Suara Sani menjadi alarm terbaik untuk Bella. Bagaimana tidak, ia datang kerumah baru Bella hanya untuk mengantarkan sarapan untuknya.
“Bagaimana hari pertamamu di kantor?” tanya Sani sembari menyajikan sarapan untuk putri kesayangannya.
“Semua berjalan dengan lancar. Mamah ngapain si ke sini, kasian Ayah di rumah sendirian.” Sani mencubit tangan Bella hingga ia meringis kesakitan, lalu mengambil air putih ke dapur.
Sani hanya melirik ke arah Bella lalu beralih ke ponsel yang berdering di atas meja. Dilihatnya nama seorang pria yang membuat Sani penasaran lalu mengangkat panggilan tersebut.
"Halo," sapa Sani.
"Halo, Bella. Kamu dimana?"
"Aku Sani, Mamah Bella. Kamu datang ke sini saja, aku akan mengirim alamatnya. Bye."
Sani tersenyum setelah mendengar suara Angga. Ia begitu penasaran dan ingin segera menemui pria yang berani menghubungi putrinya.
“Mamah ngapain senyum-senyum sendiri?” tanya Bella.
Sani menunjukkan layar ponselnya ke arah Bella. “Masukkan passwordnya.”
Bella yang polos hanya mengikuti permintaan Sani, untuk membuka ponselnya tanpa tahu apa yang akan dilakukan mamahnya sendiri.
“Ehm, putusan perceraian kalian dipercepat. Apa kamu akan datang ke pengadilan?”
Bella mengedikkan kedua bahunya. Ia pikir akan membutuhkan waktu yang lama sampai putusan perceraian mereka. Namun, ternyata semuanya dipermudah dan berjalan dengan cepat.
“Mobil kamu ada di bawah, pakai mobil jangan pakai motor ke kantor,” ujar Sani.
“Enakkan pake motor, enggak harus macet-macetan.”
Sani menatap wajah putrinya dengan tatapan penuh tanya. Ia tidak menyangka jika putrinya lebih nyaman menggunakan motor dari pada mobil. Padahal beberapa staf manager di kantor suaminya menggunakan mobil.
Sedangkan Bella, yang notabennya anak pemilik perusahaan malah mengendarai motor bututnya. “Mah, aku berangkat dulu. Besok enggak usah ke sini. aku bisa mengurus rumah sendiri.”
“Tu-tunggu Bella, itu–” Sani mencoba menghalangi putrinya agar dia bertemu dengan pria yang ingin Sani temui.
“Kenapa, Mah?”
Bella menoleh ke arah suara mobil yang berhenti di depan rumahnya. Sepasang mata terus menatap ke arah pagar sebelum akhirnya suara pria yang Bella kenali memanggil namanya.
“Permisi, Bella.”
Sani tersenyum bahagia, ia berjalan dengan tergesah-gesah membuka pagar rumah putrinya.
"Selamat pagi,” sapa Sani.
“Pagi, Tante. Bellanya ada?” Belum juga dijawab Bella sudah berdiri di belakang Sani.
“Kenapa kamu datang ke sini?”
“Tadi–”
Sani menghalangi pandangan Bella, menyela ucapan Angga. “Tadi Mamah yang kasih alamat rumah kamu. Mamah cuma penasaran pria seperti apa yang sedang dekat sama kamu.”
“Kami enggak dekat, Mah. Udah ah, Bella berangkat dulu. Udah telat nih!”
“Biar aku aja yang antar,” tawar Angga bersemangat.
“Enggak usah aku bawa motor.”
Bella menolak ajakan Angga, tapi tiba-tiba saja Sani menarik tangannya kemudian mendorong tubuh putrinya itu untuk masuk ke dalam mobil Angga. “Titip Bella ya.”
Bella berusaha keluar. Namun, Sani menghalangi pintu mobil Angga agar Bella tidak keluar. Angga pun melajukan mobilnya menjauh dari rumah Bella.
“Di mana kantormu?” Angga memulai percakapan meski ia tidak yakin jika Bella akan menjawab pertanyaannya dengan benar.
“Armada Grup.”
Angga mengangguk lalu kembali mengajak Bella bicara. “Kenapa kamu mengabaikan telepon dan pesan yang aku kirim?”
“Apa kita sedekat itu untuk saling berkomunikasi?”
Angga menelan saliva-nya, ia tak bisa menimpali ucapan Bella. Karena memang mereka tidak memiliki hubungan apa pun. Namun, entah mengapa Angga benar-benar penasaran dengan Bella.
Hanya membutuhkan waktu lima belas menit, mobil yang dikemudikan Angga sampai di depan kantor Bella.
“Makasih,” ucap Bella sebelum turun dari dalam mobil.
Angga juga ikut keluar dari mobilnya, membukakan pintu untuk Bella. “Jam berapa kamu pulang, aku akan menjemputmu?!”
“Enggak usah, aku naik taksi aja.”
“Bella tunggu.” Angga menahan tangan Bella agar dia tidak pergi lalu mengambil paper bag yang ada di mobil. “Ini dari Mamah. Mereka mengundangmu untuk datang ke acara ulang tahun Nenek. Aku enggak akan memaksa, itu kalau kamu mau aja.”
“Sampaikan ucapan terima kasihku buat tante.”
“Kenapa kamu enggak mengucapkannya sendiri?”
Sesaat Bella dan Angga saling beradu pandang sebelum akhirnya Bella mengalihkan pandangannya. “Aku pergi dulu.”
Angga mengangguk sembari memandangi Bella yang masuk ke dalam kantornya. Angga sengaja menunggu Bella beberapa menit hanya untuk memastikan dia memang bekerja di perusahaan tersebut.
“Wanita ini benar-benar membuatku gila.”
***
Semua mata tertuju pada Bella yang baru saja masuk ke kantor. Ia masih belum telat, tapi semua staf yang sudah datang lebih dulu menatapnya dengan sinis.
“Eh karyawan baru, kok baru datang sih. Berasa kantor milik bapaknya ya!” sindir Leni.
Bella berusaha mengabaikan rekan kerja yang selalu memancing keributan. Meski dulu Bella bekerja cukup lama di kantor lamanya, tapi ia tidak menemukan manusia seperti Leni. Sedangkan di perusahaan ayahnya sendiri ia menemukan manusia julid yang bisa bikin karyawan baru lainnya tidak betah bekerja.
“Nih periksa!”
Bella yang kesal lalu berdiri seolah menantang Leni. “Bisa sopan enggak sih?”
“Heh, aku senior di sini. Pernah kerja enggak sih, junior itu harusnya menghormati seniornya.”
Bella menyeringai, ia merasa tidak tepat berdebat dengan manusia yang gila hormat. Bella pun memilih kembali duduk di kursinya tanpa mempedulikan Leni yang masih berdiri di samping mejanya.
“Ini, Bu,” ucap Kiki mengalihkan perhatian Bella.
“Makasih,” jawab Bella menerima berkas laporan yang Kiki berikan. Sudut mata Bella masih menangkap Kiki yang masih berdiri di tempatnya. “Ada apa?”
Kiki tersenyum, lalu mengusap bahu Bella dengan lembut. “Abaikan dia, fokuslah bekerja karena bukan dia yang menggaji kita.”
Bella mengangguk, ia sadar jika ayahnya yang menggaji semua karyawan di sini. Jadi ia tidak begitu memikirkan apa yang dilakukan Leni.
“Apa ini,” gumam Bella yang sedang memeriksa laporan yang dibuat oleh Leni. Ia beranjak dari kursi lalu berjalan ke meja Leni.
Semua staf yang berada di ruangan itu menyembulkan kepalanya, penasaran dengan apa yang ingin Bella lakukan kepada wanita yang memang biang rusuh di kantornya.
“Apa laporan ini sudah diperiksa sebelumnya?” tanya Bella.
Leni mendongak melihat Bella yang berdiri di depan mejanya. “Bukannya itu tugasmu,” jawabnya dengan ketus.
Bella melempar berkas yang sudah ia periksa ke hadapan Leni. “Periksa lagi semua yang aku lingkari. Jika laporanmu menurutmu sudah benar, beri aku bukti entah itu cek, giro atau bukti transaksinya.”
Leni menarik berkas yang diberikan Bella lalu memeriksanya. Sedangkan Bella kembali ke mejanya dengan emosi yang masih menguasai pikirannya.
“Ada apa?” tanya Kiki yang penasaran dengan apa yang Bella dan Leni lakukan.
Bella menghela napasnya lalu berkata, “Dia nggak periksa laporan dengan benar.”
Kiki tersenyum, selama ini laporan yang dikerjakan Leni memang sering ada kesalahan. Namun, karena Kiki tidak mau memperpanjang masalah, ia lebih baik memperbaiki sendiri.
“Kerja bagus,” bisik Kiki.
“Permisi, ada Ibu Bella?” Semua staf berdiri melihat ob yang masuk ke ruangan mereka.
Bella yang merasa namanya dipanggil pun berdiri menghampiri ob tersebut. “Saya Bella, ada apa ya Pak?”
“Ini ada kiriman Bu.”
Bella mengerutkan dahinya, ia masih bingung apa lagi yang dikirim adalah makanan. “Dari siapa ya, Pak?”
“Dari Pak Angga, Bu. Mau di simpan di mana ya?”
“Ah, di meja saya aja Pak.”
Beberapa staf yang penasaran dengan kiriman Angga pun mendekati Bella. “Cie yang dikirim makanan sama pacarnya,” goda Kiki.
“Pasti cowok yang tadi pagi nganter Ibu Bella ya,” sahut Aldi tak kalah penasaran.
“Eh, beneran Bu Bella dianterin pacarnya. Jadi penasaran seperti apa pacar Bu Bella yang romantis ini.” Kiki terus menggoda Bella membuatnya tersipu malu.
Bella tak menyangka jika Angga akan mengirimkan makanan untuknya. Tapi karena kebaikannya, Bella bisa dekat dengan karyawan lain. Ia mempersilahkan makanan pemberian Angga dinikmati oleh rekan kerjanya
Bella : Terima kasih makanannya.
Bella mengirimkan pesan kepada Angga sembari mengirimkan foto makanan pemberiannya.
Angga : Sama-sama, Aku akan menjemputmu nanti sore. Tidak ada penolakan karena kamu sudah menerima suap dariku.