"Pak Nathan, Anda ingin saya memasak apa?"
Nathan tersadarkan dari lamunan random-nya saat suara Zefanya, yang sepertinya bukan kali pertama dia menyebutkan kalimat tersebut, didengar dari nadanya yang mulai mengeras, terdengar. Nathan menegakkan tubuh. Menghindari netranya dari melihat pemandangan yang hanya akan mengusik kenangan masa lalu yang sudah lama dia simpan rapat.
"Teriyaki. Saya ingin memakan teriyaki," balas Nathan. "Sisanya terserah kamu mau membuat apa, yang penting sesuai dengan selera saya. Dan lagi, saya tidak suka wortel!" laki-laki itu memberi peringatan di akhir.
Nathan beranjak dari duduknya. Berjalan meninggalkan dapur. Dia tidak ingin fokusnya terus terbelah oleh hal-hal yang tidak seharusnya. Jadi, lelaki itu memutuskan untuk menonton pertandingan bulu tangkis saja di salah satu chanel televisi nasional.
Sementara Zefanya, perempuan itu hanya menatap kepergian Nathan dengan sebelah alis berkerut. Entah hanya perasaannya saja ataukah memang begitu. Tapi, beberapa saat tadi, Nathan tampak lebih sering diam. Seolah, hanya tubuhnya yang terjebak di tempat ini, sedangkan jiwanya pergi ke suatu dimensi asing yang Zefanya tidak tahu di mana.
Zefanya tak ingin ambil pusing. Lebih tepatnya mencari aman dari omelan Nathan. Maka, dia mulai melakukan pekerjaannya. Mengenyahkan keinginannya untuk segera beristirahat, kendati tubuhnya benar-benar sudah lelah hari ini.
Tidak lebih dari satu jam, berbagai masakan yang diolah oleh Zefanya akhirnya selesai. Mereka tersaji dengan begitu rapi di atas meja makan besar Nathan, yang Zefanya sendiri yakin kursi meja makan tersebut tidak pernah terisi penuh. Zefanya menatap puas maha karya yang ia buat. Memang tidak sia-sia dulu dia belajar memasak dari Bi Inna. Nyatanya, hal itu berguna saat hidupnya berbalik 180 derajat.
"Kamu memasak dengan cepat," gumam Nathan. Sangat kentara dia memaksakan diri untuk tetap bersikap datar, padahal lengkung samar di bibirnya membuktikan bahwa pria itu kagum.
Zefanya tersenyum menanggapi kalimat Nathan yang bias, entah itu pujian atau bukan. "Terima kasih banyak, Pak," katanya.
Nathan duduk di kursi miliknya. "Jangan dulu bangga. Saya belum mencicipi rasanya. Percuma cepat kalau rasa makanannya tidak enak," ucap pria tersebut seraya mengacungkan sendok menunjuk-nunjuk wajah Zefanya. Membuat Zefanya sebal dibuatnya.
Cih. Dia masih saja bersikap sok kejam.
Zefanya berdiri diam di sisi Nathan. Menunggu respons lelaki itu atas menu-menu yang ia masak.
Nathan mencicipi teriyaki yang dimasak Zefanya. Memicing sejenak. Mungkin berpikir kalimat apa yang pas untuk menggambarkan rasanya. "Teriaki-nya biasa saja. Yang penting, ia bisa diterima oleh lidah saya," kata Nathan kemudian.
Zefanya mencibir dalam hati. Biasa saja, tapi kamu memakannya dengan lahap. Jangan kira aku lupa, awal mula kamu menyukai makanan itu juga karena teriyaki buatanku.
"Suasana hati saya sedang baik. Kamu bisa ikut duduk dan makan bersama saya di sini." Nathan mengedikkan dagu ke arah kursi-kursi yang kosong. Memberi isyarat bahwa Zefanya bisa duduk di mana pun dan makan satu meja dengannya.
Tanpa sungkan, Zefanya lekas duduk di kursi yang berseberangan dengan kursi Nathan. Membuka piring dan menuangkan makanan secukupnya. Lalu makan dengan tenang. Pemandangan itu jelas tak luput dari perhatian Nathan. Ia bisa melihat, bahwa keanggunan dalam diri perempuan itu masih melekat. Tak peduli seberapa sederhananya penampilan Zefanya saat ini, tidak ada hal yang bisa menyembunyikan bahwa gadis itu terlahir dari keluarga berada. Kulit Zefanya mulus dan cantik. Wajahnya ayu, dengan atau tanpa riasan. Pun dengan pakaian-pakaian yang dikenakannya. Entah baju model apa pun, jika sudah dikenakan oleh Zefanya, kesannya tetap elegan.
Nathan melahap kembali teriyaki buatan Zefanya, mengabaikan menu-menu lain yang jika mereka bisa bicara, mereka akan berteriak ingin dimakan juga. Rasa masakan Zefanya tidak seperti dulu. Kali ini lebih enak dari yang diingatnya untuk kali terakhir. Namun, ciri khasnya tetap terasa. Zefanya selalu menambahkan lebih banyak lada.
Nathan mengangkat wajah menatap Zefanya. "Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?"
"Tidur." Zefanya menjawab cepat dan refleks.
Nathan yang bertanya untuk basa-basi saja seketika memusatkan atensi pada perempuan itu. Zefanya yang tampaknya juga terkejut dengan jawaban yang ia lontarkan dengan wajah datar tadi, seketika memperbaiki mimik wajahnya. Dia tersenyum canggung.
"Maksudnya, ya ... kalau tidak ada lagi hal yang perlu saya kerjakan saya akan tidur."
Bukankah seharusnya kamu tahu kalau kamu selalu rewel di siang dan malam hari? Aku ingin lekas tidur. Jadi jangan banyak tingkah untuk malam ini!
"Bagaimana dengan cucian piring?" tanya Nathan, sedikit menyipit.
Zefanya tersenyum palsu seketika. "Oh, iya. Saya akan mencucinya sesudah makan kalau begitu," jawabnya.
Kenapa harus ingat hal seperti ini?! Aku bisa mengerjakannya besok pagi, tolong!
Nathan mengangguk pelan mendengar jawaban Zefanya. "Baguslah. Bawakan gelas dan teko air juga ke kamar saya," gumamnya kemudian. Sama sekali polos, tidak menyadari tatapan mata Zefanya yang seakan ingin mencincangnya hidup-hidup.
"Iya, Pak. Kalau begitu saya selesai sekarang. Saya harus mencuci piring dengan segera." Agar bisa lekas tidur. Aku lelah lahir batin. Sungguh. Zefanya kembali melanjutkan dalam hati.
Perempuan itu benar-benar berdiri seraya mengambil piring bekas miliknya. Berbagai wadah seperti wajan, panci, piring, dan mangkuk kotor memenuhi westafel, bekas memasaknya barusan. Meski tubuhnya sudah sangat ringsek, Zefanya tetap memaksakan diri bertahan.
"Saya sudah selesai." Nathan berbicara di tempat duduknya. "Jangan lupa bawakan air ke kamar. Saya akan berada di ruang kerja selama beberapa waktu."
Zefanya menoleh sebentar, sekadar menjawab, "Baik, Pak." Lalu kembali fokus pada pekerjaannya.
Sekitar pukul sembilan malam, Zefanya selesai dengan segala pekerjaan di dapur. Tempat itu menjadi kinclong seperti semula. Ia meregangkan tubuh dengan gerakan olahraga ringan. Lalu menenggak air mineral agar tubuhnya kembali segar.
Dia ingat untuk membawa air ke kamar Nathan. Jadi sebelum pergi tidur, dia menyiapkan nampan serta teko air dan juga gelas. Ketika tiba di kamar pria itu, lampu terang benderang, tetapi tidak ada siapa pun. Tampaknya, Nathan masih di ruang kerja. Zefanya meletakkan nampan tersebut di atas nakas. Baru saja dia hendak pergi, sebuah benda membuatnya terhenti kembali.
"Nathan ... selalu meminum ini?" gumam Zefanya, terdiam kelu. Menatap pil-pil obat tidur di dalam botol yang diletakkan di atas nakas.
***
Nathan tidak tahu kapan ibunya pulang ke rumah. Semalam, jelas-jelas dia tidak mendengar suara apa pun. Namun pagi sekali ibunya sudah berada di halaman, sedang melakukan senam yoga. Mungkin, wanita itu pulang larut? Entahlah.
"Nath, Mami ketemu Katya kemarin di salon," ucap wanita itu, duduk di kursi halaman belakang, di sisi anaknya. Ia menyebutkan nama perempuan yang Nathan kenal dengan baik.
"Iya. Lalu?" Nathan merespons santai. Tidak begitu tertarik.
Dara mengedikkan bahu. Namun senyum hangat terpatri di wajahnya. "Dia semakin cantik. Kamu masih sering berhubungan dengan dia?" tanyanya penasaran.
"Tidak begitu sering. Tapi sesekali kita masih berkabar," katanya. "Pak Zainal sementara waktu dipinjam olehnya. Sopir pribadinya cuti karena istrinya melahirkan di kampung."
Dara tersenyum puas mendengar jawaban dari Nathan. "Malam ini Mami mau bertemu dengan ibunya. Kita pernah punya pembahasan soal kamu dan Katya," kata Dara.
Nathan menutup koran yang dia baca. Lalu menoleh dengan sebuah delik bertanya. "Pembahasan apa maksudnya?"
"Entahlah. Nanti Mami diskusikan dengan kamu kalau semuanya sudah jelas sesuai apa yang Mami pikir dan harapkan," balas Dara. Wanita itu kembali berdiri untuk melakukan peregangan.
"Mami jangan aneh-aneh." Nathan tidak bisa untuk tetap santai melihat gelagat aneh ibunya.
Dara terkekeh pelan karena reaksi Nathan. "Mami tidak aneh-aneh," dia jawab.
Nathan mengembuskan napas panjang. Terjadi jeda selama beberapa saat sebelum ia kembali bersuara, "Apa ini soal rencana Papi sebelum meninggal?" Nathan menatap lurus Sang Ibu. Menanti jawab dengan serius.
"Ya. Kamu tahu, itu menjadi beban untuk Mami. Kamu tidak berkencan dengan siapa pun sampai saat ini. Lalu, apa lagi pilihan Mami?"
Nathan ikut berdiri dari duduknya. "Katya tidak akan setuju dengan hal ini. Dia orang modern. Dia dan Bayu berada di spesies yang sama. Hidupnya tidak ingin diatur oleh siapa pun, Mami sendiri tahu akan hal itu," sanggah Nathan. Dia sudah mengenal Katya sejak kecil. Jelas dia tahu bagaimana perempuan itu tumbuh, bagaimana kehidupannya, bagaimana karirnya, bagaimana dia menjalani kehidupan asmaranya.
"Bagaimana jika dia setuju?" Dara menanyakan kemungkinan yang tak pernah Nathan percayai.
"Lalu ... apa boleh buat?" Nathan memberi jeda. Lalu dia mengenang hari di saat Sang Ayah masih tinggal di sisinya. Hari saat ayahnya berkata untuk menikah saja dengan Katya jika ia tidak memiliki pilihan mana pun. "Aku juga terlanjur menyanggupi permintaan Papi saat itu," lanjutnya gamang.
Dan diam-diam, seseorang mendengar percakapan itu ketika hendak memanggil mereka untuk sarapan. Zefanya. Dan entah untuk alasan apa, Zefanya merasa jantungnya tersengat listrik mendengar kalimat terakhir yang Nathan ucapkan.
***