Nathan memilih bahan-bahan masakan yang akan dimasak nanti, solah sudah hafal di luar kepala apa-apa saja yang dibutuhkan dan harus dibeli. Sementara Zefanya, perempuan itu mengekor langkahnya di belakang.
"Bapak sebenarnya mau saya memasak apa? Kenapa banyak sekali daging serta sayur yang Bapak beli?" tanya Zefanya hati-hati. Tampaknya, gadis itu tidak tahan untuk menyuarakan isi kepalanya yang terus mendesak sejak tadi.
"Apa saja," Nathan membalas ringan. "Saya membeli banyak sekalian untuk persediaan di rumah."
Zefanya hanya mengangguk singkat. Itu artinya, dia akan lebih sering memasak. Ah, memang seharusnya begitu, bukan? Dia berkewajiban menyiapkan makanan yang sehat untuk boss-nya.
"Katanya, Bapak sempat drop karena tensi darah Bapak rendah, ya?" Zefanya mensejajarkan langkah dengan boss-nya, sambil mendorong troli untuk belanjaan mereka. "Berarti, Bapak harus makan makanan yang bagus untuk menaikkan tekanan darah. Brokoli misalnya," ujar Zefanya. Ia berjalan ke arah sayuran yang dimaksud dan memasukkan beberapa ke dalam troli.
"Eits, jangan membeli wortel!" sergah Nathan, ketika Zefanya hendak mengambil beberapa wortel segar yang tampak besar dan menggiurkan.
Zefanya seketika menghentikan gerakannya. Dia terdiam di sana, tiba-tiba mengingat akan sesuatu. Lalu, senyum tipis hadir di wajah ayu perempuan itu. "Aku kira, orang yang akhir-akhir ini aku temui adalah orang lain. Ternyata, itu masih kamu," monolog Zefanya, begitu pelan. Namun samar-samar, Nathan jelas mendengar suaranya.
"Apa yang kamu katakan barusan?" tanya Nathan.
Zefanya menggeleng. Kemudian menoleh pada pria itu dengan senyum yang begitu lebar. "Anda sudah dewasa. Jadi seharusnya tidak memilih-milih makanan," ucapnya. Mengambil wortel-wortel segar barusan dan meletakkannya ke dalam troli.
Nathan yang ia kenal dulu juga membenci wortel. Saat Zefanya memaksanya meminum jus wortel demi kesehatan matanya agar membaik, Nathan akan menolak mentah-mentah. Dan Zefanya, sangat senang membuat Nathan ngambek di kala itu.
"Kembalikan itu ke tempat semula!" Nathan menunjuk trolinya. Terkejut karena Zefanya memasukkan cukup banyak wortel di sana.
Zefanya sama sekali tidak menuruti perkataan Nathan. Alih-alih mengembalikan sayuran itu ke tempat semula, Zefanya justru melenggang pergi, mendorong trolinya sebelum Nathan bertindak. "Tidak. Anda harus memakannya. Saya akan membeli banyak sayuran dan buah yang bagus demi kesehatan Anda, Pak," katanya sambil lalu.
Di belakang, Nathan menyugar rambut dengan frustrasi. "Saya tidak suka wortel, Zefanya!" pekiknya. Sukses memancing orang sekitar untuk menoleh. Buru-buru Nathan berjalan ke hadapan Zefanya dan menatap perempuan itu bengis.
"Saya tahu," Zefanya menjawab tenang.
Nathan seketika bergeming. Matanya bertemu dengan mata cantik milik Zefanya. Terdiam, saling mengunci. Lewat tatapan itu, keduanya seolah sama-sama menemukan diri mereka di masa lalu. Menemukan sesuatu yang sebelumnya mereka kubur. Kenangan, waktu, masa lalu, dan perasaan yang belum usai.
"Seberapa pun kamu berusaha berubah, pasti ada beberapa hal yang masih sama seperti kamu beberapa tahun lalu. Seseorang tidak akan berubah secara total," jelas Zefanya. Kali ini pun, Zefanya menunjukkan jati dirinya yang beberapa tahun belakangan berusaha ia tenggelamkan.
Nathan berusaha membebaskan dirinya dari jeruji kenangan yang menjebak. Laki-laki itu mengedipkan mata, menarik dirinya dari lamunan. "Saya atasan kamu sekarang. Seharusnya kamu menuruti perkataan saya," tandas Nathan tajam.
Zefanya mengubah raut wajahnya yang serius menjadi lebih tenang. Perempuan itu mengukir senyum manis, melenyapkan Zefanya yang barusan menguasai dirinya.
"Dan saya asisten yang Nyonya Dara utus untuk mengatur segala hal termasuk makanan untuk Anda, agar Anda tidak drop lagi seperti sebelumnya. Jadi, saya berhak menentukan apa yang boleh dan tidak boleh Anda konsumsi, selama hal itu tidak membahayakan Anda," ungkap Zefanya panjang lebar.
Sekali lagi Zefanya tersenyum manis. Lalu melenggang pergi seraya mendorong trolinya. Sementara Nathan, ia kalah telak. Rupanya, sifat seseorang memang tidak bisa diubah. Benar kata Zefanya, seberapa pun seseorang berubah, pasti ada beberapa hal yang masih sama. Dan sifat adalah satu dari beberapa hal yang sulit diubah dari seseorang.
Zefanya ... masih sama. Dia masih seperti Zefanya-nya yang dulu. Zefanya yang pernah dia cintai. Atau mungkin, masih hingga detik ini?
***
Zefanya sudah meletakkan seluruh belanjaan di belakang. Menutup telinga dari setiap omelan yang terus Nathan katakan. Toh, semua juga untuk kebaikannya sendiri. Ini juga bagian dari kewajiban Zefanya sebagai asisten pribadi yang diharuskan memastikan kesehatan pria itu.
"Kamu saja yang makan semua wortel dan buah pisang itu. Saya lebih baik hanya makan mie instan," gerutu Nathan, masih saja mempermasalahkan perihal wortel serta satu lagi yang dia benci; pisang.
"Saya akan mencari berbagai cara agar Pak Nathan mau memakannya," tandas Zefanya santai. Sama sekali tidak terintimidasi dengan perkataan lelaki itu.
"Terserah. Saya tetap tidak mau memakan buah dan sayur itu."
Zefanya tersenyum tipis dibuatnya. "Baiklah. Lihat saja nanti."
Perjalanan dari supermarket ke rumah seharusnya tidak menghabiskan waktu lama. Namun karena tadi hujan deras dan terjadi kecelakaan lalu lintas di depan, jalanan menjadi macet.
Nathan melirik Zefanya yang duduk di sisinya. Sejak beberapa saat lalu, tak terdengar suara apa pun dari perempuan itu. Ketika menoleh, rupanya Zefanya terlelap.
Nathan menyoroti rambut panjangnya yang basah, serta kemeja tipis yang dibalut oleh outer berwarna cokelat muda. Nathan sadar, dia sudah bersikap kasar pada Zefanya. Dia berpikir, kekecewaan masa lalunya akan sedikit membaik jika dia membuat Zefanya menderita. Tapi jauh dalam lubuk hati, Nathan tahu, bahwa dirinya tidak bisa melakukan itu. Dia masih peduli pada Zefanya.
Nathan melajukan mobilnya ketika jalanan kembali normal. Tak butuh waktu lama, akhirnya ia tiba di depan rumah. Diliriknya kembali Zefanya yang masih terlelap. Belum ada tanda-tanda perempuan itu akan bangun.
Nathan berdeham keras, agar Zefanya terbangun. Benar saja, dengan lekas Zefanya membuka mata dan menatap Nathan panik.
"Maaf, Pak, saya ketiduran barusan karena terlalu capek. Ada apa, Pak? Bapak flu?" Zefanya mengucapkan semua kalimat itu dengan satu tarikan napas.
Nathan memicing menatap perempuan tersebut. "Kamu pikir hanya kamu yang kelelahan?" ia bertanya skeptis. "Saya jauh lebih lelah dari kamu. Dan lagi, di sini saya atasan kamu, tapi kenapa sepertinya saya merasa terbalik, ya, saat ini?"
"Maafkan saya, Pak." Zefanya memasang raut sesal. Ia merasa bersalah atas ketidakmampuannya dalam menyetir kembali. Memegang kemudi membuat Zefanya kalut. Dia tidak ingin menyakiti siapa pun lagi atas kelalaiannya.
"Sudahlah. Berapa kali kamu meminta maaf hari ini?" gerutu Nathan. Ia lalu terdiam, mengingat satu hal, bahwa ... dulu, Zefanya pantang meminta maaf jika ia tidak salah. Zefanya keras dan teguh. Tapi sekarang, entah kesalahannya atau bukan, entah kesalahan kecil atau besar, Zefanya akan meminta maaf lebih dulu. Sifat perempuan itu terkadang begitu familier, tetapi di sisi lainnya juga begitu asing.
"Bawa semua belanjaan ke rumah, lalu siapkan pakaian untuk saya. Saya ingin mandi segera," titah Nathan. Lekas turun dari mobil dengan langkah-langkah panjangnya.
Sementara Zefanya, ia menghela napas dalam. Melirik pada arah kepergian Nathan.
"Demi Tuhan, dia adalah boss paling rewel dan menyebalkan yang pernah aku layani," gerutu Zefanya, mengusap wajahnya dengan kasar.
Hari ini begitu melelahkan. Rasanya, kaki Zefanya membengkak sampai seperti menjadi kaki gajah. Belum lagi tubuhnya menggigil karena kehujanan saat membeli payung. Sungguh, Zefanya akan memberikan penghargaan khusus pada dirinya sendiri jika dalam kurun waktu beberapa hari ke depan ia tidak tumbang.
Zefanya turun dari dalam mobil. Kali ini, hujan hanya tinggal gerimis-gerimis halus. Tapi tetap saja, udara menjadi terlalu dingin karenanya. Ia mengangkut belanjaan ke dalam rumah. Cukup berat hingga Zefanya merasa benar-benar keram mengangkut barang tersebut ke dapur yang jaraknya cukup jauh. Lagi pula, rumah Nathan sudah seperti istana, yang jarak dari satu ruangan ke ruangan lainnya bahkan bisa membuat Zefanya seperti baru melakukan lari maraton.
Selesai menata sayur dan buah serta bahan masakan lain di tempatnya, Zefanya lekas pergi ke kamar Nathan. Memaksakan diri agar tetap berjalan lurus meski ia sungguh ingin merobohkan diri pada detik itu juga. Karena Nathan pasti akan selesai sebentar lagi. Jika Zefanya tidak lekas menyiapkan bajunya, lelaki itu pasti akan kembali mengomel.
Zefanya menyiapkan dalaman, sebuah celana pendek berwarna mocca, dan kaus hitam. Kemudian menyimpan itu di sisi ranjang king size-nya. Barulah ia keluar, terlebih saat terdengar suara langkah Nathan di dalam. Tampaknya pria itu sungguh selesai mandi. Zefanya tidak ingin menyaksikan tubuh pria itu untuk ke sekian kalinya. Karena itu, masih memalukan.
Banyak untungnya Dara memindahkan kamar Zefanya menjadi di samping kamar Nathan. Selain tempatnya lebih luas dan nyaman, Zefanya tidak perlu lagi berjalan jauh hanya untuk menemui kasur miliknya dan merobohkan diri di atas kasur tersebut.
"Ah, aku merasa akan mati sekarang. Jadi, biarkan aku terlelap sebentar." Zefanya bergumam serak.
Tubuhnya seakan diempas dari ketinggian berpuluh-puluh meter, begitu sakit dan lelah. Belum lagi kepalanya yang berdenyut nyeri. Namun begitu ingat jika Nathan bisa memanggilnya kapan saja mengingat kamar mereka bersisian, Zefanya kembali menegakkan tubuh. Diliriknya pintu kamar dengan horror, lalu lekas-lekas mengambil handuk dan menyelonong masuk ke dalam kamar mandi.
Hidup Zefanya sudah terikat selama 24 jam penuh bersama boss-nya. Dia tidak memiliki kebebasan untuk istirahat, makan, dan melakukan hal lain sesuai kehendaknya jika Nathan belum tidur. Ah, malang sekali nasibnya.
***
Untung saja, Zefanya mengurungkan niat untuk terlelap dan lekas mandi. Jika tidak, ia mungkin akan kembali mendapatkan masalah. Nathan sudah berteriak-teriak di depan kamar, menyuruhnya lekas memasak karena kelaparan. Padahal, Zefanya baru saja selesai mandi dan belum sempat berpakaian sama sekali, apalagi dengan persiapan lain seperti memakai pelembab wajah dan bibir atau sekadar menyisir rambut? Zefanya rasa, ia tidak akan sempat melakukan itu semua.
"Beri saya waktu untuk berpakaian lima menit, Pak!" pekik Zefanya di dalam kamar.
"Tiga menit, tanpa penawaran apa pun lagi!" Nathan membalas dengan suara keras di luar.
"Dasar menyebalkan dan bossy. Jika aku tidak membutuhkan biaya untuk pengobatan Ibu, aku pasti akan resign di hari pertama kerja." Zefanya menggerutu sepanjang memakai pakaian. "Apanya yang Boss rendah hati dan murah senyum seperti malaikat? Aku pikir justru, dia sedang cosplay menjadi seorang iblis."
"Sepuluh detik lagi. Cepat!" Suara Nathan kembali terdengar menginterupsi di luar.
"Aihs. Dia benar-benar menghitung waktunya?!" pekik Zefanya tak habis pikir. Dia baru saja selesai mengoleskan pelembab bibir. Persetan dengan pelembab wajah. Buru-buru Zefanya mengambil ikat rambut dan berlari keluar dari kamar sebelum si cerewet Nathan kembali membuat telinganya pengang.
"Kamu telat tiga detik!" tuding Nathan begitu Zefanya membuka pintu dan berdiri di depannya.
"Saya minta maaf, Pak." Dan kata sialan itu, lagi-lagi harus keluar dari mulut Zefanya.
Nathan memutar bola mata dengan malas. "Besok sepertinya saya harus menghitung berapa kali kamu meminta maaf. Jumlahnya sama dengan kesalahan yang kamu perbuat dalam sehari," ujarnya. Melenggang santai turun menuju lantai bawah. Dan Zefanya, nyaris saja melemparkan pot bunga pada pria itu. Untung Zefanya masih cukup waras untuk menahannya.
"Tunggu apa lagi? Kamu akan terus berdiri di sana sampai pagi dan menyaksikan saya tewas karena kelaparan?" Nathan menoleh tak lama kemudian.
Zefanya lantas berjalan cepat menyusul pria itu turun. Segera mengambil alih dapur. Tidak lupa ia menyiapkan pisau dan memakai celemek sebelum mulai. Sementara rambutnya yang masih setengah basah ia gelung dan mencepolnya secara asal.
Pemandangan Zefanya yang tengah menggelung rambut jelas tak lepas dari perhatian Nathan. Jantungnya seketika berdebar begitu keras, saat sekelebat kenangan muncul di benak.
"Jangan ikat rambut kamu terlalu tinggi." Nathan berkacamata menarik ikat rambut dari rambut Zefanya, kekasihnya.
Zefanya jelas saja menatap Nathan tak percaya. "Gerah, Nathan!" ia memekik, tidak terima Nathan menyita ikat rambutnya tersebut.
Nathan menggeleng saat Zefanya hendak mengambil kembali benda tersebut. "Memang tidak ada cara lain?" dia bertanya. Jantungnya masih memompa darah dengan keras karena pemandangan barusan terlalu dekat. Pemandangan yang tidak pernah aman untuk dirinya atau pun pria normal lain.
"Kamu punya cara selain itu?" Zefanya balik bertanya skeptis. Nathan menggeleng polos sebagai jawaban. "Ya sudah, berikan ikat rambut itu padaku!"
Nathan terdiam. Di halaman rumah Zefanya yang luas, mereka hanya berdua. Ditemani desau angin yang sama sekali tidak memberi efek apa pun, karena udara tetap saja panas. Langit yang mulai gelap. Buku-buku yang dipenuhi dengan gambar-gambar arsitektur bangunan berserakan. Pekerjaan yang ia dan Zefanya kerjakan sejak siang tadi.
"Ze," panggil Nathan. Ketika Zefanya menoleh ke arahnya, Nathan lekas mendaratkan bibirnya di atas bibir Zefanya.
Ini salah Zefanya. Ia terlalu cantik sehingga Nathan begitu ingin memilikinya. Ini salah Zefanya. Ia terlalu mempesona, membuat Nathan yang polos kini terpikat amat dalam pada sosoknya.
"Jangan mengikat rambut kamu seperti ini di depan orang lain," gumam Nathan, melirih.
Nathan kemudian menjauhkan wajahnya kembali. Gugup. Dadanya naik turun, sementara ia sendiri tampak kesusahan mengontrol detak jantungnya.
"Barusan itu apa?" tanya Zefanya tiba-tiba.
"Apa?" Nathan balik bertanya dengan polos.
"Kamu mencium aku?" delikan heran muncul di wajah ayu Zefanya.
Kedua pupil mata Nathan melebar. "Y-ya," terbata dia menjawab.
Zefanya seketika tersenyum mendengar jawaban Nathan serta wajahnya yang jelas tampak begitu merah. "Bukan begitu caranya mencium, Nathaniel. Tapi seperti ini," gumam Zefanya. Kini, giliran ia yang mendaratkan bibirnya di atas bibir lembut Nathan. Sampai Nathan mematung terkejut karena hal itu. Terlebih, saat bibir Zefanya tidak hanya diam, melainkan bergerak memagut bibirnya dengan lembut. Membangkitkan desiran aneh, serta debaran hangat di dadanya Nathan.
Itu kali pertama untuk Nathan. Ciuman pertama yang debarannya masih terasa hingga sekarang.
***