11. Hujan dan Kenangan

1587 Kata
Zefanya berjalan dengan rusuh seperti biasa, sebab ia harus mengimbangi langkah lebar Nathan. Tentu saja langkah mereka tidak imbang sehingga Zefanya harus bergerak lebih cepat. Nathan memiliki tinggi lebih dari 180 sentimeter, sementara Zefanya? Hanya sekitar 163 sentimeter! Bayangkan sejauh apa perbedaan tinggi mereka. Ah, benar-benar. Hari ini sungguh melelahkan untuk Zefanya. Hampir seharian Zefanya berjalan mengikuti Nathan yang melakukan survei ke beberapa tempat untuk pembangunan properti miliknya. Berjalan melalui jalanan yang kumuh dan becek. Melihat lahan-lahan kosong dengan sinar mentari yang terik sampai membakar kulitnya. Dan kini, kakinya terasa nyaris mati rasa. "Saya sudah memesankan meja di restoran langganan Anda, Pak," gumam Zefanya, ketika masuk ke dalam mobil Nathan. Hari sudah mulai gelap ketika Nathan memutuskan meninggalkan area yang katanya akan dibangun menjadi apartemen mewah oleh perusahaannya. Bukan karena hari sudah menjelang malam, melainkan karena langit mendung hari ini. Sekarang bahkan belum genap jam 5 sore, namun awan sepenuhnya kelabu. "Batalkan saja," titah Nathan. Zefanya seketika menoleh dengan sebelah alis terangkat bingung. "Apakah ada janji makan malam dengan klien? Di jadwal Anda sepertinya tidak ada." Wanita itu bertanya karena sungguh tidak ada jadwal makan dengan siapa pun setelah ini. "Saya ingin makan malam di rumah," gumam Nathan. Menjawab pertanyaan Zefanya dengan lugas. Zefanya lantas membuka sedikit mulutnya, paham. "Ah, baiklah. Kalau begitu, saya akan menghubungi restoran untuk memberi informasi bahwa makanannya akanㅡ" "Saya ingin memakan makanan rumahan. Bukan makanan yang dibeli di restoran," sergah Nathan segera, memotong pembicaraan Zefanya. Zefanya geming sesaat mendengar jawaban itu. "Maksudnya, saya yang memasak?" ia menunjuk dirinya sendiri dengan kedua bola mata membulat. Nathan lalu menatapnya dengan skeptis. "Apakah harus saya?" Nathan tanya. Raut mukanya benar-benar tidak bersahabat. Zefanya menggaruk keningnya yang tak gatal. "Ah, iya. Maafkan saya. Saya akan memasak untuk Anda." Akhirnya, Zefanya hanya bisa mengatakan kalimat itu dengan kikuk, sebab tak ada alasan apa pun baginya untuk menolak. Nathan tersenyum kecil. Puas dengan jawaban tersebut. Lalu pria itu mulai melajukan mobilnya, meninggalkan tempat yang mereka survei barusan. "Kita akan ke supermarket sekarang," katanya, sebisa mungkin tidak menunjukkan bahwa ia senang telah membuat Zefanya menuruti perkataannya. *** Hujan turun begitu deras ketika Nathan dan Zefanya tiba kembali di kota. Itu tidak reda sampai keduanya berhenti di depan Supermarket dekat kediaman mereka. Nathan menolehkan wajahnya pada Zefanya. "Kamu tidak berniat mengambil payung?" tanya Nathan, mengedikkan dagu ke luar, menegaskan bahwa di sana hujan turun deras, tak mungkin mereka keluar tanpa payung. Zefanya terkesiap seketika. Lantas lekas-lekas mencari benda yang dimaksud tersebut di kursi belakang. Biasanya, orang-orang menyimpannya di sana, bukan? Namun ternyata, nihil. "Tidak ada payung di sini, Pak." Zefanya memberi tahu. "Tidak ada?" Nathan bertanya dengan nada sedikit tak bersahabat. "Kamu tidak menyiapkannya?" Dengan sangsi Nathan kembali bertanya. Zefanya menjadi gelisah. "Itu, anu ... saya tidak tahu." "Maksud kamu tidak tahu? Kamu tidak menyediakan payung di dalam mobil?" Nathan menatap tajam. "Seharusnya kamu menyediakannya. Kemarin lusa sudah turun gerimis. Bukan tidak mungkin hujan akan semakin sering turun karena sekarang musim penghujan belum selesai." "Maaf, Pak. Saya kira sudah ada di dalam mobil." Nathan mendesah keras. Tampak kesal. "Kamu dipekerjakan oleh ibu saya untuk menjadi asisten pribadi. Artinya kamu harus memenuhi semua kebutuhan saya, mematuhi apa yang saya suruh dan memastikan saya sehat serta aman. Lalu apa ini?" pertanyaan terakhir diiringi dengan pukulan kecil di dashboard mobil. Tidak ingin Nathan semakin marah, Zefanya lekas membungkuk kecil. "Maaf, Pak. Hal ini tidak akan terulang lagi," katanya dengan sungguh-sungguh. "Anda bisa tunggu di sini. Anda bilang saja ingin makan apa agar saya membeli bahan-bahannya segera." "Saya ingin membeli bahan-bahannya sendiri." Zefanya yang sudah hampir turun dari mobil lekas kembali menoleh pada Nathan. "Tapi, Pak ...." ia menghentikan ucapannya sebab Nathan melayangkan tatapan yang seolah menyiratkan bahwa titahnya tidak bisa diganggu gugat. "Baiklah. Saya akan membawakan Anda payung. Tunggu sebentar." Akhirnya hanya itu yang bisa Zefanya ucapkan. Perempuan itu lalu keluar dari mobil Nathan, berlari menembus hujan yang turun begitu deras disertai dengan udara yang dingin menusuk. Zefanya membeli dua buah payung besar, kemudian kembali ke arah mobil, menjemput bos-nya yang pasti sudah menunggu. "Pak, ayo!" gumam Zefanya, tidak repot-repot mengetuk dulu kaca mobil sebab Nathan sudah lebih dulu membukanya. Zefanya menyerahkan salah satu payung pada Nathan. Meski tubuhnya menggigil kedinginan karena hanya mengenakan kemeja tipis, ia masih menampilkan senyum pada pria itu. Nathan lekas turun. Kaki-kaki panjangnya berjalan di antara rinai hujan yang terus luruh. Sementara Zefanya berjalan di belakangnya, seraya menatap nanar punggung pria itu. Punggung yang dulu ia peluk ketika dingin nyaris membunuh. Punggung tempat ia meletakkan wajah dan mencari kehangatan. Punggung dari orang, yang dulu, tidak pernah membiarkan dirinya basah seperti saat ini. Punggung orang yang mencintainya dengan begitu besar. Sementara, hujan juga membuat Nathan merasa deja vu. Membuatnya mengingat masa-masa indah yang kini hanya meninggalkan luka untuknya. Masa ketika dia masih begitu mencintai Zefanya seperti orang gila. Diam-diam, Nathan melirik perempuan itu. Dadanya berdesir. Waktu telah berlalu bagi keduanya. Masa indah yang pernah mereka lewati kini terasa begitu sakit begitu dikenang. Namun anehnya, benak mereka tak bisa berhenti berkelana, mengingat setiap detail dengan jelas. *** Kala itu puncak musim hujan, sehingga jalanan basah hampir setiap hari. Di beberapa titik, banjir selalu terjadi sehingga menyebabkan kemacetan panjang. Nathan menutup helm-nya ketika gerimis kembali turun saat dia masih dalam perjalanan menuju kampus. Nathan tidak ada urusan apa pun dengan dosen atau pun kuliahnya. Saat ini kuliahnya sudah selesai, hanya tinggal menunggu wisuda beberapa minggu lagi. Dia ke kampus untuk menjemput Zefanya, dikarenakan mobil gadis itu sedang di bengkel sejak kemarin sore. Ya, hanya demi seorang gadis. Yang jika itu orang lain, dalam situasi hujan seperti ini, mereka akan memilih berdiam diri saja di rumah. Lalu membiarkan Zefanya pulang dengan taksi yang ongkosnya tidak akan seberapa bagi gadis dari keluarga kaya sepertinya. Namun Nathan, dia jelas tidak akan melakukannya. Bahkan meski saat itu ia sedang berada di rumah saudaranya yang berjarak cukup jauh dari kampus, Nathan tetap dengan senang hati menjemput Zefanya. Pertama, karena Nathan ingin memastikan sendiri Zefanya pulang dengan aman. Kedua, dia hanya mencari alasan untuk bertemu. Ketiga, dia mencintainya. Keempat, dia merindukannya. Kelima, masih merindukannya. Keenam dan seterusnya, masih sama dia merindukan gadisnya. Ah, Nathan memang gila. Dia mencintai Zefanya hingga titik paling dalam. Seolah hidupnya hanya berpusat pada gadis berambut panjang itu. Nathan menghentikan motor matic keluaran terbaru miliknya di depan kampus, tempat biasanya ia dan Zefanya bertemu. Belum sempat dia membuka ponsel dan menghubungi Zefanya, gadis yang dimaksud sudah berada di sisinya dengan senyum simpul. "Lama," gumam Zefanya, tidak bermaksud mengomeli Nathan. "Kejebak macet, ya? Aku menunggu sampai kakiku nyaris beku." Nathan menatap Zefanya lamat-lamat. Lalu dengan segera menyerahkan helm pada perempuan itu. Tak lupa, raut wajah panik dan khawatir menyertainya. "Seharusnya kamu menunggu aku di kafe atau di mana. Tempat yang aman. Kenapa nekat menunggu di sini?" tanya Nathan, membantu memasangkan helm-nya di kepala Zefanya. "Males. Lagi pula hanya kaki aku yang tersemprot hujan waktu lagi deras-derasnya tadi," Zefanya menjawab ringan. Kemudian lekas naik ke kendaraan beroda empat milik Nathan. Sebagai informasi, Zefanya menunggu di tempat perhentian bus yang berada tepat di sisi pintu keluar kampus. "Baju kamu tipis, Ze." Nathan menoleh, belum melajukan motornya. Zefanya membentuk bibirnya menjadi satu garis tipis. "Pinjemin jaket kamu," katanya, sambil menarik-narik pelan lengan hoodie putih milik Nathan. Persis seperti anak kecil. "Jaket aku basah." "Terus?" Zefanya berhenti, kemudian mengerucutkan bibir dengan kecewa mendengar jawaban Nathan. Nathan lekas turun dari motor. Kedua sudut bibirnya terangkat melihat Zefanya yang masih memasang wajah sebal. "Turun dulu," dia berujar lembut. Awalnya, Zefanya ogah-ogahan, tetapi akhirnya ia hanya manut, lekas turun dari kendaraan pacarnya. Nathan membuka jok dan mengeluarkan sebuah paper bag yang ternyata berisi jas hujan serta jaket baru. "Kamu bisa flu kalau pakai jaket aku. Jadi aku beli jaket baru di perjalanan tadi, tahu kalau kamu pasti kedinginan. Di-double pakai jas hujan. Lumayan, masih gerimis." Wajah tertekuk Zefanya barusan seketika berubah haru. "Nath," lirihnya, tidak bisa berkata-kata. Dia membiarkan Nathan memakaikan jaket tersebut padanya, seolah-olah Zefanya tidak bisa melakukannya sendiri. Dalam rentang waktu itu, Zefanya tak henti-hentinya menatap lekat wajah Nathan. Ada binar yang tak bisa diartikan di balik bola matanya. Dan Nathan, jelas sadar akan hal itu. Lalu kemudian ... "Kenapa bawa jas hujannya cuma satu?" Zefanya menaikkan sebelah alis. Tatapannya berubah penuh selidik. Nathan tersenyum lebar. "Biar kamu khawatir," pungkasnya santai. Lalu gelak mewarnai sore yang bermandikan cahaya jingga yang perlahan semakin tertutup oleh awan hitam di cakrawala sana. Zefanya meraih kacamata Nathan, mengeluarkan cairan pembersih serta tissue dari dalam tas dan membersihkan kacamata tersebut dari embun. "Jangan kebanyakan main sama Haikal. Jadi ketularan begini, kan?" Nathan hanya tersenyum mendengar wejangan dari pacarnya. Kendati sebenarnya dia suka mendengar celotehan Zefanya, mulai dari hal-hal random hingga serius. Kala itu, dia mencintai Zefanya dengan sangat besar. Dia tidak akan membiarkan Zefanya merasa tidak nyaman. Tidak akan membiarkan Zefanya-nya tersentuh air hujan sedikit pun. Tidak akan membiarkan Zefanya merasa kedinginan. Serta tidak akan pernah membuatnya menangis. Nathan setulus itu mencintainya. Nathan kembali naik ke kendaraan roda duanya, disusul Zefanya yang duduk di belakang. "Jangan ngebut-ngebut, ya. Jalanan licin dan udara terlalu dingin," pesan Zefanya. Gadis itu lalu mendekatkan wajah ke sisi wajah Nathan. "Selain itu, aku juga ingin menghabiskan perjalanan lebih lama denganmu," lanjut Zefanya, sedikit berbisik. Untung saja Nathan memakai helm. Jika tidak, dapat dipastikan Zefanya berbisik di depan telinganya dan akan meninggalkan ketidak-nyamanan untuk Nathan sampai mereka tiba. Nathan tersenyum lebar, sementara pipinya merona. Sesaat ketika ia menyalakan mesin motor, jantungnya nyaris saja terhenti karena Zefanya melingkarkan tangan di perut dan meletakkan dagu di bahunya. Itu bukan kali pertama bagi Nathan, tetapi tetap saja ... rasanya mendebarkan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN