Part 11
Keenam anak muda yang tergabung dalam kelompok pengejar hantu tampak tegang saat mereka tiba di bangunan bekas hotel. Sementara kelima orang dewasa yang mengikuti malah sebaliknya, mereka sangat antusias untuk memulai petualangan, setelah sekian lama tidak berkumpul bersama.
Sesuai kesepakatan, Emyr bergerak mendahului menuju lorong di belakang lobby. Pak Amran dan keempat temannya mengekor. Sedangkan Gunther, Kenzie, Galang dan Gwen bergegas menaiki lantai dua untuk mengungsikan teman-temannya.
Rini yang bertugas sebagai penjaga, duduk di undakan tangga sambil menahan rasa takut dalam hati. Baru kali ini dia benar-benar sendirian, walaupun suara orang-orang lain masih terdengar dari microphone.
Gadis itu memindai sekitar untuk merekam hal-hal yang mungkin berkelebatan di dekatnya. Detak jantungnya menggila saat melihat sesosok makhluk berkelebat dari arah pintu dapur dan menghilang di belakang lobby.
"Myr, ada yang membuntuti," bisiknya melalui microphone.
"Oke, Sayang. Kamu tetap di situ, ya. Jangan ke mana-mana," sahut Emyr dengan dilatarbelakangi suara tawa keempat temannya.
"Yah, kata Rini ...." Emyr tidak melanjutkan ucapan karena Pak Amran sudah mengangkat tangan kanannya, pertanda dia sudah mengetahui apa yang dimaksud Emyr.
"Itu kekuatan kedua terbesar di sini, Myr," tukas Pak Amran. "Yang terbesar belum muncul," lanjutnya.
"Ada satu lagi, baru turun dari atas lewat tangga putar di belakang," imbuh seorang teman Pak Amran yang bernama Jamal. Pria yang usianya sama dengan Pak Amran itu memang mempunyai kekuatan supranatural lebih tinggi dibandingkan teman-temannya.
"Yang di belakang, jatahku," sela pria berkumis tipis yang bernama Wirya. Pria paruh baya itu menyeringai sambil berdiri di sebelah Emyr. Tatapannya tak lepas memandangi pintu penghubung.
"Bagianku yang baru turun itu," imbuh pria kurus yang bernama Yono, sahabat baik Pak Amran sejak masih remaja.
"Beuh, licik, nyarinya yang gampang-gampang," sungut Pak Jamal.
"Kan situ lebih jago, jadi harus menangani yang berat-berat bersama Amran dan Salim," balas Wirya.
Sementara pria yang usianya paling tua yaitu Salim hanya menggeleng pelan mendengar perdebatan teman-temannya. "Perasaan dari dulu aku kebagian yang susah-susah," keluhnya.
"Sesuai kemampuan, Pak Salim." Pak Wirya terkekeh.
"Udah, mending kita siap-siap. Emyr, kamu jangan jauh-jauh dari ayah!" titah Pak Amran yang dibalas Emyr dengan anggukan patuh.
Sementara itu di lantai dua, Gunther dan Gwen segera membuka pagar gaib dan meminta para hantu yang bersembunyi itu keluar. Mereka yang berjumlah delapan hantu dengan aneka bentuk itu menunggu para manusia di dekat tangga.
Setelah semuanya keluar, Gunther memerintahkan mereka untuk ke atap mobil dan tetap menyamarkan diri. Satu per satu hantu itu turun. Dimulai dari Stella, hantu anak kecil, dan yang terakhir adalah sesosok hantu pria yang menggunakan seragam koki hotel.
Galang dan Kenzie yang bertugas mengawal, segera menuruni anak tangga dan mengajak Rini untuk ikut ke mobil. Ketiga anak muda itu mengatur posisi agar semua penumpang muat, kemudian Kenzie segera memacu kendaraan menuju rumah neneknya Izra yang terletak di kawasan Margahayu.
"Bro, teman-teman sudah berangkat," ujarnya melalui microphone.
"Oke, kalian menyusul aja," sahut Emyr.
"Kami mau di sini," timpal Gwen.
"Jangan, kalian pergi aja. Di sini aku terlindungi, tenang aja." Emyr berusaha meyakinkan teman-temannya, walaupun dia tidak yakin bila Gunther dan Gwen mau menuruti perintahnya.
Gunther beradu pandang dengan Gwen, kemudian melepaskan microphone supaya Emyr tidak mendengar suara mereka. "Kumaha? Kita pergi atau tunggu?" tanyanya.
"Tunggu aja deh. Ini petualangan kita, jadi kita yang harus menuntaskan, bukan ayah dan teman-temannya," jawab Gwen dengan suara yang terdengar tegas.
"Oke, aku setuju. Sebentar, aku telepon Izra dulu."
***
Rhea jalan mondar-mandir di teras depan rumah neneknya. Sementara Izra masih sibuk memantau hasil rekaman dari kamera yang disematkan di topi Emyr. Sesekali dia bergumam kala melihat pergerakan beberapa makhluk tak kasatmata yang semakin banyak muncul di ruangan gelap, yang terhubung dengan lorong belakang lobby hotel.
"Gun, tetap di sana," titah Izra saat Gunther menanyakan pendapatnya melalui sambungan telepon.
"Oke, Bro. Gwen juga maunya gitu," jawab Gunther.
"Kalian bawa kamera?"
"Aduh, lupa euy. Tapi Gwen masang video dari ponsel sih. Moga-moga kerekam."
"Kalian bergeser ke pintu belakang lobby. Siap-siap buat bantu ayah dan yang lainnya."
"Siap, Bos. Ehh, gengs udah tiba?"
"Belum, macet kali."
"Nanti bilang Kenzie, beliin makanan."
"Yaelah, kerja dulu atuh, baru digaji!"
"Bos pelit!"
"Kamunya kemaruk. Baru juga beres makan lontong." Tawa Izra bergema dan membuat Rhea mengerutkan dahi.
"Kurang nendang euy," keluh Gunther.
"Padahal udah kusumpal pake roti barusan!" seru Gwen yang merebut ponsel dari tangan Gunther.
"Sesuai badan atuh, Neng. Aku kan tinggi gede, makannya juga banyak." Gunther membela diri dan membuat Gwen tertawa.
"Udah, buruan ke pintu. Jangan lupa balur bidara," ujar Izra sebelum menutup sambungan telepon.
"Siapa, A'?" tanya Rhea. Gadis itu sangat penasaran kala melihat kakaknya mengulum senyum.
"Pacarmu," jawab Izra.
"Ihh, belum kuterima juga." Rhea tampak malu-malu.
"Kenapa? Dia kan baik. Lumayan pintar. Agamanya juga bagus." Izra menaik turunkan alis menggoda adiknya.
"Ehm ... iya, sih. Tapi ... aku juga lagi ada yang ngedeketin di kampus."
"Kamu suka yang mana?"
Rhea tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab,"lebih nyaman sama aa' Gun sih. Lebih ngemong."
"Nah, ya udah. Dia aja. Ayah sama ibu pun udah kenal. Aa' cukup akrab dengan keluarganya juga. Asalkan kalian lurus aja jalannya, pasti tetap bahagia."
Rhea manggut-manggut menanggapi ucapan sang kakak. Pipinya bersemu merah jambu saat mengingat pengakuan jujur Gunther beberapa hari yang lalu.
Meskipun sebenarnya Rhea sudah merasa bahwa Gunther menyukainya sejak lama, tetapi gadis itu tidak mau gegabah, dan memilih untuk memantapkan hati untuk berlabuh ke siapa.
Sebuah mobil berhenti di depan rumah. Izra langsung berdiri dan jalan tertatih-tatih menyambut kedatangan teman-temannya. Sementara Rhea langsung merasakan hawa yang berbeda ketika Rini, Kenzie dan Galang turun. Walaupun Rhea tidak bisa berkomunikasi dengan makhluk halus, dia bisa melihat penampakan mereka yang saat ini berdiri di belakang ketiga sahabat kakaknya itu.
"Langsung masuk aja. Tempatkan mereka di halaman belakang. Ada saung di situ. Jangan lupa bantu aku mager biar mereka nggak keluyuran," pinta Izra pada Galang dan Kenzie.
"Aku di sini aja, ya. Masih merinding," timpal Rini.
Izra mengangguk mengiakan. Kemudian dia membalikkan tubuh dan jalan memasuki rumah yang pintunya sudah terbuka sejak tadi. Kenzie mengekor sambil sesekali melirik ke belakang, mengawasi Stella dan teman-temannya yang tampak antusias melihat tempat tinggal mereka yang baru.
Galang menyusul paling akhir setelah memastikan hantu pria yang mengenakan pakaian khas koki itu mengikuti rombongan. Sejak awal, Galang sudah merasa bahwa hantu ini berbeda dengan Stella dan yang lainnya. Mungkin nanti dia bisa meminta bantuan Izra untuk mengorek keterangan dari hantu tersebut.
***
Pak Amran dan Pak Salim mulai meniupkan udara ke sekeliling. Hal yang sama juga dilakukan ketiga rekannya dan juga Emyr. Hati pria muda itu benar-benar deg-degan dengan hal ini. Teringat kekalahan mereka kemaren yang memang kurang persiapan dan terlalu terburu-buru.
Pak Wirya jalan sedikit menjauh dan berhenti di tempat tergelap di lorong tersebut. Pria dewasa itu menyunggingkan senyuman tipis saat melihat penampakan sosok jin yang menyerupai kalong wewe itu.
Sementara Pak Jamal melangkah ke depan dan menyongsong sesosok makhluk yang menyerupai bentuk laki-laki dewasa yang mengenakan pakaian khas bangsa Eropa zaman dulu. Hal itu bisa dipastikan dari kulit dan raut wajahnya yang menampilkan rupa orang bangsa tersebut.
"Goedenmiddag," sapa Pak Jamal. Entah kenapa dia merasa ingin bermain-main sebentar dengan makhluk tersebut yang membalas dengan geraman. (selamat sore)
"Aih, disapa teh kalakah ngegeram," sungut Pak Jamal sambil menggaruk-garuk kepala. Sementara Emyr yang berada paling dekat dengannya hanya mengulum senyum mendengar ucapan pria tersebut. (malahan ngegeram)
"Udah, nggak usah ramah tamah. Dikata lebaran," timpal Pak Salim yang membuat Pak Amran terkekeh.
"Pan kudu kenalan dulu, Lim, habis itu baru berantem," sahut Pak Jamal.
"Sssttt, diem, bosnya datang!" desis Pak Yono sembari memasang kuda-kuda ala katatenya. Pria bertubuh kurus itu memang memiliki ilmu beladiri yang mumpuni. Ditambah dengan kemampuan supranatural yang lumayan kuat, membuatnya sering jadi andalan teman-temannya.
Pak Amran mendorong Emyr menjauh ke belakang, hingga tubuh pria muda itu menabrak dinding. Niat hati Emyr hendak protes, tetapi dia paham maksud Pak Amran. Ayahnya Izra itu hanya ingin melindunginya.
Bug! Bug! Bug!
Suara orang berantem di belakangnya membuat Emyr menoleh. Pria muda itu segera mengarahkan kamera dan senter ke tempat tersebut supaya Izra bisa melihatnya.
Bunyi geraman dan umpatan beradu dari tiga titik di tempat tersebut. Emyr mengarahkan kamera dan senter bergantian ke tiga tempat agar bisa menangkap semua momen pertarungan para master.
Brrraaakkk!
Tiba-tiba makhluk yang menyerupai sosok pria Eropa itu terjengkang ke belakang. Pak Jamal langsung menghambur ke arahnya dan menginjak perut makhluk tersebut dengan kuat.
"Emyr, ke sini!" seru Pak Jamal.
Segera Emyr mendekat dan terperangah saat melihat wajah asli makhluk tersebut. "Ini ... kok mirip dengan ...." Ingatan Emyr melayang ke sebuah foto yang berada di lantai teratas tempat Intan tinggal.
Makhluk astral itu menatap Emyr sambil menggeram. Tangannya terulur hendak mencengkeram Emyr, tetapi pria muda itu lebih gesit menghindar sambil menembakkan tenaga dalam ke bagian kaki makhluk itu.
Sementara Pak Jamal menghantamkan tembakan ke bagian kepala, tak peduli dengan jeritan makhluk itu yang perlahan menghilang seiring dengan munculnya kabut tebal dan berbau daging terbakar.
Di bagian tengah, Pak Amran, Pak Salim dan Pak Yono masih berjibaku dengan makhluk halus yang memakai pakaian kerajaan tempo dulu. Ketika makhluk itu membelah diri menjadi lima bagian, Pak Jamal langsung menarik tangan Emyr agar ikut bergabung dengan ketiga rekannya.
Tiba-tiba makhluk itu berubah wujud menjadi genderuwo, demikian pula dengan kloningannya. Suara tawa mereka menggelegar di ruangan sempit itu dan membuat Emyr merinding.
***
Izra menahan napas saat melihat kiriman video dari Emyr. Bibirnya tak henti-hentinya melafazkan doa sembari mengirim tenaga jarak jauh untuk membantu ayah dan yang lainnya di bangunan bekas hotel tersebut.
Kenzie yang melihat hal tersebut akhirnya ikut duduk bersila dan melakukan hal yang sama dengan Izra. Sementara Galang masih fokus mengawasi kedelapan makhluk astral yang saat ini tengah menjelajahi halaman belakang dengan bahagia.
"Akang kasep aku di mana?" tanya Stella yang tengah melayang mendekati Galang. (kasep = ganteng)
"Lagi berantem sama bohemi," jawab Galang asal. "Kenapa, rindu, ya?" kelakarnya yang membuat Stella mengikik.
"Tau aja ihh kalau aku kangen ama kang kasep."
"Dasar hantu ganjen!"
"Ish, jangan ngatain gitu atuh. Aku ini hantu cantik!" Stella mengerucutkan bibirnya.
"Mana ada cantik muka pucat gitu?"
Stella mengibaskan gaunnya yang menimbulkan angin kencang di sekitar Galang. Bertambah kesal saat pria muda itu malah semakin mengeraskan tawanya, seakan-akan tidak takut dengan gertakannya.
Sementara itu di ruang tengah rumah itu, Rini dan Rhea duduk berdampingan sambil menyesap minuman dingin dari botol yang tadi mereka beli di mini market. Kedua perempuan itu sesekali melirik ke halaman, dan memperhatikan tingkah ketiga pria di sana.
"Kata Aa' Gun, kang Emyr jadi idola para hantu, ya, Teh?" tanya Rhea.
"Hu um, tiap petualangan pasti begini," jawab Rini.
"Kenapa bisa gitu, ya?"
"Entah, aku juga nggak paham. Kalau kata ibunya yang keturunan Kalimantan, keluarganya memang dapat kemampuan begitu. Bahkan, salah seorang sepupu ibunya yang sempat mau dibawa kabur jin."
"Loh, buat apa?" Rhea tampak sangat penasaran.
"Katanya mau dinikahi sama panglima mereka. Duh, jadi merinding aku." Rini mengusap-usap tengkuknya, demikian pula dengan Rhea. Kedua perempuan itu tidak menyadari bila sesosok bayangan melintas di belakang dan melesat menuju depan rumah.