Bella mengikuti semua yang dikatakan Wijaya, ia sudah tidak ingin membantah perkataan orang tuanya karena dulu saja semua bantahannya membuatnya hancur seperti sekarang ini.
"Bella, ayo dimakan sarapannya," ucap Sani mengusap bahunya.
Bella hanya menyunggingkan senyum mendengarkan semua petuah Wijaya yang memintanya untuk tidak hadir di persidangan pertama. Hakim akan mencoba mediasi antara pihak tergugat dan pihak penggugat agar memikirkan kembali perceraian mereka.
"Untuk sementara waktu kamu tinggal di rumahmu saja," ujar Wijaya membuat Bella bingung. "Papah dan Mamah sudah mengisi semua perabotan di sana, kamu hanya tinggal dan menikmati semuanya dengan tenang."
"Iya, Ayah."
Sani mencoba menengahi, melihat Bella yang masih bingung. "Begini Bella, Ayah dan Ibu sudah membeli rumah untukmu. Tadinya kami ingin memberikan rumah itu sebagai kado pernikahan kamu dan Dimas, tapi karena melihat orang tua Dimas yang seperti itu jadilah Ayah dan Ibu menyimpannya untuk cucu kami nanti.
"Makasih Ayah, Ibu."
“Setelah sarapan, kamu ikut ke kantor.”
“Aku?”
“Iya, mulai sekarang kamu yang harus mengurus bisnis ayah. Ayah tahu kemampuan kamu dalam bekerja, Ayah yakin kamu bisa menjalankan bisnis kita dengan baik.”
Bella hanya mengangguk, selesai makan ia kembali ke kamar untuk mengganti pakaiannya. Bella tertegun saat melihat pakaiannya masih tersusun rapi di lemarinya. Bella tersenyum ketika bajunya dulu masih muat di tubuhnya, bahkan terlihat agak longgar karena berat badan Bella turun.
“Wah, anak Ibu cantik banget,” puji Sani lalu mengusap rambut Bella. “Kamu cantik Bella, masih banyak pria baik diluar sana menginginkanmu. Lupakan dia dan hiduplah dengan baik.”
“Iya, Bu.” Hening sejenak sebelum akhirnya Bella kembali berkata, “Tapi, Dimas mengajak rujuk Bu.”
“Kamu masih mau hidup sama cowok plin-plan dan nggak bisa ngambil keputusan sendiri. Kamu mau hidup kamu di setir sama mertua kamu?!”
Ketukan pintu mengalihkan perhatian Bella dan juga Sani yang berada di dalam kamar. Tak lama pintu terbuka menampilkan maid yang selama ini bekerja di rumah mereka.
“Maaf, Non. Bapak udah nunggu di bawah.’
“Iya, Bi.Makasih.”
Bella mengambil tasnya lalu memeluk sebentar tubuh Sani. “Aku berangkat dulu ya, Bu.”
“Hm ….”
***
Semua karyawan menatap ke arah Bella kala ia memasuki kantor milik Wijaya. Tidak ada yang tahu jika Bella adalah anak dari sang pemilik perusahaan, karena memang Bella tidak pernah datang ke kantor ayahnya.
“Perhatian semua, saya akan memperkenalkan karyawan baru yang akan menjadi bagian dari kita.” Wijaya menoleh ke arah Bella memintanya untuk maju sejajar dengannya. “Namanya Bella, dia akan menjabat sebagai Finance Manager.”
“Selamat pagi, perkenalkan namaku Bella. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik,” ucap Bella.
Semua staf pun bertepuk tangan mendengar perkenalan Bella. Wijaya lalu menyuruh Bella untuk duduk di meja yang kosong menghadap semua staf yang ada di ruangan tersebut.
“Kiki.”
“Iya, Pak,” ujar Kiki berjalan mendekati Wahyu dan Bella.
“Tolong berikan berkas keuangan yang harus diperiksa oleh Bella. Kamu juga ajarin Bella menggunakan sistem kita.”
Setelah mengatakan itu, Wijaya meninggalkan Bella bersama Kiki dan stafnya yang lain. Semua mata tertuju pada Bella, terlihat beberapa diantara mereka tidak suka dengan kehadiran Bella disana.
“Ayo, kita mulai kerja. Oh iya, kenalin namaku Kiki. Aku bekerja bagian administrasi tapi suka bantu bagian finance.”
“Oh, makasih ya udah mau bantu.”
Kiki hanya tersenyum, ia pun membawakan beberapa berkas ke atas meja Bella. Tak hanya itu Kiki juga mengambil berkas yang ada di meja staf finance.
“Ki, kamu mau aja ngajarin anak baru,” ucap Leni rekan kerja Kiki bagian finance.
Kiki membungkukkan tubuhnya lalu berbisik, “Dia atasanmu sekarang, hati-hati jangan bersikap seperti itu.”
Leni hanya berdecak membiarkan berkasnya di periksa oleh Bella. Kiki mulai mengajari laporan yang biasa ia buat, tak hanya itu ia juga memberitahu sistem penginputan serta laporan yang biasa dibuat oleh manajer sebelum di berikan kepada atasan mereka untuk diperiksa.
“Mudah, kan?” ucap kiki setelah menjelas semua yang ia ketahui.
Bella mengangguk sembari menyunggingkan senyum. “Terima kasih sudah banyak membantu.”
“Sama-sama. Oh iya,nanti makan siang bareng yuk. Pasti Ibu Bella belum tahu tempat makan di sini.”
“Oke.”
Kiki pun berlalu meninggalkan Bella dengan setumpuk pekerjaan. Bella yang memiliki pengalaman kerja yang cukup mempuni, membuatnya mudah berbaur dengan sistem perusahaan ayahnya. Ia mengerjakan semuanya dengan santai, bahkan ia tidak melihat Wijaya yang sedari tadi memperhatikan Bella dari ruangannya.
“Apa sidang pertama sudah selesai?” tanya Wijaya kepada orang suruhannya.
“Sudah Pak, mantan suami Ibu Bella juga hadir di persidangan. Namun, karena dari pihak Bu Bella hanya pengacaranya saja proses perceraian pun bisa dilakukan dengan cepat.”
“Bagus, enggak perlu ada harta gono gini. Putriku keluar dari rumah itu saja sudah membuatku puas,” ungkap Wijaya yang memang terpaksa menyetujui pernikahan Bella dan juga Dimas.
Awalnya Wijaya tidak setuju dengan keputusan Bella menikah dengan Dimas karena sikap Ami yang terlihat memanfaatkan putrinya. Maka dari itu dia sengaja tidak memeriahkan pernikahan putri semata wayangnya, agar Ami mengerti jika Bella tidak pernah bergantung kepada orang tuanya.
***
Bella menatap layar ponselnya yang sedari tadi menyala.Ia sengaja tak mengangkat panggilan Dimas karena pasti akan membahas tentang perceraian mereka.
Dimas : Bella, aku mohon angkat teleponnya. Kita harus bicara Bel.
Bella mengabaikan semua pesan yang masuk ponselnya. Namun, ia tertegun ketika melihat nomor yang selama ini sama sekali tidak pernah menghubunginya. Bella beranjak dari kursi berlalu meninggalkan ruangan tersebut dengan tergesah-gesah.
“Halo, Mah,” sapa Bella.
“Mah, jangan panggil aku, mah. Aku bukan mertuamu lagi,” hardik Ami membalas sapaan Bella. “Proses perceraian kalian berjalan dengan cepat, mungkin seminggu atau mungkin dua minggu lagi akan ada putusan perceraian. Tapi sebelum itu, aku minta kamu jangan menuntut harta gono gini. Ingat kamu datang hanya membawa motor bututmu itu. Dan satu lagi, jangan pernah menuntut apapun atau mendekati putraku lagi.”
Baru Bella membuka mulu, panggilan itu tiba-tiba saja dimatikan sepihak. Tak terasa buliran air mata menetes di pipi Bella, ia menyeka dengan kasar lalu mengibaskan jemarinya agar air matanya berhenti menetes.
Bella lalu kembali ke ruangan, tapi semua orang yang ada di kantornya sudah tidak ada di kursinya.
“Bu Bella, kamu habis dari mana. Ayo, kita makan,” ajak Kiki menarik tangan Bella.
Keduanya berjalan keluar dari kantor mencari makan siang. Saat mereka menemukan kantin hampir semua tempat penuh.
“Kiki, sebelah sini,” panggil Leni
Kiki kembali menarik Bella agar mengikutinya, tapi hanya ada satu bangku yang tersisa di sana.
“Bu Bella duduk aja,” ucap Kiki mempersilahkan.
“Ini kursi buat kamu. Ayo, duduk!” Leni menarik tangan Kiki agar dia duduk di sampingnya membiarkan Bella berdiri di sana.
Mendapatkan perlakuan tidak enak dari Leni membuat Bella sadar akan posisinya sebagai karyawan baru. Meski ia tahu jika perusahaan itu milik ayahnya sendiri.
“Enggak apa-apa, kamu duduk aja,” ujar Bella ketika Kiki akan beranjak dari kursinya. “Aku mau beli makanan lain, sepertinya akan lama menunggu makanan. Aku duluan ya.”
Bella keluar dari kantin itu dan memilih membeli roti di mini market yang tak jauh dari kantornya. Sementara itu, semua rekan kerja Bella membicarakannya. Bahkan Leni menyebarkan gosip jika Bella masuk ke kantor itu karena orang dalam.
“Coba pikir aja, orang seperti itu bisa langsung menjadi manajer keuangan. Tuh si Aldi bagian HRD aja enggak tahu CV dia.” Aldi yang tiba-tiba saja di tunjuk pun hanya mengedikkan bahunya.
“Jangan bersikap seperti ini. Justru kita harusnya bersikap baik sama Bu Bella. Siapa tau dia itu sebenarnya keponakan Pak Wijaya atau mungkin anaknya,” ucap Bella.
Leni mengibas tangannya ke udara. “Enggak mungkin, anaknya Pak Wijaya itu. Katanya anaknya Pak Wijaya pergi keluar negeri.”
“Berarti keponakannya dong!” sela Aldi.
“Kamu kan bagian HRD, harusnya kamu cari informasi tentang karyawan baru itu. Lagian enggak peduli jabatannya apa, tetap aja kita senior disini. Jadi, dia harus hormat ke kita.”
Kiki hanya menghela napasnya, ia tidak bisa berkata apa-apa lagi ketika berurusan dengan senioritas. Kiki melihat layar ponselnya, sudut bibirnya terangkat ketika membaca pesan dari seseorang lalu membalasnya.
Kiki : Jemput aku jam lima sore.