•° Boleh +

996 Kata
Inge Anatasha terkenal di sekolah karena kecantikan dan sikapnya yang baik. Ia selalu terlihat tersenyum ramah bila ada yang menyapanya meskipun ia sendiri tidak mengenal orang itu. Dia juga gemar membantu orang lain tanpa segan. Itulah alasan kenapa banyak laki-laki yang tertarik dan ingin menjadikannya sebagai pacar. Berbanding terbalik dengan Sofia Reese. Gadis beralis tebal rapi itu justru lebih banyak mendapat hujatan karena tingkah lakunya. Ia sering kali terlihat mojok dengan cowok berbeda di tempat yang sepi. Bahkan tak jarang ia berkumpul dengan kumpulan anak-anak bandel di sekolahnya di warung basecamp mereka selepas sekolah. Dan lingkup tukang mabok, balapan liar, Ganda Suaka termasuk didalamnya. Itulah kenapa sampai sekarang Sofi masih tak menyangka bahwa Inge mau-maunya menjadi pacar Ganda. Tapi belum tentu juga sih. Bisa jadi justru Ganda yang salah memilih. Tch. Kenapa dia jadi memusingkan hal tidak berguna? Bodo amatlah. Mau apapun itu, yang penting ia harus berhasil merebut Ganda. Kalau bisa, ia akan buat sampai cowok itu jatuh cinta sejatuh-jatuhnya sama dia. Biar bucin sekalian! Kringg... Kringg... Kringg... Bel pulang baru saja menggema. Seluruh siswa sontak berhamburan keluar tuntas guru memberi salam pamit. Angel dan Vani yang mendapat kode dari Sofi untuk pulang duluan segera mengerti. Meninggalkan kelas yang tersisa ia dan Ganda. Dengan otak yang memuat akal bulus cewek itu menghampiri tempat Ganda yang berada tepat disamping mejanya. “Ga, mau jalan gak? Aku kalo pulang pasti gak ada kerjaan. Bete. Temenin ya?” pintanya terselip rengekan manja. Ganda menatap Sofi dengan tatapan sulit diartikan. Perangai gadis itu benar-benar membingungkannya. Hampir semenit terdiam, Ganda pun bangkit dan memeluk pinggang Sofi lembut. “Emang kamu mau kemana?” Sofi tersenyum senang. Ia memainkan mata dan bibir seperti berpikir. “Uhm... mol aja deh. Brand kesukaan aku soalnya punya koleksi terbaru.” “Ya udah, iya.” jawab Ganda dengan senyuman. “Tapi entar mampir butik bentar, ya. Aku gak bawa baju ganti. Kalo kamu sih, aku tau pasti bawa.” Ganda memicingkan mata padanya. “Kok kamu tau? Suka ngintip ya?” Ganda menjawil hidung mancung Sofi. Gadis itu tertawa kecil. “Ish, enak aja. Kamu lupa kita sering ketemu di basecamp? Aku suka liat kok kamu sama yang lainnya kalo kumpul gak suka pulang dulu. Tapi kalian udah pake baju bebas aja.” Ganda menarik ujung bibir kebawah mengejek ungkapan Sofi. “Udah ayo, ah!” menggandeng tangan Ganda, merekapun pergi ke tempat yang Sofi inginkan. Mengenai ucapan Vani tempo hari tentang Ganda yang tajir, kini Sofi membuktikannya sendiri. Dari mulai baju yang ia beli di butik—yang harganya lumayan—hingga brand yang ia maksud—yang kali ini bertotal fantastic—karena ia mengambil tidak hanya satu buah. Tapi banyak. BANYAK. Semua itu terpenuhi dari kantong Ganda. Didepan kasir yang sedang menggesek card milik Ganda, Sofi menyempatkan diri melirik cowok disampingnya itu dari ujung mata. Kalau dilihat-lihat, boleh juga. Sofi terkikik geli oleh pemikirannya sendiri. Mereka berdua berlanjut bermain di timezone dengan mencoba beberapa permainan termasuk mencoba ber-karaoke yang hanya berlangsung satu lagu karena suara Sofi yang fals. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Merekapun memutuskan pulang. Ganda terlebih dahulu mengantarkan Sofi yang ternyata tidak tinggal disebuah rumah melainkan di apartemen yang terkenal mahal. “Kamu gak mau main dulu?” Ganda menoleh mendapat pertanyaan itu. Meskipun dia anti Sofi, tapi dia tetap laki-laki normal yang punya hasrat. Menelan saliva kasar, ditatapnya Sofi intens. “Emang boleh?” tanyanya yang langsung diangguki gadis itu. Sofi menutup pintu apartemennya setelah Ganda ikut masuk. Menurut insting Ganda mengedarkan pandang melihat-lihat kondisi apartemen gadis itu. Ruangan yang termasuk besar untuk ukuran sendiri itu memang tidak diragukan. Tidak hanya mewah, tapi juga nyaman dan lengkap. Interiornya minimalis modern dan santai. Semua dinding berwarna putih dan dilengkapi ruang TV yang juga terlihat rapi. “Aku ambil minum dulu.” Sofi berlalu ke dapur setelahnya. Sebenarnya banyak pertanyaan yang kini hinggap dibenak Ganda. Yang paling besar adalah perubahan sikap Sofi. Menit berikutnya Sofi kembali dengan gelas bening berisi sirup segar. Sofi duduk disamping Ganda. Kini wajah cowok itu tidak seperti biasanya yang selalu tengil jika bertemu Sofi. Wajah tampan itu datar, dengan tatapan tak terartikan. “Kenapa lo tiba-tiba gini sama gue?” ucap Ganda to the point. “Tiba-tiba gimana?” balik Sofi bertanya. Jelas ia mengerti maksud Ganda. Tapikan, Sofi sedang memainkan perannya. “Gue tau lo ngerti maksudnya.” “Kalo gue bilang gue suka sama lo, emang lo bakal percaya?” Ganda mengikuti dengan matanya Sofi yang beringsut hingga duduk menghadapnya dipangkuannya pula. Ganda menggeleng sebagai jawaban. “Yaudah.” Hening. Hanya detak jarum jam yang melatari dua insan yang tanpa sadar semakin lama semakin memangkas jarak hingga bibir keduanya saling bertemu. Awalnya pertemuan itu hanya mengecap pelan, membiasakan. Hingga lumatan demi lumatan dilakukan dari dua pihak sama rakusnya. Tangan tak hanya tinggal diam, Ganda mencoba melepas sweater pink yang melekat ditubuh Sofi dengan segera. Saat berhasil ia langsung menidurkan gadis itu ke sofa yang mereka duduki dan mengukungnya. Pergulatan bibir kembali terjadi antar keduanya. Sofi menarik rambut lelaki diatasnya lumayan kuat ketika merasa butuh menarik napas. Mengerti, Ganda pun melepaskan bibirnya. Napas keduanya saling memburu. Ganda menatap gadis dibawahnya yang sudah tak berbaju. Hanya meninggalkan bra hitam yang begitu kontras dengan kulit porselen nya. Sesaat Ganda tersadar akan sesuatu. Cowok itu lantas duduk dan menyugar rambutnya frustasi. Ini salah. “Lo pacarnya Inge kan? Ah, bukan. Tepatnya real boyfriend nya? Right?” Ganda cepat menoleh pada gadis yang entah sejak kapan sudah duduk kembali disampingnya. “Kenapa? Kaget gue tau rahasia kalian? Huh! Pantes aja ya, tuh cewek gak pernah buka topengnya secara langsung di sekolah. Ternyata bukan karena dia cinta sama cowok-cowok itu, tapi, karena ternyata pacar sesungguhnya itu jauh dari pengetahuan gue. Tapi itu dulu, sebelum gue udah smart kayak sekarang. Orang jahat emang otaknya cerdas banget. Ckckck.” “Siapa yang lo maksud jahat?” “Inge. Kenapa? Lo marah? Lo marah gue bilang cewek lo jahat?” cecarnya banyak melihat raut Ganda yang berubah dingin. Sofi sudah bersiap menerima kemarahan Ganda yang mungkin sebentar lagi meluap. “Siapa yang marah sih, hm? Aku justru seneng. Karena kamu udah tau, artinya kamu maukan jadi pacar aku?” alis Sofi menaut curam. Ini diluar dugaan. Tapi tak apa, Sofi akan mengikuti rencana Ganda yang seperti masih berusaha menutupi hubungan sebenarnya antara dirinya dan Inge. Sofi menahan tangan Ganda yang sudah berhasil menurunkan sebelah tali bra-nya. Saling menyorot manik mata lawan intens, Sofi menurunkan tangan Ganda sambil berkata, “Biar aku aja.” Gelap.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN