Part 13
Kenzie memutar kaki ke kiri dan ke kanan. Tak peduli gerakannya tersebut membuat Galang dan Emyr tertendang. Pria beralis tebal itu hanya terkekeh saat kedua temannya balas menendang dengan semangat.
Sementara itu di meja makan, ketiga gadis dan Bu Tias tengah menikmati potongan buah yang dicocol ke bumbu rujak. Kudapan yang paling cocok disantap saat di sore hari yang tengah hujan deras.
Izra yang berbaring di sofa, masih memejamkan mata. Bukan berniat untuk tidur, tetapi hanya ingin menelaah berbagai peristiwa yang terjadi belakangan ini.
Gunther ke luar dari kamar mandi yang berada di dekat tangga. Pria itu sudah berganti pakaian dengan kaus lengan panjang merah marun dan celana jeans biru tua. Saat melewati meja makan, tatapannya bersirobok dengan Rhea yang tampak mengulum senyum.
Gunther meneruskan langkah menuju ruang keluarga sambil bersiul, merasa bahagia karena pernyataan cintanya telah diterima oleh Rhea, tepat di saat gadis itu meminjamkan handuk sebelum dia mandi tadi.
"Udah beres?" tanya Emyr yang segera bangkit dari karpet tebal, yang tadi ditidurinya bersama teman-teman.
"Udah, buruan gih mandinya. Kita kan mau rapat," jawab Gunther sembari duduk di kursi tunggal.
Emyr berdiri dan menyambar ranselnya yang tergeletak di lantai. Kemudian mengayunkan langkah menuju kamar mandi. Tak lupa untuk menyomot sepotong buah dari tangan Gwen yang sontak mengomel.
"Aku pulang dulu. Habis mandi ntar ke sini lagi." Kenzie berdiri dan sekali lagi memutar pinggangnya.
"Aku ikut, Ken. Emyr kalau mandi itu suka lama," ujar Galang.
Kenzie mengangguk, kemudian beranjak ke depan rumah. Galang menyusul sambil mengaitkan ransel di pundak kanan. Keduanya berbagi payung menuju kediaman Kenzie di sebelah kiri.
"Dek, dari mana aja sih?" tanya Kayla, kakak pertama Kenzie yang ternyata sudah tiba di rumah.
"Biasa, Teh. Habis hang out," jawab Kenzie seraya tersenyum lebar.
"Hang out-nya kamu itu nggak jauh dari tempat-tempat misteri," ujar Kayla sambil menggeleng pelan.
"Selagi masih bebas, Teh. Entar kalau udah kerja kayak Teteh bakal sulit kayak gini," sahut Kenzie membela diri.
"Ada aja ngelesnya. Udah, mandi sana. Di meja makan ada brownies. Kalau kamu balik lagi ke rumah ibu, bawa sekalian."
"Loh, kok Teteh tau kalau aku mau balik lagi ke sana? Jangan-jangan Teteh cenayang."
Galang tergelak mendengar perdebatan kedua saudara kandung tersebut. Tawanya mengencang saat melihat Kenzie yang menjadi bulan-bulanan tinjuan sang kakak, yang kebetulan adalah seorang atlet taekwondo.
Sebuah mobil SUV memasuki halaman rumah Bu Tias. Pak Amran turun bersama dengan Pak Wirya, dan bergegas memasuki rumahnya.
Bu Tias segera menyambut sang suami dan juga Pak Wirya. Sedangkan Rhea langsung melesat ke dapur dan membuatkan minuman untuk ayahnya dan tamu. Kemudian membawanya ke ruang keluarga, tempat di mana Izra dan Gunther telah berpindah duduk ke lantai. Tata krama yang semakin jarang dikuasai para anak muda.
Meskipun ini sudah zaman modern, tetapi Pak Amran dan istri tetap mengajarkan sopan santun pada anak-anaknya. Terutama bila tengah berhadapan dengan tamu atau orang yang lebih tua.
"Nanti malam ayah mau ke sana lagi," ucap Pak Amran sembari menyeruput teh hangat.
"Ngapain?" tanya Izra.
"Jamal udah ngelaporin tentang penemuan kerangka manusia di lorong. Nanti malam akan dimulai investigasi, menunggu suasana lebih tenang," jelas Pak Amran.
"Aa' ikut, ya," pinta Izra. Dia ingin memastikan suatu hal di sana.
"Aku juga," timpal Gunther.
"Jangan pergi tanpa aku," sela Emyr yang baru keluar dari kamar mandi.
"Mereka ini persis kita dulu, ya, Ran. Demen banget nyerempet-nyerempet tempat-tempat berbahaya," ujar Pak Wirya seraya tersenyum lebar.
"Buah nggak akan jatuh dari pohonnya, Wir. Anakmu, Adam juga sama kan?" Pak Amran terkekeh.
"Lebih parah malah. Dia dan kelompoknya lebih sering mengunjungi tempat misteri di daerah terpencil. Sensasinya beda," jelas Pak Wirya.
"Wuah, kapan-kapan, kami mau ikut juga, Om!" seru Izra yang mendapatkan anggukan persetujuan dari Gunther dan Emyr.
"Boleh, nanti chat aja ke Adam. Dia pasti mau ngajak kalian," imbuh Pak Wirya.
"Pasti, mereka satu frekuensi," tukas Pak Amran.
Kelima orang pria tersebut masih sibuk mengobrol saat para perempuan berpindah ke kamar. Bu Tias memasuki kamarnya untuk melakukan salat Magrib.
Demikian pula dengan Rhea, Gwen dan Rini. Ketiga gadis itu menaiki tangga sambil cekikikan. Entah apa yang mereka obrolkan, karena tampaknya sangat seru.
***
Sesuai ucapan, seusai salat Isya Pak Amran dan kelompok pengejar hantu kembali ke bangunan bekas hotel. Hanya Rini yang menolak ikut karena takut dengan suasana gelap. Sedangkan keenam anggota kelompok terpencar menumpang di mobil Pak Amran dan juga mobil milik orang tua Kenzie.
Setibanya di tempat tujuan, ternyata sudah banyak orang yang sebagian besar adalah petugas kepolisian. Suasana pun sangat terang berkat beberapa lampu besar yang sengaja dipasang di beberapa titik penting.
Pak Amran bergegas turun dari mobil dan jalan menuju pintu gerbang yang dijaga ketat petugas. Karena tidak diperbolehkan untuk masuk akhirnya dia menelepon Jamal dan Salim, yang sudah berada di bagian dalam hotel.
Beberapa menit kemudian, kedua pria tersebut tiba dengan petugas kepolisian yang berpangkat AKBP. Petugas jaga diminta untuk meloloskan rombongan Pak Amran, kemudian kembali berjaga dengan serius.
"Gimana, sudah ada hasilnya?" tanya Pak Amran kepada AKBP Hasan yang merupakan adiknya Pak Jamal.
"Masih diselidiki, Kang. Kalau kerangka manusia sudah dipindahkan ke tempat tim forensik. Petugas lain masih menyelidiki beberapa titik, yang menurut beberapa mantan karyawan di sini, yang tadi sudah memberikan keterangan, selain lorong tersebut juga ada beberapa bunker dan kamar rahasia," jelas Hasan dengan suara pelan.
Sebetulnya dia tidak bisa memberikan informasi kepada pihak umum, tetapi berkat Pak Amran dan kelompok pengejar hantu yang dipimpin oleh Izra, akhirnya mereka keberadaan kerangka manusia itu bisa diketahui.
"Kami boleh bantu, Om? Selain bunker, ada satu ruangan kecil di lantai tiga. Sebetulnya kami juga belum sempat mengecek ke sana, informasi ini kami dapat dari ...." Izra tidak jadi melanjutkan ucapannya karena Pak Hasan sudah mengangguk mengiakan.
"Tapi perwakilan aja, ya, nggak bisa semua," sahut pria dewasa tersebut sembari memandangi wajah Izra dan teman-temannya.
"Iya, Om, cuma Izra, Emyr dan Gunther yang akan masuk. Lainnya tetap nunggu di sini," jelas Izra yang mendapatkan anggukan persetujuan dari teman-temannya.
"Ayah juga ikut," timpal Pak Amran.
"Kalau gitu biar aku yang tetap di sini bareng anak-anak," tukas Pak Salim.
Keempat orang tersebut mengikuti langkah Pak Hasan dan Pak Jamal. Menyeruak kerumunan para petugas kepolisian yang berjaga dua lapis. Melangkah cepat memasuki pintu depan hotel dan langsung menaiki tangga menuju lantai tiga.