Part 4
"Udah mendingan?" tanya Rini sambil mengusap rambut Gwen.
"Lumayan, udah nggak terlalu pusing," jawab Gwen dengan pelan.
"Lain kali itu kalau disuruh makan kudu nurut," sela Izra sembari menatap wajah Gwen dengan lekat.
"Terlalu bersemangat tadi. Lupa cuma makan roti doang," sahut Gwen seraya tersenyum lemah.
"Tenaga diforsir, jadi ambruk. Bandel!" omel Kenzie dari depan kemudi.
Gwen menepuk pundak sahabatnya yang bertubuh kurus itu sambil tersenyum. Kenzi membalas dengan mencolek pipi Gwen dengan gemas.
Izra memandangi tingkah kedua sahabatnya itu seraya tersenyum lebar. Hanya tinggal menunggu waktu, sampai Kenzie berani mengungkapkan perasaannya pada Gwen.
Sebagai sahabat, Izra sangat mendukung bila keduanya berhubungan serius, karena dia merasa kedua orang tersebut akan menjadi pasangan yang sangat cocok.
Derap langkah kaki dari arah belakang, mengalihkan perhatian Izra. Pria bertubuh tinggi itu mengerutkan dahi saat melihat Emyr jalan bersama hantu perempuan bergaun kuning muda yang bergelayut manja di lengannya.
Rini memutar bola mata, dalam hati mengeluh karena sekali lagi sang pacar mendapatkan penggemar baru.
Sudah menjadi candaan umum bagi anggota kelompok ini, bila ada makhluk tak kasatmata yang pasti mengidolakan Emyr.
Seperti kata ayahnya Izra dulu, saat mereka pertama kali mengikrarkan diri untuk membentuk kelompok pengejar hantu.
Pak Amran, ayahnya Izra pernah berucap,"Emyr memiliki daya pikat tersendiri buat makhluk halus berbeda jenis."
Hal ini terbukti dengan beberapa kejadian yang hampir mirip, dalam petualangan kelompok mereka selama beberapa bulan terakhir ini.
"Tenang, Rin, jangan cemburu," ujar Kenzie.
"Males mau cemburu sama dia, Ken. Percuma, ngabis-ngabisin energi," sahut Rini dengan pelan.
Emyr berhenti tepat di depan Izra. "Bantuin, Bro," pintanya penuh harap.
Izra mengulaskan senyuman lebar, yang membuat Emyr semakin putus asa. Pria bertubuh sedang itu menggerutu dalam bahasa Melayu, tempat kampung halamannya.
"Kamu ngomong apa, Sayang? Muji aku cantik?" tanya hantu perempuan bergaun kuning itu seraya tersenyum lebar.
***
Izra memperhatikan hasil gambar dari dua kamera itu dengan saksama. Perasaannya mengatakan, bahwa kunci misteri tempat ini adalah lorong pertemuan antara dapur dan ruang kosong di belakang meja resepsionis hotel.
Pria bertubuh tinggi tersebut mengusap rambutnya berkali-kali. Gaya khasnya bila sedang berpikir keras. Kemudian, dia menggerakkan mouse untuk menggeser ke satu titik di ruangan kosong yang terpampang pada layar. "Di sini," tunjuknya pada Gwen dan Emyr.
"Hmm, rada berat kayaknya itu," sahut Emyr.
"Biar aku aja yang ke sana," timpal Izra.
"Aku ikut!" seru Gunther dan Galang bersamaan.
Emyr memandangi ketiga temannya itu sambil menaikkan alis. "Kalian ini, ya, demen banget nyari yang mengerikan," keluhnya.
"Aku ikut," sela Gwen.
"Nggak, Gwen, kamu masih lemah. Biar aku saja," tukas Emyr.
"Aku masih sanggup, kok." Gwen bersikeras dan tak mau mengalah. Akan tetapi, dipelototi enam pasang mata milik teman-teman, akhirnya membuat perempuan berparas menawan itu pasrah.
"Jangan ngebantah atuhlah! Ada apa-apa sama kamu, aku bakal diomelin habis-habisan sama mamamu," imbuh Gunther.
Gwen tersenyum menanggapi ucapan pria bertubuh tinggi besar itu. Dia dan Gunther merupakan tetangga di komplek perumahan di daerah Bandung Timur. Rumah mereka hanya berbeda blok saja.
Kedua orang tua Gwen juga sudah mengenal Gunther, dan mempercayai pria muda itu untuk menjaga Gwen, bila mereka sedang melakukan perjalanan seperti ini.
"Ken, kamu jagain Gwen dan Rini. Pokoknya kalau ada apa-apa dengan kami, langsung tancap gas dan susul ayahku di kantor," ujar Izra yang dibalas anggukan Kenzie.
"Jangan ngomong gitu ahh, aku jadi takut," sela Rini.
"Izra benar, Rin. Kalau bukan kalian yang harus cari bantuan, lalu siapa lagi?" Emyr mengusap lengan kekasihnya itu dengan lembut.
"Tenang, Rin, kalau ada apa-apa, Emyr bakal kudorong ke luar area. Biar kami bertiga aja yang kena," tukas Galang. Gunther dan Izra manggut-manggut mengiyakan ucapan Galang.
"Kalian yakin mau masuk sekarang?" tanya Kenzie sambil memperhatikan sekeliling.
"Kenapa, Ken? Ada masalah?" Izra balas bertanya.
"Sudah masuk waktu Asar, Bro," jelas Kenzie.
Izra tertegun sejenak, kemudian memandangi semua teman-temannya. "Kita lanjutkan besok, Gaes. Kalau dipaksakan sekarang, bisa-bisa terjebak pas waktu portal gaib terbuka," ujarnya.
Keenam temannya mengangguk dan mempersiapkan barang-barang untuk dibawa pulang. Sementara Izra menarik tangan hantu perempuan bergaun kuning dan mengajaknya ke teras depan hotel.
"Kamu masuk sana!" titah Izra.
"Nggak mau, aku mau ikut kalian aja," sahut hantu itu sambil menggeleng.
"Nggak bisa! Kami ini mau pulang, bukan mau hang out ke kuburan."
"Pokoknya aku nggak mau masuk!"
"Kenapa sih? Ini kan rumahmu!"
"Kalian sudah memusnahkan ibu dari penunggu lorong. Dia bakal mengamuk, dan aku bisa-bisa jadi korban amukannya." Hantu perempuan itu mulai menangis.
"Seperti apa bentuknya?" tanya Izra hati-hati.
"Sama dengan ibunya, tapi jauh lebih menyeramkan. Selama ini, aku selalu menghindar bertemu dengannya. Hantu lain juga sama," jelas hantu tersebut.
"Kenapa?" Izra semakin penasaran.
"Karena dia tidak akan segan-segan untuk menghancurkan hantu yang tidak menuruti perintahnya. Dan ... dia juga pernah menyembunyikan seorang manusia yang dibawa ke alamnya."
Izra terperangah. Informasi ini juga didengarnya dari seorang pria dewasa, yang dulu bekerja sebagai office boy di hotel ini. Menurut pria tersebut, ada seorang perempuan yang merupakan tamu di hotel, yang tiba-tiba menghilang dari kamar tempatnya menginap bersama ketiga rekannya.
Saat itu, berita kehilangan tamu tersebut sempat menjadi perbincangan hangat di media cetak. Apalagi, dari hasil penyelidikan polisi, tidak ada barang-barang milik tamu itu yang menghilang.
Sementara itu, hasil penerawangan beberapa paranormal juga mengarah ke hal yang sama, bahwa tamu tersebut diculik oleh jin penunggu hotel.
Semenjak saat itulah pengunjung hotel berkurang drastis. Hingga akhirnya pemilik menutup tempat ini dan memindahkan usahanya ke daerah lain.
"Aku ikut, ya! Beneran takut banget!" pinta hantu perempuan bergaun kuning itu dengan suara bergetar.
"Masa hantu takut sama hantu!" ledek Izra.
"Pokoknya aku ikut. Aku nggak mau bernasib sama seperti mbak Pam."
"Siapa itu mbak Pam?"
"Dia salah satu hantu senior di sini. Dan satu-satunya yang berani melawan si Bohemi itu."
"Bohemi? Siapa lagi itu?"
"Bos hantu misterius."
***
Perjalanan pulang ditempuh dengan agak tersendat. Kemacetan jalan raya membuat banyak pengemudi emosi dan menggerutu.
Kenzie menyetir dengan santai. Sesekali mengalihkan pandangan untuk melihat Gwen dari pantulan cermin kecil di bagian atas. Tak peduli Gunther yang duduk di sebelah meledeknya, Kenzie tetap melakukan hal itu.
Sementara Izra yang duduk berdampingan dengan Galang di kursi paling belakang, tersenyum lebar saat melihat Emyr yang terus diganggu oleh hantu perempuan bergaun kuning.
"Bisa nggak kalau nggak nyolek-nyolek!" protes Emyr sambil menoleh ke belakang.
"Hantu ganjen," ledek Galang.
"Aku nggak ganjen! Tapi cantik!" sergah hantu itu sambil mengerucutkan bibirnya.
"Oke deh, cantik, sekarang sebutkan namamu," sela Izra.
"Kalian kepo amat, ya, ngebet banget pengen tau namaku." Hantu perempuan itu mengikik melengking.
"Ya udah, kalau nggak mau ngasih tau, aku guyur kamu pakai ini!" ancam Gunther sambil berbalik dan menunjukkan botol berisi bubuk bidara di tangannya.
Hantu perempuan itu mencebik dan melipat tangan di depan bagian tengah tubuh. Merasa terintimidasi dengan tatapan tajam dari Izra dan teman-temannya. Sekali lagi dia melirik ke botol yang masih diacungkan Gunther.
"Ya udah, ingat baik-baik. Namaku Stella Cornelia Wilhelmina Anastasia," ucap hantu perempuan bergaun kuning itu sembari mengedip-ngedipkan matanya pada Emyr.