19. Panggil Aku Ibu

1750 Kata
Zefanya merasa cukup lega karena keadaan ibunya semakin membaik dari informasi yang didapatkan dari Raka. Zefanya tersenyum saat melihat kontak Raka tertera di layar, tanda bahwa pria itu menghubungi dirinya. "Aku baru selesai operasi," gumam Raka di seberang sana. "Bagaimana Nathan? Dia ada di rumah?" Mendengar nama pria itu, seketika membuat senyum di wajah Zefanya luruh. Hatinya merasa tidak nyaman setiap kali menyebut nama Nathan, sementara lelaki itu mungkin tengah menghabiskan waktu dengan seorang wanita yang akan menjadi calon istrinya. "Dia sedang keluar dengan seseorang bernama Katya," balas Zefanya. Untung saja saat ini ia dan Raka hanya bicara lewat telepon. Sebab jika mereka saling bertatap muka langsung, Raka akan menyadari wajah kusutnya. "Katya?" Raka memekik di seberang sana. "Maksud kamu, Katya yang model itu? Astaga, akhir-akhir ini mereka terlalu sering bersama. Seharusnya mereka jadi pasangan saja." Raka bergumam asal, tidak tahu bahwa perkataannya barusan membuat seseorang termenung. "Jadi, ada apa, Raka?" tanya Zefanya. Tidak ingin terus mendengar perihal Nathan dan juga Katya. "Oh, iya." Raka seolah baru menyadari bahwa dia harus mengatakan hal lain. "Karena Nathan masih pergi, aku mau mengajak kamu makan malam." "Makan malam? Tapi aku diharuskan istirahat oleh Nathan. Ya, meskipun keadaanku sudah jauh lebih baik." "Sebenarnya bukan aku, tapi Ibu. Kamu ingat terakhir kali dia menelepon, bukan? Dia sangat ingin bertemu kamu." Zefanya seketika membeliak. "Astaga, aku nyaris saja lupa," katanya. Saking dekatnya dia dengan Raka, dia sampai hafal mengenai banyak hal tentang lelaki itu, termasuk beberapa masalah pribadinya. Bukan hanya perihal Sinta, dia juga tahu tentang keluarga Raka. Raka juga sering bercerita pada ibunya yang kata Raka adalah wanita terbaik di dunia tentang Zefanya. Sampai suatu ketika, Raka mengenalkan Zefanya ketika melakukan video call. Mereka mengobrol dengan begitu nyaman. Jadi tidak aneh jika mereka dekat bahkan Ibu Raka sampai ingin bertemu secara langsung. "Tapi bagaimana dengan Pak Nathan?" tanya Zefanya, ragu. "Aku takut saat dia pulang, aku justru tidak ada di rumah. Dia pasti akan marah besar." "Kalau begitu, bagaimana kalau kamu izin dulu?" usul Raka di sana. Zefanya berpikir sejenak. Menimbang keputusan. Lalu dia memutuskan untuk menyetujui ajakan Raka. Toh, di rumah pun tidak ada yang dilakukannya. "Ehm, baiklah kalau begitu. Aku akan meminta izin saja padanya," ucap Zefanya. "Baik. Aku akan menjemput kamu segera," balas Raka. Nada antusias tersisip di antara suaranya. "Mungkin aku akan tiba di sana paling telat tiga puluh menit dari sekarang. Kamu punya waktu untuk bersiap." Panggilan ditutup. Zefanya lekas mengirimkan pesan pada Nathan dan segera naik untuk mengganti pakaian. Namun, setelah dia selesai berganti pakaian pun, tidak ada balasan dari boss-nya. Mungkin, Nathan sedang asyik menghabiskan waktu berdua dengan Katya. Atau mungkin, dia masih dalam perjalanan kalau-kalau letak bertemu mereka jauh. Ah, entahlah. Zefanya tidak ingin ambil pusing akan hal itu. Dia sama sekali tidak punya hak untuk ikut campur urusan Nathan, pun sebaliknya. Zefanya hanya mengenakan potongan dress sederhana berwarna aprikot, yang membuat kulitnya terlihat tampak lebih cerah. Rambut panjangnya ia urai rapi. Sementara wajah cantiknya ia rias tipis, yang penting membuatnya lebih segar. Ketika turun, dering ponsel di tas kecil yang dibawanya terdengar. Zefanya kira, itu adalah Nathan. Wajah yang sebelumnya sempat begitu antusias, kembali berubah datar. "Iya, Raka?" sahut Zefanya. "Aku sudah tiba di depan," balas suara di seberang sana. "Ya, aku segera ke sana." Zefanya menatap rumah Nathan. Dia masih menantikan Nathan pulang. Hatinya lagi-lagi terasa begitu sesak dan tak nyaman. Apakah Nathan menikmati waktunya dengan Katya? *** Zefanya keluar dan mendapati mobil Raka terparkir di depan gerbang rumah Nathan. Raka sendiri berdiri di sisi mobilnya. Meski semalam piket dan di siang harinya harus melakukan operasi, tapi penampilan pria itu masih saja oke. Ya ... sedikit berantakan tidak apa. Namun dia tetap tampan. Sepertinya keluarga mereka memang dianugerahi visual yang mengagumkan? Gen yang sungguh luar biasa. Salah satu dokter spesialis jiwa di sana, Aras namanya, dia juga sangat tampan. Setahunya, mereka masih sepupuan, seperti Raka dan Nathan. Buru-buru perempuan Zefanya berjalan cepat ke arah Raka saat pria itu melambaikan tangan dengan senyum manis yang menunjukkan lesung pipinya yang menambah kadar manis senyum pria itu. "Bagaimana? Semua aman?" tanya Raka, begitu Zefanya tiba di sisinya. "Ya, tentu saja." Raka memeriksa Zefanya melewati matanya, seolah mesin yang memonitor seluruh penampilan Zefanya. "Jaket kamu kurang tebal. Kamu harus terjaga untuk tetap hangat meski bepergian keluar, supaya bisa kembali dengan keadaan sehat lagi. Tapi, it's okay. Aku punya satu jaket lagi di dalam," ujar lelaki itu. Lagi-lagi dia tersenyum. Kali ini, matanya tenggelam indah membentuk kerutan. *** Setelah empat puluh lima menit menghabiskan waktu di jalan, akhirnya Raka dan Zefanya tiba di sebuah rumah besar berdesain minimalis. Di depannya, sebuah taman mini tampak begitu cantik dengan berbagai jenis tanaman bunga yang segar terawat. "Kamu harus tahu betapa cerewetnya Ibu meminta aku untuk membawa kamu ke rumah, Ze. Setiap kita bertemu, yang ditanya pasti kamu." Zefanya terkekeh pelan sambil berjalan di sisi Raka, melewati undakkan-undakkan tangga teras. "Sampai segitunya?" Zefanya bertanya tak percaya. Raka mengangguk mantap. "Lihat saja nanti, akan seheboh apa dia saat melihat kamu datang. Jadi, kamu jangan kaget," ucap Raka, memberikan kisi-kisi reaksi ibunya. Dan Zefanya hanya bisa terkekeh dibuatnya. Raka mengetuk pintu tiga kali. Tidak sampai harus melakukannya beberapa kali, suara kunci yang diputar dari dalam terdengar. Lalu pintu terbuka dan menampakkan seorang wanita baya berambut cokelat. Meski sudah berumur, tetapi wanita itu tampak masih muda. Tubuhnya berisi, tetapi tidak gendut. Pipinya sama sekali masih kencang seperti bukan wanita baya pada umumnya. "Tante Tiara?" Zefanya memanggil dengan seulas senyum tipis. Wanita baya itu terdiam sejenak. Selama dua sekon, dia menilik Zefanya berusaha mengenali. Dan sekon selanjutnya, barulah wanita itu ngeuh perihal siapa wanita yang kini datang bersama putra sulungnya. "Zefanyaaaa!" Wanita itu memekik girang. Seperti seorang teman yang baru bertemu dengan teman lama yang sudah bertahun-tahun tak bertemu. Wanita itu lekas menghampiri Zefanya, mengabaikan anaknya yang berdiri di depan. "Astaga, kamu lebih cantik aslinya ternyata. Tante sampai pangling tahu!" Tiara memeluk bahu Zefanya dengan sayang. Menuntun gadis itu masuk ke dalam rumahnya. Sementara Raka, dia harus mengalah karena kali ini Zefanya yang akan dimanjakan oleh wanita baya itu. "Katanya kamu sakit kemarin? Tidak apa-apa ini sekarang datang ke sini? Sudah lebih sehat?" Tiara memberondong Zefanya dengan pertanyaan. Zefanya mengangguk tersenyum. Duduk di sofa besar saat dipersilakan oleh Ibu Raka. "Terima kasih, Tante. Zefanya sudah lebih sehat, kok, sekarang." Selama beberapa detik, Tiara menghela napas seraya memandang Zefanya dengan sorot kagum yang tidak bisa disembunyikan. Sejak pertama kali Raka membicarakan soal Zefanya, dia sudah menyukainya. Gadis pekerja keras dengan hati yang begitu lembut. Dia adalah gadis idaman yang diinginkan banyak orang tua di dunia. "Tante akan buatkan sup untuk kamu, okay? Sup yang akan membuat kamu semakin sehat. Kamu pasti suka." Tiara menepuk pundak Zefanya pelan. Senyum semringah tidak pernah luruh di wajahnya yang meski sudah termakan usia, tetapi tetap cantik dan kenyal. "Tidak usah repot-repot, Tante." Zefanya menggeleng tidak enak. "Tidak ada repot-repotan untuk kamu. Kamu sudah Tante anggap sebagai anak Tante sendiri." "Eh?" Zefanya menatap Tiara membeliak. Sementara Raka tergelak pelan melihat reaksi Zefanya atas ucapan ibunya. "Ibu ini, main ngaku-ngaku anak saja." Tiara mendelik sinis jenaka. "Biarkan saja. Ibu sudah lama ingin punya anak perempuan," katanya. Kemudian kembali melihat Zefanya dengan senyum manis. "Kenapa tidak membuat lagi saja dengan Ayah?" tanya Raka seraya mengambil keripik singkong di dalam toples dan memakannya santai. "Kamu meledek Ibu? Mentang-mentang Ibu sudah tua?" Tiara melirik Raka skeptis. Sementara yang dilirik hanya cengangas-cengenges tanpa dosa. "Siapa yang meledek? Ibu sensitif sekali." "Melahirkan Azriel saja sudah begitu sulit bagi Ibu karena ketika itu usia Ibu sudah menginjak usia 40. Apalagi sekarang? Belum apa-apa, Ibu sudah menyerah duluan. Bengek, tidak kuat." Zefanya tersenyum melihat perdebatan anak dan ibu tersebut. Membuatnya merindukan sosok ibunya yang saat ini masih terbaring di ranjang rumah sakit. Rasanya, rindu saling bicara dan tertawa dengannya. "Tidak apa, Tante. Jangan dengarkan Raka. Aku senang Tante menganggap aku sebagai anak Tante." Tiara sangat antusias mendengar ucapan Zefanya. "Kalau begitu, coba panggil Ibu," katanya sambil mengerling. "Ya?" Zefanya membulatkan mata terkejut. Tawa Tiara mengudara seketika melihat reaksi Zefanya. "Panggil Tante dengan sebutan Ibu." Zefanya melirik pada Raka. Saat Raka mengangguk pelan tanda bahwa Zefanya bisa melakukannya, seketika Zefanya menelan air liur. "Ibu," ucapnya. Meski awalnya setengah ragu, tapi ketika kata itu keluar dari mulutnya, sebuah perasaan bergemuruh di dalam sana. Zefanya merindukan sosok ibu. Sangat. "Ah, Ibu sangat senang mendengarnya. Dengan ini, kamu resmi jadi anak kesayangan Ibu." Tiara menatap Zefanya intens. Ia tersenyum jenaka. "Akan lebih menyenangkan jika kamu juga merangkap menjadi menantu di keluarga ini." "Eh, maaf? Maksud Ibu ...." Tiara lagi-lagi tertawa karena reaksi terkejut Zefanya. "Ibu hanya bercanda. Tapi, serius juga tidak apa-apa. Ibu rasa, tidak ada perempuan yang lebih baik dari kamu yang berada di sekitar Raka selama ini," ucapnya. Benaknya teringat pada sosok yang pernah Raka kenalkan, yang meski ia sempat tak setuju, Raka tetap maju ingin meminang wanita itu. Namun akhirnya ... ah, Tiara tidak sanggup kembali mengenang masa-masa sulit anaknya. Semua itu bukan hanya menyakiti Raka, tetapi juga menyakiti ia dan seluruh keluarga. "Ibu." Raka memanggil dengan peringatan main-main. "Main ngegas saja Ibu ini," ujarnya. Kemudian melirik Zefanya dan tersenyum tipis. Zefanya sendiri hanya bersikap biasa, tidak benar-benar menganggap ucapan Tiara serius untuknya. Toh, dilihat dari kepribadiannya, wanita itu tampaknya suka bercanda dan sangat humble. "Aku sama Raka hanya teman biasa, Bu," jawab Zefanya. Dengan lebar dia tersenyum. "Iya, Ibu tahu. Tidak apa-apa. Kalian berteman saja dulu. Nanti perlahan-lahan status kalian, kan, bisa berubah? Jangan terlalu buru-buru." "Sudah. Lebih baik sekarang kita makan malam, bagaimana?" "Oh, iya! Ibu sampai lupa. Ibu, kan, mau buat sup untuk anak ibu Zefanya." "Nah, kan, kumat." Raka mendelik jenaka pada ibunya. Tiara terkekeh pelan. "Ya sudah. Kalian istirahat saja dulu di sini. Raka, ambilkan minuman untuk Zefanya. Kasihan, perjalanan ke sini pasti melelahkan." "Ah, tidak apa-apa, Bu. Zefanya baik-baik saja." "Eh, jangan sungkan. Sok, kamu mau makan atau minum apa bisa minta ambilkan pada Raka. Kalau mau rebahan atau tidur juga tidak apa-apa. Anggap saja rumah sendiri, karena kamu anak Ibu mulai sekarang, okay?" *** Sepulang dari rumah Raka, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Zefanya harap, Nathan masih belum pulang. Dia tidak ingin menjadi masalah jika datang lebih telat dari laki-laki itu. "Jadi, dari mana kamu sebenarnya dengan pakaian seperti itu? Apakah menyenangkan karena beberapa hari ini kamu bebas dari pekerjaan?" "Tidak, Pak. Saya ...." "Ambilkan teh tawar panas ke kamar. Besok, kamu mulai bekerja seperti biasa. Jangan membuat kesalahan sedikit pun." Nathan berujar galak. Lalu pergi meninggalkan Zefanya begitu saja, dengan bahu dan juga rahang yang mengeras menahan marah. "Ah, b-baik, Pak Nathan."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN