•° Tidak Biasa

1084 Kata
Hiruk-piruk kantin di siang bolong sudah tidak diragukan lagi. Semua murid berbondong-bondong mencari tempat duduk untuk menikmati segelas minuman dingin dan makanan yang tersedia disana. Ganda memasuki area kantin dengan seragamnya yang dikeluarkan. Gaya rambut quiff nya semakin memperjelas aura badboy. Bibir tipisnya membentuk sebuah senyuman tipis ketika menangkap sosok teman sekelasnya, Sofia Reese. Netra gelapnya tak lepas dari Sofi sampai ia mengambil duduk tepat disamping cewek ber-rok pendek itu. “Lunch babe?” sapa Ganda manis. Gadis itu belum juga menoleh. Sofi sedang sibuk menyesap jus stroberi dari gelasnya. Melihat itu Ganda mendekatkan bibirnya tepat di depan telinga Sofi. “Mau sedot yang lebih enak gak?” mendengar bisikan itu, Sofi menoleh. Hidung keduanya bertemu karena tidak ada yang berniat menjauh. Ganda yakin, cewek ini sebentar lagi akan mengamuk padanya. Yeah, Sofi paling tidak suka sedekat ini dengannya. Apalagi kali ini? Tamparan keras mungkin? Tetapi tanpa disangka-sangka, gadis itu malah memberi senyuman cantik padanya. “Boleh. Mau kapan?” Sofi berdiri dihadapan Ganda dan memeluk leher cowok itu. Sesekali tangan putih mulus itu memainkan rambut hitamnya. Tidak hanya Ganda yang dibuat terkejut. Angel dan Vani sampai melongo memperhatikan keduanya. Mencoba biasa, Ganda mengikuti permainan. Ia sedikit menengadah agar bisa membalas tatapan mata Sofi. “Kapan kamu kosong? Kalo buat kamu, aku siap 24 jam.” balasnya dengan tangan yang merambat ke kaki Sofi bahkan ujung jarinya tak terlihat lagi tertutup rok yang dikenakan cewek itu. Sofi melirik kelakuannya, tapi sekali lagi dugaan Sofi akan murka segera lenyap. Gadis itu menundukkan wajah dan memberikan kecupan di hidungnya. Sofi menyentuh bibir Ganda seduktif dengan telunjuk sambil menatap kedalam netra hazel-nya lalu berkata, “Kalo yang ini private ya.” gadis itupun pergi meninggalkan Ganda dengan tangan yang melemas seketika. “Cie Ganda. Akhirnya disambut juga sama gebetan.” goda Vani, Angel pun ikut terkekeh. Lain antusias keduanya, Ganda justru masih membisu. Matanya lantas menuju arah lurus dan bertemu tatap dengan netra seorang gadis. Netra cokelat yang saat ini tersirat banyak tanya. ••• Sofi berjalan melewati koridor yang nampak ramai oleh siswa-siswi yang lainnya. Ada yang tengah duduk-duduk di depan kelas sambil berbincang, suara-suara mereka terdengar riuh tumpang tindih yang diselingi tawa besar entah milik siapa. Juga beberapa laki-laki yang sedang bermain futsal sibuk memperebutkan bola. Dari semua yang mereka lakukan, bermain futsal adalah yang paling Sofi benci. Terlebih di tengah hari yang sinar mataharinya terik menyilaukan. Setiap orang memang berbeda-beda, ya. Tapi yang pasti, Sofi sedang menikmati permainan yang melibatkan dirinya, Ganda dan si Mak Lampir Inge. Bukan tentang menggosipkan artis kondang maupun selebgram yang terkenal, bukan pula hobi olahraga panas-panasan. Ini lebih menyenangkan bagi Sofi. Terlebih perannya sangat menarik. Inge si fake protagonis yang berniat mengelabui, justru terkena batunya. Lihat saja ekspresi si tokoh pria di kantin tadi. Haha. Ingin rasanya Sofi tertawa sekencang-kencangnya. Sofi dilawan! Tiba di kelas, Sofi mendorong pintu yang ditutup dan ia dihadapkan dengan Sachio dan teman-temannya yang sedang melingkar bermain kartu poker di sudut kiri kelas. Ckckck. “Main berapa duit lu pada?” tanya Sofi sembari menarik bangku paling depan dan duduk didekat Sachio yang baru saja mengambil kartu. “Gocap Beib. Kenapa? Mau join?” “Idih, ogah. Gak level gue main gituan.” cibir Sofi membuat cowok-cowok disana menyungging senyum kecil. “Gitu tuh cewek. Prosesnya gak mau tau. Giliran dikasih duit, langsung sikat.” “Ya prosesnya yang gimana dulu? Kalo kaya lo gini, ogah lah cewek juga. Terlebih kalo ceweknya gue. Sorry, dosa gue udah banyak. Gak ngemis gue minta nambah.” “Iya paham, Sof. Lo kan maunya proses yang enak-enak. Bikin anak contohnya.” celetuk Sachio mengundang tawa dari semua teman-temannya. “Bisa aja lo, Nyo.” Sachio menjelingkan matanya pada orang yang barusan berkomentar. “Manggil gue gitu sekali lagi gue botakin lo.” kali ini tawa Sofi paling kencang. “Dia udah botak kali, Yo.” tutur gadis itu sambil duduk mengangkangi bangku kayu dengan kedua tangan ditumpukkan diatas punggung kursi. “Emang panggilan kecil lu Senyo kan?” “Iya udah terima aja kali, Yo. Si Bondan kan temen lo dari kecil.” tambah Sofi lagi. Malas meladeni, Sachio pun memilih berkutat fokus dengan kartu ditangannya. Wajah Sachio dan dua cowok lainnya berubah masam saat Bondan memperlihatkan kartunya. Puk “Anjimlah!” umpatnya setelah membanting kartu miliknya. Tatapannya muram pada Bondan yang mengantongi uang 200 ribu dengan pecahan campuran itu. Sachio menyandarkan punggung pada kursi yang diduduki Sofi. Menengadah, Sofi pun menunduk membalas matanya menyiratkan tanya. “Anter gue kantin yok!” “Orang gue dari kantin.” tolak Sofi. “Ayolah Beib,” “Males, ah. Capek lagian jalan kesononya.” “Tch. Lo mah, ama gue juga. Entar gue beliin tas deh.” Sofi masih menimbang. Lumayan juga. Tapi, Sofi kembali bergeleng. “Tetep enggak. Emang lo pikir gue cewek apaan?” “Bispak.” mendengar ucapan kurang ajar itu Sofi menurunkan tangannya menjambak kuat rambut hitam Sachio. Refleks Sachio berteriak kesakitan. Bahkan diakhir ia dihadiahi cubitan lama dibahunya. “Mulut lo minta di Yasinin banget ya!” “Sakit anjir! Sadis lo!” protesnya setelah bangkit berdiri sambil mengelusi bekas cubitan gemas Sofi. “Ya makanya jangan kurang ajar.” “Heleh, buktinya waktu gue 'kurang ajarin' lo merem melek juga keenakan.” Sofi melotot dan turut bangun dari duduknya. “Itu karena status lo pacar Mak Lampir. Kalo enggak, ogah banget dipegang-pegang cowok jelek kaya lo!” Sofi menampik keras. Sekata-kata banget tuh, cowok! “Kalo Inge Mak Lampir, lu Nenek Lampir nya Sof.” sesudah berkata demikian, Sachio langsung berlari keluar kelas karena sangat yakin ucapannya barusan berhasil memancing singa betina yang sedang marah. Makin menjadilah Si Singa. “SACHIOOO! Sini gak lo!” benar saja, baru sedetik dia kabur Sofi sudah ikut berlari mengejarnya. Hingga akhirnya Sofi mengikuti tujuan Sachio yaitu ke kantin. Jadilah ia tanpa sadar menyanggupi ajakan cowok itu. Dasar licik. “Mau pesen apa? Biar gue traktir.” melirik cowok itu kesal, tapi Sofi tak bisa bohong kalau saat ini dirinya butuh minuman dingin yang menyegarkan. “Es teh manis aja.” “Okey. Lo gabung duluan sama Angel sama Vani. Biar gue yang beli.” Cup Sofi sudah bergerak hendak melayangkan pukulan. Namun Sachio sudah berlari gesit membuat Sofi mau tak mau hanya bisa menggerutu ditempatnya. Cewek itu merajut langkah ke meja dimana kedua temannya masih berada. “Lo kok, balik lagi?” tanya Vani melihat kehadiran Sofi. Mimik mukanya yang tertekuk membuat Angel entah kenapa geli melihatnya. Belum lagi tangan Sofi yang bergerak mengusap disertai menekan pipi kanannya. “Nggak usah peduliin gue. Lo berdua lanjut gosip aja.” ujarnya ketus. Angel dan Vani pun saling memandang, kompak mengangkat bahu sekali lalu melanjutkan obrolan mereka yang sempat terpotong. Bola mata Sofi yang tengah mengedar ke sekeliling kantin tanpa sengaja menangkap keberadaan Inge. Tak berapa lama Ganda terlihat mendekat, dan ketika bersisian dengan meja yang diduduki Inge, cowok itu meletakkan kaleng softdrink di depan cewek itu sambil lalu. Cih. Sok, romantis. Sofi mencibir didalam hati. Tapi dipikir-pikir, kok bisa Sofi tidak sadar selama ini dirinya ditipu habis-habisan oleh kedua orang itu, ya? Padahal jika dia teliti, mungkin saja dia bisa melihat gerak-gerik mencurigakan seperti yang dilakukan Ganda barusan. Tapi... Sudahlah. Namanya juga kebohongan. Mau serapih apapun disimpan, pasti akan terkuak juga. Seperti sekarang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN