Part 7
Sementara itu di bagian dapur, Galang mengumpat panjang lebar saat melihat kamera yang kemarin dipasang ternyata telah hilang dari tempatnya.
"Yang ngambilnya pasti manusia," ujar Gunther sambil mengusap dagunya yang ditumbuhi janggut beberapa helai.
"Lumayan itu harganya," sela Kenzie yang baru tiba setelah mendengar berbagai makian Galang.
"Bisa beli bakso berapa mangkuk?" tanya Gunther.
"Kalian ini, yang dibahas makanan mulu," protes Rini dari microphone.
"Atuh da mulai lapar nih, Rin," kilah Gunther seraya tersenyum lebar.
"Yaelah, Gun. Makanya, jangan piara cacing dalam perut," tukas Rini sembari mengikik.
"Eits, ini bukan cacing, Rin. Gajah. Belalainya udah keluar," balas Gunther yang sontak membuat semua teman-temannya terbahak-bahak.
Mereka seakan-akan lupa tengah berada di dalam misi. Hal ini selalu terjadi di setiap petualangan dan tentu saja, no heart feeling kalau sudah bercanda.
"Ken, cuss beli makan gih. Jam dua belas kita stop keliling dan ngumpul di lobby bawah," pinta Izra seusai tertawa.
"Oke, Bos, pada mau apa? Yang satu tempat aja biar aku gak repot nyari," sahut Kenzie sambil menatap Gunther dan Galang bergantian.
Di kelompok ini Kenzie juga bertugas sebagai bendahara umum. Terkadang, dia menalangi dulu pembelian makanan atau barang-barang kebutuhan kelompok lainnya. Setelah itu teman-temannya akan urunan buat mengganti uang Kenzie yang terpakai.
"Aku pengen nasi Padang, pakai ayam bakar dan perkedel," jawab Izra.
"Idem," timpal Gwen.
"Sami mawon," balas Emyr.
"Aku mau lauknya rendang, Ken, sama perkedel juga," imbuh Rini.
"Kalau aku, mau pakai kikil sama rempeyek udang," kata Gunther. "Sambalnya yang banyak," sambungnya.
Kenzie kembali memandangi Galang yang tampak masih berpikir. Kemudian pria berhidung mancung itu membalas tatapan Kenzie sambil berseru,"aku mau pakai daging cincang, ikan goreng, perkedel dan dadar!"
"Buset! Banyak amat, Gal?" tanya Emyr seraya tertawa kecil.
"Aku lagi pengen makan orang yang nyuri kamera kita sih sebenarnya," tambah Galang yang mendapatkan sambutan tawa dari yang lainnya.
***
Emyr duduk bersila di lantai sambil memperhatikan layar ponselnya. Sementara Rini masih serius memperhatikan sebuah denah bangunan hotel yang digantung di dinding, tepat di depan kamar yang bersebelahan dengan balkon atas.
Sesekali Emyr bergumam bila melihat titik merah atau putih yang berkelebatan di layar ponsel. Dalam hati dia membatin, tempat ini jauh lebih menantang dari tempat-tempat petualangan mereka sebelumnya.
Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki menaiki tangga. Galang dan Gunther muncul sambil membawa sebuah tablet milik Kenzie.
"Habis makan dan salat, kita lanjut ke sini, kata Izra," tunjuk Gunther ke lorong di ujung atas, tempat mereka menemukan makhluk astral yang buas kemarin.
"Gak ke lorong ini?" tanya Emyr sambil menunjuk tempat di mana Izra dan Gwen berada saat ini.
"Tunggu keputusan Izra aja," tukas Galang.
"Bentar lagi aku naik, Gaes. Kita bahas sama-sama," timpal Izra dari microphone.
Keempat orang yang mendengar suara Izra itu manggut-manggut. Rini terkekeh saat mendengar suara omelan Gwen pada Stella dan sesosok makhluk yang baru ditemukan mereka.
Beberapa menit kemudian, Izra dan Gwen muncul dengan diiringi Stella dan perempuan bergaun merah tua yang sepertinya sudah berumur. Makhluk itu terpukau saat melihat Emyr yang lagi-lagi harus pasrah bila dirinya menjadi idola para hantu.
Saat hantu perempuan berumur itu hendak mendekati Emyr, Izra langsung menarik belakang gaunnya sembari menempelkan tangan di atas kepala, yang membuat hantu itu mendesis marah. Akan tetapi, dia tidak bisa melepaskan diri dari pegangan Izra.
"Siapa Nenek ini?" tanya Galang.
"Heh! Sembarangan kamu, ya. Aku ini masih muda, belum nenek-nenek!" sergah makhluk bergaun merah tua itu sembari memelototi pria muda yang cengengesan di hadapan.
"Iyakah? Emang berapa umurmu?" cecar Galang.
"Seratus dua puluh dua tahun lewat dua belas hari."
Keenam orang tersebut saling beradu pandang, sejurus kemudian tawa mereka pecah bersamaan.
***
Setibanya Kenzie di rumah makan, beberapa sosok orang yang membelakangi dirinya membuat pria muda itu mengerutkan dahi. Dia membatin saat mengenali sosok Doni yang tengah berbicara dengan teman di sebelah kanan.
Setelah memesan semua keinginan teman-temannya, Kenzie yang tadinya ingin menjauh mendadak membatalkan niat, tatkala melihat di tangan Doni ada sebuah kamera pengintai yang sangat dikenalnya.
"Oww, ternyata pencurinya memang manusia!" seru Kenzie.
Sontak semua pengunjung melihat ke arahnya, tak terkecuali Doni yang langsung membeliakkan mata. Pria itu meneguk ludah saat Kenzie jalan mendekat dan duduk di kursi seberang meja. Menatap tajam ke arah keempat orang pria dan seorang perempuan yang membalas tatapannya dengan sorot mata bingung.
"Ngapain kamu pakai nyuri kamera?" tanya Kenzie dengan suara ketus.
"Aku nggak nyuri, nemu ini," kilah Doni.
"Nemu? Jangan bohong deh. Kalau pencuri asli pasti langsung menjual barang ini. Bukannya dipamerin!"
"Bentar-bentar, kayaknya udah terjadi kesalahpahaman di sini," sela perempuan yang Kenzie kenal sebagai pacarnya Doni yang bernama Tita.
"Aku nggak salah paham, cuma pengen tahu maksud pacarmu mencuri kamera itu dari tempatnya itu buat apa," ulang Kenzie.
"Aku nggak nyuri, Ken. Minjem doang," balas Doni tak mau kalah.
"Nah, kan, ngaku juga malingnya!" sungut Kenzie dan membuat wajah Doni seketika memerah.
"Aku nggak tahu dan gak mau ikut campur," tukas pria di sebelah kiri Doni sembari mengangkat kedua tangannya.
Semua orang di meja itu menatap tajam pada Doni. Pria muda itu akhirnya mengangguk membenarkan ucapan Kenzie. "Oke, oke. Sorry. Aku emang ngambil ini, tapi niatnya mau dikembaliin setelah bisa melihat rekaman di dalam," jelas pria berambut keriting kecil itu dengan wajah memerah menahan malu.
"Udah jelas semua? Sekarang aku mau kamu anterin lagi itu kamera, dan akui perbuatanmu di depan teman-teman!" tegas Kenzie yang semakin membuat wajah Doni memucat.
Pria bermata besar itu menunduk sembari menggeleng lemah. "Aku ... nggak berani, Ken," cicitnya.
"Pokoknya aku nggak mau tau. Sekarang, ikut aku. Teman-temanmu juga boleh ikut!"
Kenzie berdiri dan jalan ke bagian kasir. Menyelesaikan transaksi kemudian memandangi Doni yang tengah berdiri di belakangnya. "Siap-siap dihajar Gunther!" desisnya yang membuat Doni semakin menciut nyalinya.
***
Keenam pasang mata itu memandangi Doni dengan tatapan setajam silet. Sementara Tita dan teman-temannya hanya bisa memperhatikan saat Gunther maju beberapa langkah dan berhenti tepat di depan Doni.
Plak!
Tangan Gunther terangkat lagi, tetapi keburu ditahan Izra. "Stop, Gun!" seru Izra.
"Dia ini bikin emosi mulu dari dulu. Kirain udah hilang sifat pencurinya, taunya masih disimpan!" sergah Gunther dengan suara yang menggelegar.
Gunther melirik Tita yang seketika menunduk menahan malu. Dulu, Gunther dan Tita pernah dekat. Kemudian, Tita berpacaran dengan Faiz, sepupunya Gunther yang merupakan seorang TNI.
Entah bagaimana ceritanya, tahu-tahu Faiz datang ke rumah Doni dan langsung mengamuk. Gunther yang saat itu berada di tempat kejadian, melerai kedua pria yang terlibat baku hantam.
Setelah diusut, ternyata Faiz diputuskan Tita yang mengaku telah selingkuh dengan Doni selama beberapa bulan. Hal itu membuat Gunther juga ikut dimusuhi Faiz, karena dianggap membiarkan kedua temannya itu. Padahal Gunther sama sekali tidak tahu apa-apa.
"Ngapain kamu mesti ngambil kamera itu, Don?" tanya Izra dengan menahan emosi.
"Aku ... juga ingin memecahkan misteri di tempat ini. Tapi ... kelompokku belum punya alat-alat yang memadai untuk merekam, Iz," jelas Doni dengan suara pelan.