Tengkorak

1514 Kata
Part 9 Suasana kampus yang semula lengang tiba-tiba saja ramai saat jam perkuliahan selesai. Para mahasiswa dan mahasiswi berpencar ke segala penjuru. Ada yang menuju perpustakaan, tempat parkir, kantin, bahkan tempat-tempat fotokopi yang berderet di sepanjang jalan di depan universitas tersebut. Kenzie berjalan beriringan dengan Galang. Sesekali mereka tampak tertawa-tawa, entah tengah membicarakan apa. Langkah mereka menuju sebuah kafe kecil yang berada di deretan paling ujung kiri, di seberang kampus, yang merupakan tempat favorit mereka sekaligus disebut markas kedua. Setibanya di tempat tujuan, kedua pria muda itu langsung memasuki kafe dan duduk di kursi bagian paling depan. Tak berselang lama, Emyr dan Rini muncul dengan berboncengan motor. Keduanya memasuki kafe dan duduk bersama Kenzie dan Galang. "Izra mana?" tanya Galang pada Emyr, yang memang satu kelas dengan Izra. "Ke ruangan dosen dulu katanya, konsul bab terakhir," jawab Emyr sambil menyeka wajahnya dengan tisu basah. "Hadeuh, dia gercep amat. Punyaku masih di bab dua," keluh Galang. "Kamu yang lelet. Kami aja udah mau nyusul ke bab empat," ledek Rini. Obrolan mereka berlanjut sambil menikmati hidangan yang dipesan di kafe tersebut. Gunther dan Gwen tiba bersamaan dengan menggunakan motor milik Gunther. Disusul kemudian oleh Izra yang membonceng Rhea. "Hai, Sayang, udah makan belum?" sapa Gunther dengan suara dilembut-lembutkan yang dibalas Rhea dengan delikan. "Nggak usah ditanggepin, Rhe, si Gun mah omdo," timpal Emyr. "Ehh, aku serius loh nanya ini," kilah Gunther. "Kalau aku jawab belum, terus mau traktir?" Rhea balas bertanya. Gunther menyunggingkan senyuman miring. "Buat kamu, boleh deh." Sontak keenam orang lainnya terbahak melihat tingkah Gunther yang tampak malu-malu. Sementara Rhea hanya mengendikkan bahu dan bergegas menuju meja kasir untuk memesan makanan. Tidak menyadari bila Gunther mengekor di belakang. "Ini." Gunther mengulurkan selembar uang biru ke tangan Rhea yang menatapnya dengan bingung. "Nggak usah, A', aku masih punya uang," tolak Rhea halus. "Aku serius mau nraktir kamu." Gunther memandangi Rhea dengan tatapan lembut yang membuat gadis itu tertegun. Demi menjaga kesopanan akhirnya Rhea menurut dan membiarkan Gunther membayar makanan dan minumannya. "Nuhun," ucap Rhea seraya tersenyum tipis. "Sami-sami, Geulis. Nanti, aa' mau ngomong sesuatu, boleh?" Kembali tatapan Gunther memancarkan permohonan yang membuat Rhea tak kuasa menolak dan akhirnya mengangguk menyetujui. Sementara itu di meja, keenam sahabat tersebut mulai membicarakan tentang kelanjutan rencana petualangan mereka di bangunan bekas hotel, tempat Stella dan yang lainnya bersemayam. "Guru besar ayah lagi ke luar kota. Paling minggu depan baru ayah bisa ngajak beliau ikut kita buat ngebantu Intan," jelas Izra. "Huft, semoga pagar gaib berlapis yang kita pasang dua hari yang lalu itu kuat sampai minggu depan," sahut Gwen. "Nanti kita perkuat lagi. Dan ... tadi malam aku mimpi buruk." Izra menggaruk-garuk kepala sembari meringis. "Pantessss. Suara igauan Aa' sampai kedengaran ke kamarku," timpal Rhea sambil mendudukkan diri di kursi sebelah Izra. "Gitu, ya, Dek?" Izra tertawa kecil. "Emang mimpi apaan, Bro?" tanya Emyr. "Berantem sama bohemi." *** Karena hari sudah siang menjelang sore, akhirnya kedelapan orang tersebut memutuskan untuk langsung pulang menuju rumah masing-masing. Sebab bila memaksakan diri untuk ke bangunan hotel, bisa-bisa mereka masih terjebak di sana saat pintu portal gaib terbuka menjelang Magrib. Seperti ucapannya tadi, Gunther benar-benar datang ke rumah Rhea seusai Magrib. Pria bertubuh tinggi besar itu tampak kikuk saat mengobrol dengan Pak Amran dan Izra di ruang tamu. Saat Rhea keluar dengan mengenakan pakaian rapi, sang ayah mengerutkan dahi dan langsung bertanya,"mau ke mana, Dek?" "Mau pergi sama Aa' Gun," jawab Rhea sembari merapikan rambut yang kali ini diikat tengah sebagian, dan sisanya dibiarkan tergerai di punggung. Pak Amran mengalihkan pandangan pada Gunther yang menyunggingkan senyuman tipis. Kemudian pria dewasa itu manggut-manggut. "Oke, tapi maksimal jam sepuluh udah harus ada di rumah," tukasnya. "Siap, Yah," timpal Gunther, pria itu merasa lega karena diperbolehkan untuk jalan dengan Rhea. "Jagain adikku baik-baik, Bro. Lecet dikit, kutabok!" ancam Izra dengan nada suara bercanda. "Sip, Bro." Setelah kedua anak muda itu menjauh, Pak Amran menoleh ke Izra sambil bertanya,"mereka udah pacaran lama?" "Belum, Yah. Ini Gunther baru mau nembak Dedek," jelas pria tersebut. "Oh." Pak Amran menghela napas berat. Hal yang dulu ditakutkannya pun sekarang sudah terjadi. Anak gadisnya beranjak dewasa dan sebentar lagi mungkin akan meninggalkan dirinya dan istri. "Kalau mereka pacaran, Ayah bakal ngizinin?" tanya Izra. "Boleh, toh ayah udah lama kenal Gunther. Paham karakternya seperti apa. Mungkin dia bisa membantu membentuk kepribadian dedek biar gak terlalu manja," jawab Pak Amran. "Sedih nggak, Yah?" "Bukan sedih sih, tapi ... tetap ada rasa kehilangan saat anak perempuan akan beranjak dewasa dan memiliki kehidupan sendiri." Izra manggut-manggut. "Nanti kalau Aa' punya anak cewek juga bakal ngerasain apa yang ayah rasakan sekarang." "Masih jauh, Yah." Izra mengulaskan senyuman lebar. "Ngomong-ngomong, pacar Aa' yang mana sih? Kok nggak pernah dibawa ke sini?" seloroh Pak Amran yang dibalas gelengan Izra. "Lagi jomlo." "Lah ... masa kalah sama Ayah, A'? Seumur kamu itu Ayah pacarnya banyak," timpal Bu Tias yang baru tiba dengan membawa sepiring singkong goreng yang harum. "Iyakah?" Izra bertanya dengan mata membulat. "Canda itu ibumu. Ayah ini cowok setia." Pak Amran mencolek dagu sang istri yang mendudukkan diri di sebelah kanan. "Setiap pengkolan ada," imbuh Bu Tias yang membuat kedua pria itu tergelak. *** Keesokan harinya. Mobil yang dikemudikan Kenzie berhenti di depan pintu gerbang bangunan hotel yang tertutup. Ketujuh orang tersebut saling beradu pandang dengan bingung, karena pintu itu sekarang dirantai, entah oleh siapa. "Gimana kita mau masuk?" tanya Gwen dari kursi tengah. "Tunggu, aku coba telepon pak Misran, yang dulu satpam di sini," sahut Izra. Pria berkulit kuning langsat itu keluar dari mobil dan jalan mendekati pagar sambil memegang ponsel di tangan kanan. Dia berulang kali menghubungi pak Misran, tetapi tidak tersambung. "Gimana, Bro?" tanya Gunther yang rupanya telah berdiri di belakang Izra. "Nggak nyambung euy. Apa beliau ganti nomor, ya?" Izra balas bertanya sambil menggaruk-garuk kepala. "Nanti dicoba lagi aja. Sementara ini kita pikirin cara biar bisa masuk." "Lewat situ bisa gak?" Galang yang barusan turun menunjuk ke sudut kiri pagar yang memang sudah rusak. "Kayaknya bisa, tapi mobil nggak bisa masuk." Izra berpindah ke tempat itu dengan diikuti teman-temannya. "Aku nunggu di sini aja, nggak apa-apa," ujar Kenzie sambil mendekat. "Nggak mungkin juga kita ngangkut-ngangkut barang bolak-balik," lanjutnya yang dibalas anggukan persetujuan yang lainnya. "Oke, deh. Gun, kita duluan masuknya. Emyr sama Galang. Gwen sama Rini. Langsung ke titik yang udah ditandai kemaren. Habis itu baru ngumpul di lobby bawah," titah Izra yang disambut acungan jempol teman-temannya. Keenam anak muda itu bergantian memanjat pagar dengan menggendong tas ransel di bahu masing-masing. Sementara Kenzie berpindah ke kursi belakang dan menyalakan berbagai perlengkapan yang diperlukan untuk petualangan mereka. "Tes, tes. Udah pas, Ken?" tanya Emyr beberapa menit kemudian. "Udah, Bro," jawab Kenzie. "Arah jam sebelas ada sesuatu," sambungnya. "Hu um, Galang otw." Kenzie memperhatikan layar laptop yang menyampaikan informasi dari kamera di topi Emyr. Tampak Galang yang mendekati ujung kiri dapur dan berusaha menyergap sesosok makhluk, tetapi gagal. Emyr berlari mengejar sosok tersebut yang melesat menuju lorong gelap. Galang mengekor sambil memanggil Izra dan Gunther yang mengejar dari lorong yang berada di belakang lobby. Keempat anak muda tersebut sudah bersiap dengan segala kemungkinan buruk saat tadi membahas rencana mereka memasuki lorong itu. Gwen dan Rini menunggu di dekat meja lobby. Keduanya memandangi pintu penghubung menuju lorong yang tadi dimasuki Izra dan Gunther, sambil berdoa dalam hati agar teman-temannya tetap selamat. "Ngilang!" seru Galang. Dia berhenti di sebelah Emyr yang tengah mengatur napasnya yang terengah-engah. "Ada di sini," sahut Izra dari microphone. Pria itu memegangi tangan Gunther dan menuliskan kode dengan jari. Gunther menepuk lengan Izra pertanda mengerti dengan isyarat tersebut. Kedua pria itu berpencar ke kanan dan kiri. Sama-sama melakukan gerakan silat dan meniupkan udara ke sekeliling tubuh untuk membangun pagar gaib. "Siap, Gun?" bisik Izra. "Oke, kita mulai, Bro. Satu, dua, tiga!" Gunther melompat ke arah makhluk tersebut dari sebelah kanan. Izra menyusul dari sebelah kiri. Makhluk itu tiba-tiba memunculkan diri dengan tampilan yang mengerikan. Wajahnya sangat pucat dengan kedua mata merah menyala. Dengkusan napasnya terdengar nyaring, seakan-akan hendak menakut-nakuti kedua anak muda tersebut. Dari pakaian yang dikenakannya, Izra dan Gunther bisa mengambil kesimpulan bahwa makhluk ini berasal dari masa ratusan tahun silam. Dugaan mereka diperkuat dengan senjata tombak di tangan kanan dan perisai di tangan kirinya. Ketiganya saling menilai lawan di hadapan. Setelah merasa yakin, Gunther pun bergerak menyerang terlebih dahulu, yang segera ditangkis makhluk itu. Izra bergerak maju dan membantu Gunther dengan mengeluarkan jurus-jurus silat yang dipadukan dengan tenaga dalam dengan kekuatan penuh. Kedua anak muda itu berusaha mengalahkan lawannya yang ternyata memiliki kemampuan bela diri yang cukup mumpuni. Berbagai serangan Gunther dan Izra beberapa kali dibalas dengan kekuatan yang cukup besar dari makhluk tersebut. "Gaes, sepertinya kalian harus membantu Izra dan Gunther!" titah Kenzie melalui microphone. Dia sendiri segera ke luar dari mobil dan tak lupa mengunci pintunya sebelum memanjati pagar dan masuk ke halaman bangunan hotel. "Oke!" sahut Gwen. "Kamu tunggu di sini!" titahnya yang dibalas anggukan Rini. "Kami nyusul," ujar Emyr. Dia menarik tangan Galang dan jalan mendekati tempat Izra dan Gunther berada. Dug! "Aduh!" pekik Galang. Dia langsung menyoroti sesuatu yang barusan ditabrak dengan senter yang diikat di topinya. "Apa itu?" tanya Emyr. "Kayak ... tengkorak manusia!" desis Galang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN