Part 10
Brrruuukkk!
Tubuh Izra terlempar ke kanan dengan posisi terduduk. Pria berkulit kuning langsat itu terperangah saat menyadari bahwa kekuatan makhluk yang mengenakan pakaian khas kerajaan zaman dulu itu sangat kuat.
Gunther yang melihat sahabatnya dihempaskan, segera menghambur ke arah makhluk itu dan menyerang dengan sekuat tenaga.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Gwen yang baru tiba dan langsung berjongkok di sebelah Izra.
Saat pria itu menggeleng sambil memegangi kakinya, Gwen berdiri dan bergegas membantu Gunther. Gadis itu merasakan aura yang sangat kuat dari makhluk yang tengah bertarung dengan mereka, dan dia mengerahkan segala kemampuan untuk melawannya.
Izra terkejut saat seseorang menariknya menjauh. Rini yang bertubuh mungil tampak kepayahan menggusur tubuh Izra. Kenzie yang baru datang, menarik tangan Izra dan mengalungkannya di leher. Mengangkat tubuh sahabatnya itu dan memapah keluar ruangan.
Sesekali Izra mengaduh karena pergelangan kaki kirinya terasa sangat sakit. Akan tetapi, dia tetap memaksakan diri untuk jalan agar tidak merepotkan Rini yang kepayahan memapahnya.
"Minggir!" seru Emyr.
Gunther dan Gwen segera menggeser tubuh dan membiarkan Emyr maju bersama Galang. Kemudian Gunther mengulurkan tangan dan mengangkat tubuh Gwen. Mendorong gadis itu hingga berdiri di atas pundak Galang dan Emyr. Kemudian Gunther berpindah ke belakang makhluk tersebut dan menunggu ketiga temannya menyerang.
"Sekarang!" pekik Gwen.
Keempat anak muda itu serentak menembakkan tenaga dalam ke bagian kepala, d**a, perut dan punggung makhluk tersebut.
Teriakan makhluk itu keluar bersamaan dengan memecahnya tubuh menjadi beberapa bagian. Gunther yang pertama kali melihat sosok lain keluar dari makhluk tersebut segera menangkap tangan dan menarik sekuat tenaga.
Tubuh Gunther pun terbawa ke arah jatuhnya makhluk yang ditarik. Keduanya bergumul dan saling meninju. Kaki ikut bicara, beradu tendangan hingga sama-sama terlempar ke belakang.
"Jangan kepisah!" teriak Kenzie yang sudah kembali. Pria itu segera membantu Gwen turun, kemudian lari ke arah Gunther dan menarik tubuh tinggi besar itu ke arah Gwen yang tengah memegangi pundak kiri.
Makhluk berpakaian kerajaan kembali memecah diri hingga membentuk tiga makhluk berbeda bentuk. Namun, semuanya memiliki ciri yang sama, yaitu tubuhnya menyalakan bara api.
"Makhluk apa ini?" tanya Galang dengan napas tersengal-sengal.
"Mungkin dia yang dinamakan bohemi," sahut Emyr yang mengusap-usap lututnya yang terasa sakit.
Kelima anak muda itu saling beradu pandang. Emyr yang mengambil alih tugas Izra, akhirnya memutuskan untuk mengajak teman-temannya pergi dari tempat tersebut.
"Udah tanggung, Myr!" tolak Gunther.
"Tenaganya terlalu kuat, Gun. Bisa-bisa kita yang bahaya nanti," jelas Emyr.
"Aku setuju sama Emyr. Izra juga terluka, kalian udah kelelahan. Kalau dipaksakan, kita yang repot," timpal Kenzie.
"Okelah, ayok kalau gitu." Gunther pun mundur beberapa langkah. Galang mengikuti. Sementara Emyr, Gwen dan Kenzie memagari dari belakang agar makhluk itu tidak mengejar.
Gema tawa membahana dari pecahan makhluk-makhluk tersebut mengiringi perjalanan mereka ke luar bangunan hotel. Emyr dan Gwen menyempatkan diri untuk menaburkan bubuk bidara di dekat tangga dan pintu depan. Berharap hal itu bisa membantu memperkuat pagar gaib, untuk melindungi para makhluk tak kasatmata lainnya yang bersembunyi di lantai teratas. Tempat Intan, Stella dan yang lainnya berlindung dari bohemi.
***
"Stop dulu ke sananya," ujar Pak Amran. Pria dewasa itu hanya menggeleng pelan saat melihat Izra menjerit ketika pergelangan kakinya diurut sang ibu.
"Iya, Yah," sahut Emyr mewakili teman-temannya.
"Tapi ... gimana dengan Stella dan yang lainnya?" tanya Gwen.
"Biar besok ayah yang ke sana." Pak Amran berdiri dari kursi dan jalan ke ruang tamu. Mengambil ponsel dan bergegas menelepon sahabat-sahabatnya yang berasal dari satu perguruan olah napas.
"Besok kalian harus ikut ayah," bisik Izra. "Segera pindahin Stella dan yang lainnya, sebelum ikut musnah," lanjutnya sambil meringis.
"Mau dipindahin ke mana, Bro?" tanya Gunther yang duduk selonjoran di sebelah Rini.
"Ke rumah nini aja," timpal Bu Tias yang membuat semua mata tertuju padanya. "Rumahnya kebetulan lagi kosong. Yang ngontrak udah pindah dua hari yang lalu," sambungnya.
"Kalau ketahuan ayah gimana?" sela Rini.
"Jangan ada yang ngomong aja ke ayah." Bu Tias memandangi wajah anggota kelompok itu satu per satu. "Begitu tiba di sana, langsung amankan teman-teman kalian. Ada salah satu yang mengawal rombongan ayah, yang lainnya memindahkan penghuni ke rumah nini."
Ketujuh anak muda itu saling beradu pandang, kemudian mereka mengangguk menyetujui usul Bu Tias.
"Oke, biar aku sama Rini yang ngawal rombongan ayah. Kalian yang mindahin!" titah Emyr. "Kamu nggak usah ikut, Iz." Emyr menatap tajam pada Izra yang terpaksa mengangguk mengiakan.
"Aku nanti minta antar sama Rhea, nunggu kalian di rumah nini," tukas Izra.
Mereka serentak diam saat ayah memasuki ruangan. Ketika pria dewasa tersebut melanjutkan langkah menuju kamar, mereka kompak menghela napas lega.
"Ayah kalau lagi marah serem juga, ya," lirih Rini.
"Begitulah, walaupun sebenarnya dia jarang marah sih," sahut Bu Tias. "Kalian lanjutin ngobrol, ibu mau nyiapin lauk buat makan malam." Perempuan dewasa itu beranjak berdiri dan jalan menuju dapur.
Ketujuh anak muda itu masih larut dalam pikiran masing-masing. Ini pengalaman pertama buat mereka "dikalahkan" makhluk tak kasatmata. Tentu saja membuat mereka syok dan sedikit down.
Tepat pukul 5, teman-teman Izra berpamitan. Tinggal Kenzie yang masih bertahan dan terus menemani Izra yang tampak terpukul.
"Sabar," ucap Kenzie sambil menepuk-nepuk pundak Izra.
"Apa kita terlalu sombong, ya, Ken?" tanya Izra dengan suara pelan.
"Mungkin iya, tapi mending nggak usah dipikirin. Anggap kita lagi apes aja."
Izra menghela napas berat dan mengembuskannya perlahan. "Aku ... ceroboh tadi. Harusnya nunggu yang lain datang, baru bergerak. Ini mah nggak."
"Kan kita juga nggak tau kalau makhluk itu kuat. Aku aja nggak nyangka." Kenzie tampak mengingat-ingat sesuatu, kemudian melanjutkan omongannya. "Sebetulnya, aku curiga sama seseorang."
"Siapa?" tanya Izra.
"Ingat nggak yang kata Intan, kalau ada dua orang yang ikut membantu penyekapannya?"
Izra mengangguk membenarkan.
"Nah, aku kok kepikiran kalau orang tersebut adalah ...." Kenzie tidak meneruskan ucapannya karena kemunculan Ayah Izra.
"Lanjut aja, Ken, ayah juga mau dengar analisamu," tukas Pak Amran sambil mendudukkan diri di kursi tunggal yang berada di ujung sofa.
"Ini menurut Kenzie loh, Yah, belum tentu juga benar." Pemuda itu cengengesan.
"Hu um, nggak apa-apa. Ayah pengen tau juga. Kamu kan pintar, jago teknologi." Pak Amran memuji anak sahabatnya tersebut.
"Gini, pak Misran, orang yang memberi informasi pada kami itu tiba-tiba ngilang, nggak bisa dihubungi. Dulu, dia sempat cerita kalau dua karyawan lama hotel kerap bolak-balik ke bangunan tersebut, walaupun tempat itu sudah ditutup," jelas Kenzie mengurai cerita.
"Apa Ayah dan Izra nggak ngira kalau ... kedua orang tersebut, salah satunya adalah pak Misran sendiri?" tanya Kenzie dengan senyuman lebar.