-14-
Waktu terus bergulir. Kelompok pengejar hantu hanya bisa mengikuti perkembangan kasus di bangunan hotel itu dari petugas kepolisian yang menangani peristiwa tersebut. Hal itu pun tidak terlalu detail dengan alasan kepentingan penyelidikan.
Izra dan teman-teman kembali disibukkan dengan kegiatan kuliah. Bahu-membahu dalam pembuatan tugas kuliah terakhir. Seperti hari ini, ketujuh orang itu berkumpul di kediaman Gwen. Sengaja berpindah tempat karena di rumah Gwen tengah sepi ditinggal penghuni lainnya.
Orang tuanya Gwen tengah pulang kampung ke Garut, untuk menghadiri acara pernikahan keponakannya ayah di sana. Di rumah Gwen hanya ditemani sang kakak, Rendra yang saat itu tengah bekerja di kantor.
"Okeh, beres," ujar Izra. Pria muda itu merentangkan tangan dan menggeliat. Tak peduli kepala Kenzie terkena di bagian samping kanan.
"Hati-hati atuh!" protes Kenzie sembari mengusap-usap kepala.
"Sedikit doang. Anggap sentuhan kasih sayang," sahut Izra seraya tersenyum lebar.
"Tatih tayang. Pasangan belok? Jijayy!" seru Galang yang tak ayal mendapatkan hadiah pukulan dari Kenzie serta tendangan di kaki oleh Izra.
"Apa sih? Iri, ya?" Kenzie menyelipkan tangannya di lengan Izra, lalu menyandarkan kepala dengan gaya manja yang memancing tawa teman-temannya.
"Sumpah, hayang utah urang euy!" seru Galang sambil pura-pura menutup mulutnya dengan tangan. (pengen muntah aku)
"Tapi cocok emang mereka begitu, muka Kenzie kan cool, Izra imut," celetuk Gwen yang membuat tawa Gunther dan Emyr mengencang. Sementara Izra dan Galang cengengesan.
"Menurutku, justru kita yang paling cocok jadi pasangan, Gwen." Kenzie menggeser tubuhnya mendekati Gwen dan melingkarkan tangan di pundak gadis itu seraya tersenyum lebar. "Gimana, Gaes, cucok?" tanyanya.
Izra dan Rini kompak bertepuk tangan sebagai bentuk dukungan. Emyr dan Gunther mengacungkan jempol. Hanya Galang yang tidak menunjukkan ekspresi apa pun, dia memandangi Gwen yang pipinya tengah bersemu merah muda dengan tatapan yang sulit dijabarkan.
Pria berambut ikal itu mendengkus pelan sambil mengalihkan pandangan ke arah lain. Sudut hatinya tercubit melihat pemandangan seperti itu. Galang sendiri bingung dengan suasana hati yang berubah-ubah. Namun, satu hal yang pasti adalah dia menyukai Gwen lebih dari sekadar teman.
"Aku ... pulang duluan, ya," ujar Galang sembari memasukkan laptop ke tas ransel.
"Tumben?" Gunther menaikkan alisnya.
"Nggak ikut makan sama-sama?" tanya Rini.
"Aku mau makan di rumah aja. Penghematan." Galang meraih jaket yang tadi diletakkannya di sandaran kursi. Mengenakan benda itu dengan cepat kemudian menyampirkan ransel di bahu. Menoleh pada Izra seakan-akan tengah berpamitan, lalu jalan menuju pintu samping yang mengarah ke garasi.
"Galang kunaon?" tanya Kenzie.
"Mungkin lagi nggak punya uang," jawab Rini.
"Panggil, bilang aku yang traktir." Gunther menarik dompet dari tas selempang dan mengeluarkan selembar uang merah. "Nih, Bendahara," selorohnya pada Kenzie yang menerima uang seraya tersenyum.
Emyr berdiri dan jalan cepat ke garasi. Terdengar suara obrolannya dengan Galang. Tak berapa lama kemudian bunyi knalpot motor Galang yang khas meraung di garasi, dan menjauh perlahan.
"Nggak mau dia," ungkap Emyr yang telah memasuki ruang tengah tempat teman-temannya berkumpul.
Kelima orang yang tengah duduk bersila di lantai itu saling beradu pandang. Mereka sama-sama merasa bingung dengan perubahan sikap Galang yang mendadak.
***
Malam itu bulan bersinar dengan kekuatan maksimal. Ribuan bintang pun seolah-olah ingin ikut meramaikan langit dan memancarkan cahaya eloknya. Embusan angin lembut menerpa kulit wajah Galang yang tengah duduk di balkon lantai dua kediaman orang tuanya.
Pria bermata besar itu berulang kali menghela napas berat dan mengembuskannya perlahan. Berandai-andai hal itu bisa membuat hati lebih tenang.
Dering ponsel mengagetkannya yang segera meraih benda tersebut dari paha. Matanya menyipit ketika melihat nomor telepon yang memanggil. Sedikit enggan untuk mengangkat, tetapi akhirnya dia mendekatkan benda itu ke telinga kanan.
"Ya?"
"Assalamualaikum. Harusnya gitu."
"Ehh iya, Bro. Waalaikumsalam. Ada apakah gerangan Kakanda menelepon adinda?" candanya.
"Aa' tunggu di pos hansip."
"Ngapain? Ngeronda?"
"Nggak, kita mabok-mabokan aja. Puas!"
Galang terkekeh geli mendengar ucapan Izra. "Ke sini aja atuhlah."
"Ini aku udah di depan pagar rumah. Kamu ngelamun mulu sih!"
Galang berdiri dan mendekati pagar pembatas balkon. Menyeringai lebar ketika melihat sosok Izra dan Rhea tengah berdiri di depan rumah.
Pria berkulit kuning langsat itu bergegas memasuki ruang santai atas dan menuruni tangga. Berteriak meminta dibuatkan minuman pada asisten rumah tangga yang tengah menonton sinetron sambil menangis haru bersama sang mama.
"Tumben ke sini?" tanya Galang sambil membuka gembok dan mendorong pagar hingga terbuka cukup lebar.
"Kangen," jawab Izra asal dan tak urung membuat Galang mengulaskan senyuman.
"Hai, Cantik. Ngapel akang?" seloroh Galang pada Rhea yang membalas dengan juluran lidah. "Ayo, masuk. Kita ngobrol di atas aja," sambungnya sembari jalan terlebih dahulu memasuki rumah.
Izra dan Rhea mengekor dan berhenti sejenak di ruang tengah untuk menyalami Santi, mamanya Galang yang matanya membengkak karena menangisi tayangan sinetron kesukaan. Kedua bersaudara itu beradu pandang selama beberapa detik, kemudian berbalik dan menaiki tangga menyusul Galang yang tengah membawa teko serta beberapa gelas ke atas.
"Gini, Gal. Aku ke sini itu mau ngajak kamu buat nyelidiki sesuatu," ujar Izra, sesaat setelah mereka duduk bersila di lantai teras balkon.
"Nyelidikin apa? Kok aku jadi deg-degan," timpal Galang.
"Masih ingat tentang hantu berpakaian koki?"
Galang mengangguk.
"Nah, dia ini bersikeras untuk balik ke tempat mayatnya ditemukan."
"Lorong belakang dapur?"
"Hu um."
"Terus, apa hubungannya denganku? Bukannya ini biasanya dikerjakan Emyr atau Gunther?"
"Untuk kali ini, kamu yang kudu turun tangan."
"Ha?"
"Karena dia cuma mau kamu yang nganterin ke sana."
"Dih, ogah. Serem banget di situ, Iz. Males ahh!" Galang menggeleng cepat.
"Kan nggak sendirian, Gal. Aku sama ayah juga nemenin," jelas Izra.
"Aku juga," sela Rhea.
"Adik manis nggak usah ikutan, ini urusan akang." Galang mengedip-ngedipkan mata menggoda Rhea.
"Masalahnya, si hantu ganjen minta dianterin ke situ juga," ungkap Rhea. "Terus minta aku menaro' sesuatu di tempat dia dikubur," lanjutnya dengan ekspresi wajah serius.
"Hantu ganjen? Maksudnya Stella?" tanya Galang.
"Siapa lagi, cuma dia yang pecicilan." Rhea mengikik geli.
"Eh, tapi kenapa harus kamu? Terus, apa yang mau ditaro di makamnya?" Galang mengerutkan dahi karena benar-benar bingung.
"Karena dia takut sama teteh Gwen dan cemburu sama kak Rini." Rhea mengeraskan tawa dan membuat Izra serta Galang melakukan hal yang sama.
"Ehh, yang tadi belum dijawab. Apa yang mau ditaro'?" Kembali Galang mengulang pertanyaan seusai tertawa.
"Sirkam mutiara. Dia lihat itu aku pake kemaren pas nemenin Aa' Izra ke rumah nenek," sahut Rhea sembari mengeluarkan benda yang disebutkannya tadi dari saku jaket jeans.