia berbisik, minta ayah menemuinya di gerbang villa. Maklum, masih muda, penasaran deh. Pergilah ayah ke sana bersama seorang teman." Pak Amran menghentikan ceritanya saat mendengar tawa kecil sang istri.
"Jangan ketawa dulu atuh, Bu," tukasnya.
Bu Tias menutup mulut dengan tangan, tetapi bahu yang berguncang menandakan bahwa dirinya masih tertawa. Rhea pun sama seperti ibunya, sejak tadi dia tak henti mengikik.
"Ayah lupa jam berapa ke sananya, yang pasti udah malam. Pas tiba, perempuan itu lagi duduk di bangku kayu. Waktu itu nggak kepikiran buat nanya itu bangku dari mana." Pak Amran melanjutkan ceritanya. Sesekali dia beradu pandang dengan Bu Tias yang semakin sulit untuk berhenti tertawa.
"Kami ngobrol biasa, ketawa-ketawa. Entah berapa lama ngobrol, akhirnya teman ayah pamit, udah ngantuk dia. Tinggallah ayah dengan perempuan itu. Duduk berjam-jam, lupa dengan waktu yang semakin larut."
"Hingga akhirnya perempuan itu mengajak ayah ke suatu tempat. Kayak kerbau dicucuk hidungnya, ayah manut aja. Nggak tahu diajak ke mana itu."
"Jaraknya sih nggak terlalu jauh dari villa, banyak rumah-rumah penduduk. Tapi keadaannya sepi banget. Sampai akhirnya kami berhenti di sebuah rumah bagian tengah. Duduk di kursi teras depan rumah yang suasananya cukup gelap. Melanjutkan obrolan sampai ayah benar-benar nggak sadar dan tertidur."
Sejenak hening, hanya suara tawa Bu Tias yang masih terdengar. Sementara Pak Amran hanya senyum-senyum saja sambil menumpangkan lengan di sandaran kursi.
"Terus, Yah?" tanya Rhea, gadis itu sampai menghentikan niatnya untuk mencuci piring hanya untuk bisa mendengarkan kelanjutan cerita sang ayah.
Demikian pula dengan Izra dan Kenzie. Kedua pria muda itu mencondongkan tubuh ke depan dan menunggu Pak Amran meneruskan bercerita.
"Pas ayah bangun, ternyata ... ayah tidur di kuburan."