Bella begitu terkejut ketika melihat Angga dan juga Nani berdiri di belakangnya. Bella berbalik untuk melihat mobil Dimas yang sudah tak terlihat lagi. Karena ia tidak mau Dimas bertemu dengan Nani dan juga pria yang tersenyum menatapnya.
"Tunggu, Ara. Apa kamu mengenal temanku?" tanya Nani melihat rekan kerjanya memanggil Bella dengan sebutan Ara.
Angga mendekati Bella tak memperdulikan apa yang sedang dikatakan Nani. “Apa benar nama kamu Bella?”
Bella menghela napasnya, ia sudah tidak bisa berbohong lagi karena memang namanya Bella. Nama Ara hanya untuk mengelabui Angga Pria yang ia anggap hanya seorang pria modus.
“Kalian saling mengenal?” Nani mendekati keduanya merasa aneh dengan sikap Bella yang terkesan menghindari Angga.
Angga melangkah maju sedangkan Bella melangkah mundur. “Tunggu, jangan mendekatiku,” ucap Bella dengan gugup.
Angga berdecak. “Aku tahu kamu sedang menghindariku. Jadi benar namamu Bella?”
“Iya, namaku Bella.”
Nani yang tidak tahu apa yang terjadi antara Bella dan juga Angga pun semakin penasaran dengan hubungan mereka berdua. “Apa cuma aku di sini yang enggak tahu tentang hubungan kalian berdua?”
“Aku ketemu dia di depan kantormu,” jelas Bella. “Aku juga enggak tahu kalau kalian saling mengenal.”
“Kamu yakin?” Bella mengerutkan dahinya seolah sedang berpikir tentang apa yang akan dilakukan oleh pria aneh yang ada di depannya. “Apa kamu lupa kalau kita pertama kali bertemu di apartemen?”
“Apartemen, apa yang kalian lakukan di sana?” Nani semakin penasaran dengan jawaban Angga.
“Kami hanya enggak sengaja ketemu di lift apartemen.” Kemudian melirik Angga seolah meminta dukungan.
Angga tiba-tiba saja merangkul bahu Bella dan berkata, “Di taman. Apa kamu lupa sedang meminta belas kasihan orang-orang di jalan.”
Kesal dengan Angga, Bella mendorong tubuhnya lalu berjalan ke sisi Nani. “Ayo, kita pulang!”
Nani merangkul lengan Bella lalu berjalan bersama. Namun, baru beberapa langkah Nani berbalik. “Kamu enggak ikut ke rumah?”
Bella panik karena Nani mengajak Angga ke kontrakan mereka. Bella semakin yakin jika keduanya tidak hanya rekan kerja melainkan memiliki perasaan yang lebih dari itu.
“Kenapa kamu mengajaknya?” bisik Bella.
Nani tersenyum kemudian kembali berjalan sembari menarik Bella untuk segera berjalan bersamanya. Sepanjang jalan ke kontrakan, Bella terus melirik Angga yang ada di belakang. Entah mengapa Bella merasa risih ketika seorang pria menatap.
“Aku masuk dulu.” Bella masuk ke dalam kontrakan lebih dulu. Sedangkan Nani dan Angga malah asik mengobrol di depan kontrakan mereka.
“Jangan ganggu istri orang,” sela Nani melihat Angga yang terus melihat ke dalam kontrakannya.
Angga mendekati Nani lalu berucap, “Memangnya dia sudah punya suami. Kenapa tinggal denganmu?”
“Kepo! Pokoknya jangan dekati temanku, kalau kamu hanya mau main-main.”
Angga menyeringai, ia merogoh saku celananya lalu mengirim pesan ke seseorang yang berada di kontaknya.
Angga : Kembalikan sapu tanganku yang mahal itu.
Bella yang berada di dalam kamar membuka pesan yang masuk di ponselnya. Dengan kesal ia mengambil sapu tangan yang sudah ia cuci sebelumnya kemudian mengembalikan kepada sang pemilik.
“Ini … makasih!” Angga dan Nani kebingungan melihat sikap Bella.
***
Bella melirik ke arah Nani yang terlihat menatapnya dengan tajam seolah menunggunya bercerita tentang hubungannya dengan Angga.
“Kenapa?” tanya Bella merasa di intimidasi.
Nani mendekati wajah Bella, bola matanya melihat ke sekeliling tubuhnya. “Apa kamu rujuk dengan Dimas?”
“Hah ….” Bella begitu terkejut, ia pikir Nani akan membicarakan Angga ternyata Dimas.
“Aku melihat kalian berbicara, bahkan kalian saling melempar senyum,” selidik Nani.
“Dia tahu aku tinggal di sini. Sebelumnya kami bertemu di cafe untuk membicarakan soal perceraian, tapi dia malah ngajak rujuk.”
“Terus kamu mau?”
Bella menghela napasnya, jauh di lubuk hatinya ia masih ingin mempertahankan pernikahannya. Namun, jika ia mengingat kembali apa yang dilakukan oleh Ami, membuatnya ingin segera bercerai.
“Aku masih bingung. Sifat orang itu enggak mungkin berubah dalam waktu semalam, aku yakin orang tuanya masih menghalangi kami untuk bersama.”
Dering ponsel mengalihkan perhatian mereka berdua. Bella mengambil ponselnya yang ada di meja lalu mengangkat panggilan dari ayahnya.
“Halo, Ayah,” sapa Bella.
“Dimana kamu, ayah tunggu di rumah?!” Bella terkejut ketika ayahnya mematikan panggilannya sepihak.
Bella lalu mengambil tas, bersiap ke rumah orang tuanya. Sedangkan Neni hanya menatap Bella yang seperti berat untuk pergi ke rumah orang tuanya.
“Apa perlu aku temani?”
“Enggak usah. Maaf ya, aku enggak bisa antar kamu kerja,” ucap Bella merasa tidak enak.
“Enggak apa-apa. Kamu hati-hati di jalan ya, kalau ada apa-apa kabarin.” Bella tersenyum, berlalu meninggalkan Nani.
Dua puluh menit perjalanan akhirnya Bella sampai ke rumahnya. Jika dipikir lagi, rumah Bella terlihat minimalis dari luar tapi terlihat mewah di dalamnya.
"Eh, Non Bella," ucap pekerja di rumahnya.
Bella hanya menyunggingkan senyum lalu masuk ke dalam. Sudah lama semenjak ia menikah jarang sekali mengunjungi orang tuanya, sudah banyak perubahan di rumahnya hingga ia merasa asing dengan rumahnya sendiri.
"Ayah," sapa Bella melihat seorang pria yang sedang duduk di sofa sembari membaca koran yang ada di tangan.
Perlahan pria paru baya itu melipat korannya lalu berkata, "Duduklah."
Bella tak berani memeluk ayahnya, karena dia tahu saat ini ayahnya sedang marah kepadanya.
"Dimana kamu tinggal?" Bella bungkam, ia tak berani menjawab ucapan ayahnya yang bernama Wijaya. "Tanda tangani."
Bella mengangkat kepalanya kala melihat secarik kertas yang di lempar oleh Wijaya ke meja. Dengan ragu ia mengambil kertas tersebut lalu membukanya.
"Sejak kapan kalian pisah rumah, apa keluarganya membuangmu?"
"It-itu--"
"Ayah kecewa sama kamu, Bella. Disaat seperti ini kamu bahkan enggak ngasih tau orang tuamu sendiri. Kamu itu masih punya orang tua, jika mereka membuangmu datang ke ayah dan Ibu, kamu masih punya rumah, punya orang tua."
Bella tertunduk lesu, tak terasa buliran air mata menetes ke tangannya.
"Bella, kamu datang, Nak." Suara yang selalu ia rindukan mendekat dan memeluknya dengan erat.
"Ibu, maafin Bella," lirihnya sembari membalas pelukan Sani.
Sani dan Wijaya membiarkan Bella menangis, meluapkan emosi yang ia pendam selama ini. Setelah dirasa tenang, mereka pun mulai mengajak bicara Bella.
"Jadi, apa kalian akan bercerai?" tanya Wijaya. Bella hanya mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan ayahnya. "Tanda tangani berkas itu, ayah akan membantu proses penceraian kalian dengan cepat."
"Tapi, Yah."
"Enggak ada tapi-tapian Bella, setelah mereka membuangmu begitu saja kamu masih ingin bersama pria itu. Sadar Bella, mereka hanya memanfaatkan kamu, ketika mereka enggak ngedapetin yang mereka mau, kamu dibuang seperti ini."
Helaan napas terdengar dari mulut Bella, meski ia masih mencintai Dimas, melihat perangai orang tuanya sendiri. Bella yakin mereka tidak akan membiarkan dirinya dan Dimas untuk rujuk. Dengan berat hati Bella menandatangani gugatan cerai yang dilayangkan Dimas.
***
Dimas terdiam kala hidungnya mencium bau masakan.Ia beranjak dari ranjang untuk melihat siapa yang berada di dapurnya. Namun, bukan Ami yang sedang masak melainkan milik seseorang yang sedang yang tak asing bagi Dimas.
“Dimas, kamu udah bangun.”
Dimas mengambil air minum lalu duduk di meja makan. “Sedang apa kamu di sini?”
“Aku membuatkanmu sarapan. Mau makan apa, ayam asam manis atau capcay?”
Bukannya menjawab Dimas malah berdiri dari kursi, meninggalkan Kiki sendiri di sana. Tak terima diabaikan, Kiki pun mengikuti langkah Dimas lalu memegang tangannya. “Dimas, tunggu!”
Dimas menepis tangan Kiki membuatnya semakin terhina. “Apa kamu pikir aku mau melakukan ini untukmu? Aku ke sini bersama Tante Ami yang sudah pulang lebih dulu. Dia menyuruhku untuk mendekatimu, walaupun aku sama sekali enggak mau.”
“Kalau kamu enggak mau ya tolak. Aku masih punya istri dan sampai kapan pun aku enggak mau menceraikan istriku. Jadi pergi dari sini dan jangan pernah masuk ke apartemenku lagi.” Kiki mengambil tasnya lalu keluar dari apartemen.
Ditengah emosinya yang membuncah sebuah pesan masuk ke ponselnya. Dimas tertegun, tangannya bergetar membaca pesan tersebut.