Tidak ada yang tahu bagaimana sakitnya berada diposisi Bella. Meski terlihat ikhlas, tetapi ia menyimpan banyak luka. Meski rumah tangganya baik-baik saja, tapi Bella tidak bisa menerima sikap Dimas yang selalu membela orang tuanya. Tidak hanya itu, mertuanya juga selalu menyalahkan Bella dan menganggapnya tidak berguna.
Lantas apa lagi yang harus Bella pertahankan? Jika suaminya saja tidak bisa melindungi dan membelanya dari orang tuanya sendiri. Seumur hidup itu bukan waktu yang sebentar, Bella tidak ingin hidup menderita dengan pria yang tidak bisa melindungi dirinya serta mertua yang toxic.
"Bel-Bella."
Bella tersadar dari lamunannya, ia menoleh ke arah Nani yang sedang berdiri sembari memberinya minuman kaleng. "Makasih Nan."
"Sama-sama, lagian kamu bengong aja. Nanti kesambet, loh!"
Bella tersenyum, ada rasa bahagia karena ditengah keterpurukannya masih ada orang yang baik terhadapnya.
“Hari ini aku mau melamar kerja di Cafe yang ada di seberang jalan,” ucap Bella.
“Kenapa kamu enggak ngelamar ke tempat kerjamu yang dulu, bukannya hubunganmu dengan orang-orang di sana masih baik?”
Bella berpikir sejenak, sudah 6 bulan dia resign dari tempat kerjanya dulu. Ia terlalu malu jika harus melamar ke kantornya yang dulu karena dia sendiri yang ingin resign.
“Aku malu. Aku akan mencoba mencari lowongan pekerjaan di tempat lain dulu.”
“Malu kenapa, yang penting saat kamu resign enggak ada masalah sama perusahaan. Ah, harusnya kamu menghubungi ayahmu, bukanya ayahmu punya usaha juga?”
“Enggak deh, kalau mau udah dari dulu kali ngurusin binis ayah. Ayo, Mba mau saya antar kemana?” ujar Bella memberikan helm untuk sahabatnya itu.
“Tolong antar saya ke blok D ya, Mba.”
Keduanya saling melempar senyum lalu naik ke atas motor. Setidaknya Bella masih bisa balas budi kepada Nani karena sudah bersedia menampungnya. Bahkan Nani membebaskan Bella memakai barang-barangnya.
***
Bella menghentikan laju motornya ketika sudah sampai di depan kantor Nani. “Nanti sore pulang jam berapa, aku jemput ya.”
“Ih … so sweet.”
Bella Termangu melihat ekspresi wajah Nani yang bersemu merah. “Aku masih normal,” ujar Bella.
Nani tertawa mendengar ucapan Bella lalu memberikan helmnya. “Nanti aku telepon, jangan langsung ke sini takut aku lembur.”
“Oke.”
Bella mengaitkan helm ke motornya dan bersiap pulang. Namun, saat motornya sudah menyala ponsel Bella berdering. Bella hanya memperhatikan nomor tersebut tak mau mengangkatnya karena nomor tersebut tidak ada di kontak ponselnya.
“Kenapa kamu enggak angkat teleponku?”
“Astaga, kenapa kamu ada di sini?”
Angga mematikan panggilannya, tangannya memegang stang motor Bella lalu berkata. “Ini kantorku, apa kamu kesini untuk menemuiku?”
“E-enggak, aku habis me-” Bella menghentikan ucapannya, jika Angga bekerja di kantor Nani, bisa saja mereka merupakan saling mengenal.
“Sepertinya kamu habis mengantar seseorang. Apa kamu tukang ojek?” tanya Angga sembari menunjuk helm.
Bella menghela napasnya, karena tak ingin berlama-lama berbicara dengan Angga, Bella pun mengiyakan semua yang dia ucapkan.
“Kalau gitu aku pergi dulu.”
“Tunggu,” cegah Angga memegang pedal gas. “Kapan kamu akan mengembalikan sapu tanganku?”
Bela memejamkan matanya sesaat sembari berpikir dimana terakhir kali ia menyimpan sapu tangan milik Angga. “Be-besok. Besok aku akan mengembalikan sapu tanganmu.”
“Oke, tapi aku yang menentukan tempatnya.”
Bella hanya mengangguk, kemudian melajukan motornya menjauh dari sana. Namun, baru beberapa meter ponselnya kembali berdering menunjukan nomor asing tadi yang tak lain Angga. Dengan kesal Bella menepikan motornya lalu mengangkat panggilan Angga.
“Halo, Ara bisakah kamu mengantarku ke rumah sakit. Aku enggak membawa kendaraan dan aku harus segera menemui ibuku yang sedang sekarat.”
Mendengar hal itu, tanpa pikir panjang Bella memutar balik motornya menghampiri Angga yang sedang berdiri di tempat yang sama.
“Ayo,naik. Mau ke rumah sakit mana?”
“Rumah sakit pelita,” jawab Angga sambil memakai helm.
Bella menarik pedal gas mengemudikan motornya dengan kencang. Hanya membutuhkan waktu lima belas menit untuk sampai ke lokasi yang dituju. sesampainya di rumah sakit Angga berlari masuk ke dalam rumah sakit membawa helm Neni yang dia pakai.
“Hei, helmnya!” teriak Bella. Ia lalu memarkirkan motornya kemudian masuk ke dalam rumah sakit mencari Angga.
Matanya melihat ke segala arah mencari sosok Angga, tapi sayangnya batang hidungnya pun tak terlihat.
“Apa dia di ruang UGD?” batin Bella. Ia lalu bertanya ke pengunjung yang ada di sana. “Maaf mau tanya, ruang UGD sebelah mana ya?”
“Di depan belok kanan, itu ruang UGD.”
“Terima kasih.”
Bella berjalan sesuai petunjuk yang diberikan lalu masuk ke ruang UGD. Ia memperhatikan satu persatu ranjang yang ada di sana dan akhirnya ia menemukan Angga yang sedang berdiri sembari memakai helm.
“Maaf.” Ucapan Bella mengalihkan perhatian semua orang yang ada di sana.
“Ara, sedang apa kamu di sini?”
“I-itu, aku mau ngambil helm yang kamu gunakan.”
“Ah, maaf tadi aku buru-buru. Ini helmnya. Oh iya—” Angga merogoh saku celananya mengeluarkan dompet.
“Siapa dia?”
Bella tersenyum ketika melihat seorang nenek-nenek sedang menatapnya. Sedangkan wanita lain baru saja datang, memperhatikan Bella dari ujung kaki hingga ke ujung kepala.
“Oh, jadi ini pacar kamu?” Wanita paruh baya yang tiba-tiba saja memegang bahu Bella dan memutar tubuhnya.
“Bu—.”
“Benarkah, dia alasanku menolak perjodohan yang Mamah rencanakan.” Bella tidak mengerti dengan situasi yang sedang ia hadapi.
Angga tiba-tiba saja merangkul bahu Bella, membuatnya semakin tak mengerti dan berniat mendorong tubuh Angga. Namun, Bella menghentikan apa yang ingin dia lakukan ketika melihat bola mata pria yang ada di hadapannya yang seperti memohon pertolongan kepadanya.
Bella dan Angga saling beradu pandang sebelum akhirnya mereka tertawa bersama. “Maaf aku belum memperkenalkan diri. Namaku Bella, senang bertemu dengan Tante dan Nenek.”
Sesaat Angga terkejut mendengar Ara yang memperkenalkan dirinya dengan nama Bella. Padahal Bella adalah nama aslinya.
“Terima kasih Ar, maksudku Bella sudah mengantarku.”
“Sama-sama, kalau begitu aku pulang dulu. Permisi.” Bella berjalan keluar, tapi langkah kakinya terhenti ketika ia ingat jika harus bayar parkir dan dia lupa membawa dompet.
Bella berbalik lalu berucap, “Em … Angga, bisa ngomong bentar.” Bella terus menyunggingkan senyum sambil menarik baju Angga agar dia menjauh dari mereka.
“Ada apa?” tanya Angga.
“Boleh pinjam uang, aku lupa bawa uang buat bayar parkir,” jawab Bella menahan rasa malu.
Angga lalu mengeluarkan tiga lembar uang seratus ribu. “Ini, sekalian ongkos karena kamu udah nganter aku ke sini.”
“Ini terlalu banyak.”
Angga memegang tangan Bella sambil berkata, “Enggak apa-apa, kalau enggak ada kamu mungkin aku akan telat datang ke sini. Makasih ya Ara.”
Tanpa sepengetahuan Bella seseorang sedang memotret keduanya.