Bab 6. Tidak Bisa Adil

1045 Kata
Dimas mengepalkan tangannya melihat foto seorang pria yang memegang kedua bahu Bella. Terlihat pria yang ada di dalam foto itu memandang wajah Bella dengan senyuman. “Udah mamah bilang kan, Mamah itu emang curiga kalau si Bella itu selingkuh. Aneh banget kan, masa dia langsung mau di ajak cerai. Istri yang baik pasti mempertahankan pernikahan mereka.” Dimas memejamkan matanya, menelan habis setiap ucapan yang terlontar dari mulut Ami.Padahal dia yang terus memaksanya untuk bercerai dengan Bella, malah melimpahkan semua kesalahan kepada wanita yang masih menjadi istrinya. “Cukup Mah. Aku cape.” Dimas lalu masuk ke dalam kamar meninggalkan Ami yang tak bisa menutup mulutnya. Ada rasa sakit di hatinya ketika sadar jika dirinya masih mencintai Bella. Dimas pun mengeluarkan ponselnya, mencoba menghubungi Bella. Terdengar suara sambungan telepon yang terhubung. “Halo, Bella. Bisa kita ketemu, di mana kamu sekarang … aku jemput ya?” “Kita ketemu di cafe tempat kita pertama kali ketemu. Kamu masih ingat, kan?” “Hm … aku ke sana sekarang.” Dimas mematikan panggilannya, ia bergegas mengganti pakaian lalu merapikan rambutnya dengan rapi. Sebisa mungkin ia harus terlihat rapi dan tampan karena Dimas merasa insecure melihat pria yang bersama Bella. Iya, melihat Bella bisa secepat itu move on, membuat Dimas merasa si pria ini lebih darinya. Karena Dimas tahu selama ini Bella tidak mudah jatuh cinta dan sulit didapatkan. “Kamu mau kemana?” tanya Ami yang masih berada di apartemen Dimas. “Ada meeting,” jawab Dimas mengambil kunci mobil berlalu meninggalkan Ami begitu saja. “Dimas, tunggu. Nanti malam kamu harus ngajak Kiki makan malam,” teriak Ami saat Dimas sudah berada di dalam lift. “Pokoknya harus!” Pintu lift tertutup, seperti mulut Dimas yang enggan menanggapi ucapan Ami. Tak lama ponselnya berdering menunjukkan nam Ami di sana. Sepertinya wanita itu tidak pernah puas dengan sesuatu yang menyangkut anaknya. “Menyebalkan sekali,” gumam Dimas lalu mematikan data di ponselnya. *** Dua puluh menit perjalanan, mobil yang dikendarai Dimas sampai di sebuah Cafe yang menyimpan banyak kenangan antara dia dan juga Bella. Dimas mengedarkan pandangannya mencari sosok Bella. “Mas,” sapa Bella. Dimas sontak menoleh ke belakang dan mendapati Bella sedang berdiri di belakangnya. “Bella, kamu baru datang?” “Iya, mau duduk di mana?” tanya Bella sembari matanya mencari tempat yang kosong dan enak untuk bicara. “Gimana kalau di atas aja, tempat dulu kita ketemu?” Bella hanya mengangguk, mengikuti Dimas yang berjalan lebih dulu. Suasana menjadi hening ketika Bella dan Dimas bingung mau memulai pembicaraan dari mana. Lidah Dimas terasa kelu saat akan menanyakan sesuatu kepada Bella, tapi ia harus bertanya agar bisa menemuinya lagi. “Bel, kamu tinggal di mana sekarang?” Bella melipat bibirnya, ia begitu ragu untuk menjawab pertanyaan Dimas. “Kalau kamu mau kirim surat cerai, hubungi aku aja. aku akan datang mengambilnya, jangan pernah kamu kirim surat itu ke orang tuaku karena mereka tidak tahu jika putrinya sudah dicampakkan oleh suaminya. Kata kamu yang terlontar dari bibir Bella cukup membuat hati dimas terluka. Bella akan memanggilnya dengan sebutan kamu jika ia merasa kesal kepadanya. “Bisakah kamu tetap memanggilku, Mas. Agak terasa aneh kalau kamu memanggilku seakrab itu.” “Bukankah hubungan kita sudah berakhir. Kamu juga bukan suamiku lagi, untuk apa aku masih memanggilmu dengan sebutan Mas?” “Kita belum cerai Bella!” hardik Dimas yang mulai tersulut emosi. “Aku enggak akan menceraikan kamu.” Bella berdecak seolah dipermainkan oleh pria yang ada di hadapannya. “Apa kamu lupa sudah menjatuhkan talak untukku?” “Bella, itu terjadi begitu saja. Aku enggak ada maksud buat ceraiin kamu." "Lalu bagaimana dengan mamahmu, bukankan dia memintamu untuk menceraikan aku. Aku pikir orang yang harusnya membelaku, melindungiku dari siapapun termasuk mamahmu sendiri akan mempertahankan pernikahan ini. Namun, nyatanya kamu tidak bisa melakukan apa-apa selain mengikuti apa yang orang tuamu inginkan. Bahkan disaat mamahmu menyuruhmu untuk tidak mengajakku ke acaranya, kamu pun mengikuti ucapannya." "Karena dia orang tuaku. Merekalah yang membesarkan aku dan membiayaiku hingga aku bisa seperti sekarang ini." Bella tertunduk lesu, ia tahu jika mereka adalah orang tua suaminya. Bukankah setelah menikah suami harusnya mendamaikan mertua dan menantu. Bahkan harusnya suami bisa merebut hati orang tuanya agar bisa menerima istrinya dengan baik seperti apa yang mereka lakukan kepadanya. Makanan yang mereka pesan pun datang menghentikan pembicaraan keduanya. Namun, Bella sama sekali tak bergeming dan tak berniat memakan makanan yang sebelumnya sudah ia pesan. "Kenapa kamu enggak makan?" tanya Dimas. Bella terus memperhatikan layar ponselnya yang menyala, terlihat nama Neni di sana. "Terima kasih atas makanannya. Tapi maaf, aku harus pergi." Dima memegang tangan Bella mencegahnya pergi dari sana. "Apa kamu mau menemui pria itu?" Bella mengerutkan dahinya. "Pria, siapa?" "Aku tahu kamu sedang dekat dengan seorang pria. Apa hal ini yang membuatmu ingin bercerai dariku?" Bella tertawa, ia tak menyangka jika mereka akan mefitnahnya dan memutar balikan fakta seolah perceraian mereka adalah salahnya. "Apa sepicik ini pikiranmu. Lanjutkan dengan pikiran jahat kalian terhadapku. Aku enggak peduli." "Bella." Dimas mencoba menghentikan langkah Bella. "Tunggu Bella, aku ingin bertemu denganmu karena ini menyelesaikan masalah kita dengan baik." "Masalah, semua masalah ini ada di kamu. Kamu enggak bisa adil, kamu enggak bisa ngasih batasan buat orang tua kamu enggak ikut campur sama urusan rumah tangga kita." "Mereka ikut campur dengan niatan baik. Mereka ingin menjalankan sesuatunya dengan baik." "Lalu apa perah kamu mengikuti apa yang nasehat orang tuaku. 'Jangan menyakiti putriku. Kalau kamu sudah tidak menyukainya lagi antarkan kepadaku.' Apa kamu lupa?" Dimas menghela napasnya, ia benar-benar lupa dengan semua janjinya kepada ayah Bella dulu. "Bel, kita mulai lagi dari awal ya. Kamu masih cinta kan sama aku, aku benar-benar enggak mau kehilangan kamu?!" Bella menepis tangan Dimas lalu berucap, "Aku masih mencintaimu, meski pun hatiku sakit karena kamu terus membela mamahmu. Pernikahan itu bukan cuma sehari, sebulan atau tahunan. Menikah itu seumur hidup dan aku enggak mau kalau harus terus-terusan tekanan batin karena harus menyampingkan egoku sendiri." Bella memakai helmnya, lalu mengemudikan motornya meninggalkan Dimas begitu saja. Berat rasanya meninggalkan pria yang sudah menemaninya selama lima tahun terakhir dari semenjak mereka berpacaran hingga akhirnya menikah. Namun, ia juga harus tegas kepada Dimas yang tidak bisa menjadi kepala rumah tangga yang bisa mendamaikan kedua belah pihak. "Aku enggak mau terluka lagi," gerutu Bella sembari menangis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN