Hunting Tempat Baru

1044 Kata
-15- Dua mobil SUV hitam berhenti di depan bangunan bekas hotel yang masih dihiasi pita kuning khas kepolisian. Para penumpang bergegas turun dan berkerumun di sekitar tempat tersebut. Dengan berbekal surat izin dari AKBP pemimpin di situ, akhirnya mereka dibolehkan untuk memasuki kawasan tersebut. "Jangan semua ikut ke dalam, harus ada yang berjaga di sini. Mungkin aja yang di dalam butuh bantuan," ujar Amran, ayahnya Izra yang dibalas anggukan oleh yang lainnya. "Aku nunggu di sini bareng Rini," ujar Kenzie. "Oke, yang lain nyebar jadi dua grup, kayak biasa," titah Izra. Rombongan tersebut berpencar ke dua arah. Amran, Izra, Galang dan Emyr menuju ke lorong belakang dapur. Sedangkan Rhea, Gwen, Gunther dan Pak Jaka menuju ke taman di bagian belakang bangunan. Kenzie duduk bersila di lantai teras depan dan Rini duduk di undakan tangga. Keduanya memfokuskan diri pada layar tablet yang memperlihatkan pemandangan yang tertangkap kamera yang digunakan oleh Izra dan Gunther. "Rin, sesekali kamu lihat ke tiga penjaga tadi. Mereka ngeliatin kita terus," bisik Kenzie. "Aku harus fokus ngeliat ke tablet," sambungnya. "Sip, kalau perlu aku nanti pura-pura ngajak mereka ngobrol," sahut Rini. "Yups, alihkan perhatian mereka, karena aku mau masang kamera pengintai." Rini manggut-manggut. Sementara itu di lorong belakang dapur, Galang berjalan terlebih dahulu sambil terus mengarahkan senter yang digantung di bahu kiri untuk menerangi tempat tersebut. Beberapa kali Galang berhenti dan meraba dinding untuk memastikan sesuatu, sebelum akhirnya melanjutkan langkahnya. Izra dan yang lainnya mengikuti sembari tetap waspada, terutama karena hawa di tempat itu masih terasa berat dan pengap. Langkah mereka berhenti tepat di belokan sebelum pertemuan kedua lorong. Galang berjongkok dan meraba lantai berdebu sembari bergumam sesuatu. "Oke, di sini," ucap Galang sembari mengetuk-ngetukkan jari ke lantai. Izra mengangguk, kemudian melakukan gerakan tangan sambil mengatur napas. Tiba-tiba tangannya terangkat dan seolah-olah tengah menarik sesuatu yang jauh. Suasana seketika menjadi panas dan sesosok pria berpakaian koki muncul di hadapan mereka. "Sudah dikembalikan, sekarang tugas kami selesai," ujar Galang. "Tunggu! Gimana dengan Intan?" tanya makhluk berpakaian koki tersebut dengan suara berdengung. "Intan telah dibawa ke tempat guru besar padepokan kami," jawab Amran. "Proses pengembalian ruh-nya akan sulit, karena jin yang dihadapi memiliki pangkat tinggi di kerajaan jin," sambungnya. "Apakah setelah itu kami tidak bisa bertemu lagi?" Pria berpakaian koki itu tampak sedih. Wajah pucatnya seolah-olah tengah dihiasi mendung. "Entah, kalau Intan mau, mungkin dia bisa berkunjung ke sini untuk menemuimu." Pria berpakaian koki mengangguk paham. Kemudian dia mengalihkan pandangan ke belokan lorong. "Aku ... tetap di sini. Karena inilah rumahku," lirihnya. "Baik, tapi tetap berhati-hati, karena pelaku penumbalan kalian masih belum tertangkap," ungkap Amran. "Bisakah aku mengajukan satu permohonan lagi?" Amran mengangguk. "Aku ... ingin mengunjungi kalian sesekali." Pria berpakaian koki itu menatap Amran dengan sorot mata penuh harap. "Boleh, tetapi tidak akan bisa masuk ke rumah. Kecuali kalau mau hancur," tukas Amran. "Dan kami juga masih memantau tempat ini. Kenzie sedang memasang kamera tersembunyi. Kamu melintaslah sesekali," lanjutnya yang dibalas anggukan pria tersebut. Amran membalikkan tubuh dan mengajak ketiga anak muda itu keluar dari tempat tersebut. Pria berpakaian koki memandangi kepergian mereka hingga menghilang di balik pintu. Kemudian dia melayang menembus dinding dan masuk ke sebuah ruangan yang dulunya adalah mess peristirahatan pegawai. Pria tersebut memindai sekitar dan mengulaskan senyuman kala melihat sesosok makhluk perempuan bergaun kuning tengah duduk di atas lemari sambil menggoyangkan kakinya. *** Hari pun berganti. Tanpa terasa minggu terlewati. Izra dan teman-teman mulai melupakan makhluk-makhluk penghuni bangunan bekas hotel. Semuanya telah dikembalikan ke sana. Tempat itu juga sudah dipagar lapisan doa agar tidak ada makhluk astral lain yang bisa masuk. Siang itu, Izra dan Rhea tiba terlebih dahulu di kantin tempat kelompok pengejar hantu sering berkumpul. Keduanya tengah membahas tugas kuliah Rhea yang membuat gadis berparas menawan itu gusar. Tak berselang lama, muncullah Kenzie dan Gwen yang jalan sambil bergandengan tangan. Keduanya telah mengungkapkan perasaan masing-masing dan kini resmi menjadi pasangan sejak minggu lalu. "Kang, bantuin," rengek Rhea pada Kenzie yang baru duduk di kursi seberang. "Nanti dulu atuh, Dek. Kenzie baru juga nongol, minum aja belum," sela Izra. "Nggak apa-apa. Sini, akang liat dulu." Kenzi menarik buku tebal yang tadi dipegangi Rhea, kemudian mendengarkan ocehan gadis berbulu mata lentik itu tentang kendalanya dalam mengerjakan tugas. Kenzie memang termasuk siswa yang cerdas. Sejak dulu Rhea lebih senang meminta bantuan padanya bila ingin mengerjakan tugas sekolah. Sebab Izra terkadang tidak bisa menjadi guru yang sabar buat sang adik. "Iz, aku dapat info dari aa' Ren, ada satu unit kerja perusahaan yang cukup angker," bisik Gwen. "Oh ya? Daerah mana?" tanya Izra dengan antusias. "Dekat Cibiru. Mau liat?" "Boleh, tapi nggak sekarang. Ehm, hari Sabtu, gimana?" "Aku tanya aa' dulu." Gwen mengambil ponsel dari saku celana dan mengetik pesan pada kakaknya. Suara gaduh dari tempat parkir mengalihkan perhatian Izra. Senyumannya mengembang ketika melihat keempat sahabatnya tengah jalan mendekat. "Hai, Sayang," sapa Gunther sambil mengusap puncak kepala Rhea yang membalas dengan senyuman manis. "Woi! Hargai perasaan kami yang jomlo ini!" seru Galang sembari mendudukkan diri di kursi sebelah kanan Izra. "Iri? Buruan cari pacar sana." Gunther menarik kursi dari meja sebelah dan duduk di samping Rhea. "Boro-boro pacar. Kepalaku udah penuh dengan skripsi yang nggak kelar-kelar," sungut Galang. Pria bermata bulat itu meraup wajah dan meremas rambutnya dengan gaya lelah. Dia berusaha untuk tidak menoleh ke kanan dan menatap wajah Gwen yang semakin lama tampak semakin memukau. "Buruan kelarin, Bro. Biar kita bisa wisuda bareng-bareng." Izra menepuk-nepuk pundak Galang yang mengangguk mengiakan. "Okeh, Iz. Kata Aa', Sabtu bisa ikut dia ke sana," sela Gwen sembari memperlihatkan ponselnya pada Izra. "Ke sana ke mana?" tanya Emyr yang duduk di sebelah kiri Gwen. "Ke unit kerja aa', rada angker katanya," jelas Gwen. "Kita udah hampir sebulan vakum, udah saatnya buat hunting lagi," sambungnya. "Kayaknya aku nggak ikutan kali ini," timpal Galang. Seketika semua mata tertuju pada pria bertubuh tinggi tersebut. "Aku mau fokus beresin skripsi. Kalian bisa jalan tanpa aku kan," ungkap Galang. "Hmm, bakal kekurangan orang kalau kamu nggak ikutan, Gal," celetuk Rini yang baru duduk di sebelah kiri Emyr setelah sebelumnya berada di toilet. "Cari orang tambahanlah. Pasti ada." Galang mengedarkan pandangan dan menatap wajah teman-temannya yang masih tampak bingung. "Nyari di mana kalau dadakan gini?" keluh Emyr. "Nggak perlu jauh-jauh," tukas Rhea. "Aku ikut kalian. Gantiin Aa' Galang untuk sementara waktu, setelah skripsinya selesai, Aa'bisa kembali ke kelompok," jelasnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN