Bab 8
Seusai makan siang dan menunaikan salat berjamaah di masjid terdekat, ketujuh orang itu kembali ke bangunan hotel. Kelompok Doni sudah pulang dengan wajah memerah menahan malu sejak tadi. Tentu saja setelah mantan anggota kelompok mereka itu menandatangani surat pernyataan bahwa dia tidak akan pernah mengambil properti milik kelompok pengejar hantu lagi.
Kenzie dan Rini melepaskan semua kamera yang dipasang di tempat tersebut untuk menghindari tindakan pencurian terulang kembali. Kemudian mereka mengemasi barang-barang dan memindahkannya ke mobil.
Izra dan yang lainnya melanjutkan menjelajahi bagian lantai paling atas, yang terhubung dengan tangga putar tempat di mana mereka bertemu dengan makhluk menyeramkan pertama, yang disebut ibunya bohemi.
Stella dan Mun, hantu perempuan berumur melayang mengikuti rombongan Izra. Namun mereka berhenti di anak tangga ketiga dari bawah dengan alasan takut ketemu dengan bohemi.
Setibanya di lantai teratas, kelima anak muda tersebut terperangah saat melihat kondisi ruangan yang ternyata cukup bersih, sangat berbeda dengan kondisi dua lantai sebelumnya.
"Debunya cuma dikit, kayak sering dibersihin," ucap Gwen sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Iya, sarang laba-laba juga tipis," timpal Gunther sambil menunjuk ke langit-langit.
"Dan satu hal yang paling aneh," tukas Izra yang membuat semua pasang mata tertuju padanya. "Lampu itu menyala," tunjuknya pada dua buah bohlam berukuran kecil yang berada di sudut kanan ruangan.
Sedangkan mereka tahu, semua ruangan di lantai satu dan dua dalam kondisi gelap gulita bila sore menjelang.
Sesaat hening, semua orang sibuk dengan pikiran masing-masing. Izra dan Emyr melangkah menuju sudut kanan. Gwen dan Gunther berpindah ke sisi kiri untuk mengamati beberapa tumpukan peti kayu.
Sementara Galang tetap berdiri di tempat, pandangannya tertuju pada sebentuk sinar merah yang berada di dekat jendela kaca besar, yang ditutupi dengan beberapa palang kayu. "Gaes, arah jam lima, dekat jendela," bisiknya melalui microphone.
"Pelan-pelan ke sananya. Pura-pura melintas, jangan langsung berkerumun," sahut Izra sembari berbisik pula.
Gunther yang pertama bergerak ke tempat yang ditunjukkan oleh Galang. Pria bertubuh tinggi besar itu pura-pura menyapu debu tak kasatmata di sepanjang dinding sambil mengolah napas.
Izra bergeser sambil berlakon hendak mengecek sinyal tabletnya dan mengacungkan benda itu ke atas kepala. Gwen berjalan mundur sambil mengaduk-aduk tas selempang, padahal sebenarnya dia sedang menyiapkan bubuk bidara.
"Siap? Hitungan ketiga, Gaes," ujar Izra, tetap dengan suara pelan. "Satu, dua, tiga!"
Keempat anak muda itu langsung menyergap titik merah tersebut. Sementara Emyr bergerak memasang pagar gaib di sekeliling ruangan sambil mengawasi sekitar.
"Arrrggghhh!" pekik makhluk yang sekarang bentuknya jelas. Dia nyaris tidak bisa bergerak karena dipegangi Gunther dan Galang.
Sedangkan Gwen dan Izra bersiap untuk menembakkan tenaga dalam. Namun, mereka menunda keinginan itu saat melihat sosok jelas makhluk tersebut.
"Kalian siapa?" tanya sosok perempuan dewasa yang mengenakan piyama biru muda garis putih.
Keempat orang tersebut saling beradu pandang. Kemudian Izra menjawab,"aku Izra. Ini teman-temanku. Kami tergabung dalam kelompok pengejar hantu."
"Pengejar hantu? Tapi aku bukan hantu!"
"Ehm ... apa kamu arwah tamu hotel yang menghilang itu?" tukas Izra.
"Ahh, akhirnya ada yang tau tentang kisahku." Tiba-tiba sosok itu menangis tersedu-sedu dengan suara yang menyayat hati.
Izra memberi isyarat pada Gunther dan Galang untuk melepaskan pegangan, sementara dia bergerak maju dan menatap sosok tersebut yang kini berjongkok sambil menyembunyikan muka dalam lipatan tangan yang ditumpangkan ke lutut.
"Bagaimana kamu bisa berada di sini?" tanya Izra dengan suara yang dilembut-lembutkan. Itu salah satu kelebihan pria bermata tidak terlalu besar itu. Izra sangat sabar dalam menghadapi berbagai tingkah makhluk astral yang mereka temui.
"Makhluk menyeramkan itu yang membawaku ke sini. Selain dia, ada dua manusia terlibat juga," jelas sosok berpiyama tersebut sambil mengusap lelehan air di pipinya.
"Dua manusia? Apakah mereka pegawai hotel di sini?" Gwen ikut-ikutan bertanya karena merasa sangat penasaran.
Sosok perempuan berpiyama itu mengangguk membenarkan. "Apa kalian bisa membantuku kembali ke dunia?" tanyanya dengan suara memelas.
***
Perjalanan menuju kediaman Izra kali ini berlangsung dalam keheningan. Semua orang tampak bergelut dengan pikiran masing-masing. Mereka semua merasa kasihan pada sosok perempuan berpiyama yang mengaku bernama Intan tersebut.
"Gimana, Iz, kira-kira siapa yang bisa bantu Intan?" tanya Gwen yang duduk di sebelah kanan Izra.
"Aku mau coba nanya ke ayah. Mungkin guru besar perguruan olah napas bisa ngebantu," jawab Izra. "Yang jadi masalah bukan itu sebenarnya," sambungnya sembari memijat pangkal hidung. Tanda bahwa Izra sedang gundah dan lelah.
"Apa atuh?" sela Galang sambil memajukan wajah ke sandaran kursi.
"Sosoknya pasti berubah sesuai usia di dunia. Apa dia bisa nerima kenyataan itu?" Izra balas memandangi Galang yang tertegun.
"Ehm ... waktu hilang itu usianya berapa?" Gunther membalikkan tubuh ke belakang dan menatap wajah Izra yang tampak lelah.
"Dua puluh empat. Berarti sekarang tiga puluh empat tahun."
"Sebagai perempuan, aku tau itu pasti berat buat Intan," timpal Rini yang duduk di tengah-tengah antara Galang dan Emyr.
"Pasti, belum lagi bila dia harus menghadapi sorotan media. Pihak keluarga dan teman-teman juga akan mencecarnya. Berat banget itu," imbuh Kenzie sembari fokus menyetir.
"Yang jadi pikiranku itu, adalah kedua orang yang membantu penyekapan itu. Buat apa sih?" tanya Gwen.
"Tumbal," balas Emyr. "Intan dijadiin tumbal untuk penglaris hotel. Seperti halnya Stella, Pam dan mbak Mun," sambungnya.
"Jangan lupa, mbak Jum, dan dua sosok anak kecil di dekat tangga," tukas Izra.
"Dan dua sosok pria dewasa di lorong menuju dapur," timpal Gunther.
"Kita bahas lusa, ya. Besok aku mau ada urusan." Izra menarik ranselnya dari lantai mobil dan membuka pintu benda biru tua tersebut, tepat di saat kendaraan sudah berhenti di halaman rumah Kenzie.
"Mau ke mana, Bro?" tanya Galang sembari bergerak ke luar.
"Mau nyekar ke makam keluarga di Cimahi." Izra melakukan senam ringan untuk membetulkan posisi pinggang yang sedikit sakit.
"Nyekar atau ke Sekar?" goda Gunther yang membuat Izra terkekeh.
"Oh, jadi gosip itu bener, ya, Iz?" tanya Gwen sembari membulatkan mata.
"Gosip apaan?" Izra mengernyitkan dahinya, bingung dengan maksud ucapan Gwen.
"Katanya kamu lagi pedekate ama Sekar."
"Gosip itu mah." Izra menatap tajam pada Kenzi yang membalas dengan seringaian. "Jangan terlalu dipercaya omongan Kenzie. Banyak bohongnya," sambungnya sambil meninju lengan sahabatnya itu dengan gemas.
"Aku mau numpang salat Asar, boleh?" sela Rini sambil menggendong tas bahunya yang tampak berat.
"Boleh, mau di rumahku atau rumah Kenzie?" tanya Izra.
"Rumahmu aja, rumahku nggak ada kue. Maklum, bujangan dan anak gadis semua," imbuh Kenzie.
"Satuju. Ibuuuu! Aku pulang. Ada kue?" Galang berjalan terlebih dahulu dan langsung memasuki rumah Izra dengan santai.
"Bangkrut ayahku kalau kalian numpang makan mulu," keluh Izra sambil jalan menuju ruang tamu rumahnya.
"Kita pesen pizza aja. Mau nggak?" usul Kenzie.
"Kamu yang traktir kan? Aku lagi kere!" seru Emyr yang membuat Kenzi meringis.
***
Ketujuh orang tersebut menggelar diri mereka di karpet tebal ruang tengah seusai menunaikan salat empat rakaat. Sesekali tawa mereka terdengar saat bercanda.
Ketika Rhea tiba, Gunther langsung berdiri dan merangkul pundak gadis manis itu sembari berujar,"hai, Sayang, baru pulang kuliah, ya?" candanya.
"Bukan, A', tapi habis nguli di pasar," jawab Rhea yang disambut tawa riuh yang lainnya.
"Puasss! Mau ngerjain malah dikerjain balik kan!" ledek Gwen di sela-sela tawa.
Gunther menyunggingkan senyuman lebar dan membuat lesung pipi di sebelah kanan tercetak dalam. "Tau nih, makin lihai aja dia ngeles." Pria berambut ikal itu mencolek dagu Rhea dengan gemas. Tak menyadari kalau tingkahnya itu membuat pipi Rhea merona.
"Hmm ... jangan-jangan ada udang di balik bakwan." Emyr menyipitkan matanya melihat tingkah Gunther dan Rhea.
"Kayaknya bentar lagi ada yang manggil Izra dengan sebutan Aa' nih, bukan Bro lagi," timpal Galang sembari menaik turunkan alis.
Tawa berat Gunther yang khas menggema di ruangan. Dia melirik ke arah Izra sembari tersenyum penuh arti. "Boleh kan, Bro?" tanyanya seusai tertawa.
"Boleh apa?" Izra balas bertanya.
"Aku jadian sama Rhea."
Gadis yang dibicarakan langsung menyikut perut Gunther sembari mendelik. "Ngaco!" omelnya.
"Ya, kalau Rheanya mau, aku nggak bisa nolak," tukas Izra, tak peduli Rhea membeliakkan mata ke arahnya.
"Dasar laki-laki, ngomong suka seenaknya!" sungut Rhea sambil melepaskan diri dari rangkulan Gunther dan mendudukkan diri di sebelah Rini.
"Sabar, Rhe. Boys are always be boys," ucap Rini sembari mengusap rambut Rhea dengan penuh rasa sayang.
Sebagai anak bungsu, Rini sangat menginginkan memiliki seorang adik. Persahabatannya dengan Izra semenjak SMU mengantarkannya bisa dekat dengan Rhea, dan menganggap gadis beriris mata cokelat itu sebagai adiknya.
Demikian pula dengan Rhea, dia sangat menyayangi Rini. Mereka lebih sering menghabiskan waktu berdua dibandingkan dengan Gwen yang memang agak penyendiri. Akan tetapi, terkadang ketiga gadis itu juga menghabiskan waktu berjalan-jalan bersama Kayla dan Keysha, kedua kakak Kenzie.
"Aku serius, Rhe." Gunther berjongkok di depan Rhea yang mencebik. "Mau kan jadi pacarku?" tanyanya penuh harap.
Beberapa bantal sofa langsung berhamburan ke arah Gunther yang sibuk menangkis serangan bertubi-tubi dari ketiga gadis tersebut.
Bu Tias yang memasuki ruangan hanya bisa menggeleng-geleng saat melihat ruang tengahnya berantakan. Perempuan dewasa tersebut langsung memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri.
Saat teman-temannya berpamitan, Izra mencolek lengan sang adik sambil bertanya,"beneran kamu mau pacaran dengan Gunther?"
"Ish! Aa' nih. Nggaklah, aku tuh lagi males pacaran," jawab Rhea.
"Tapi beneran, aa' nggak keberatan. Gunther itu baik, orangnya juga sangat pemberani dan penyayang banget. Ke ibu dan adiknya juga sayang banget."
Rhea menatap wajah sang kakak sembari memasang wajah datar. Izra mengusap puncak kepala adiknya itu seraya mengulaskan senyuman. Mereka tidak menyadari bila sejak tadi sang ibu memperhatikan tingkah keduanya.
Bu Tias merasa bersyukur karena kedua anaknya tampak akur dan saling menyayangi. Beliau berharap kasih sayang di antara keduanya akan tetap terjaga sampai kapanpun.