20. Dia Katya

1666 Kata
Nathan merasa tubuhnya agak berat hari ini. Oh tidak, sebenarnya dia sudah merasa agak pusing dan tubuhnya berat di beberapa titik sejak kemarin. Mungkin karena tempo hari dia hanya tidur selama satu jam lebih dan langsung dihadapkan dengan begitu banyak pekerjaan di kantor pada pagi harinya. Pria itu terbatuk beberapa kali saat bangkit duduk. Diliriknya jam dinding besar yang bertengger di tembok kamarnya. Jam menunjukkan pukul enam pagi kurang dua puluh menit. Nathan meraih gelas di nakas dan menuangkan air putih yang lalu dia tenggak hingga tandas. "Ada begitu banyak jadwal hari ini. Aku tidak bisa tidak masuk kantor," lelaki itu bergumam pelan. Menyibak selimut abu-abu yang senada dengan sprei-nya, kemudian turun dari ranjang. "Ah, sial!" Nathan mengerang. Jantungnya berpacu begitu cepat saat dirinya nyaris saja terjatuh karena menabrak sisi sofa. "Jangan sampai aku benar-benar tepar hari ini," gerutunya sambil memegangi kaki yang kesakitan. Kemudian ngeloyor ke dalam kamar mandi beserta handuk yang dia ambil di stand hanger. Ketika keluar usai membersihkan diri, Nathan disambut oleh Zefanya yang tengah merapikan ranjangnya. Sepasang kemeja dan juga celana yang Nathan yakin disiapkan untuknya juga sudah tersimpan rapi di atas sofa. Jangan lupakan jas, dasi, serta kaus kaki dan sepatu hitamnya. "Tumben sekali kamu datang begitu pagi tanpa perlu saya panggil duluan pula," ujar Nathan, membuat Zefanya tersenyum kikuk. "Iya, Pak." Hanya itu kalimat yang bisa Zefanya ucapkan. Nathan lantas melirik Zefanya, memperhatikan penampilan gadis itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. Lalu, dia mengernyit, seolah sadar sesuatu. "Gunakan sepatu yang nyaman. Hari ini, saya harus mengunjungi area pembangunan villa di Utara Kota Bandung," ujar Nathan kemudian. Dia takut Zefanya akan mengenakan sepatu heels atau wadges nanti. Dan itu akan mengganggu kegiatan mereka jika tiba-tiba kaki Zefanya lecet atau terkilir karena jatuh. "Bandung? O-oh, baiklah." Zefanya lekas undur diri saat Nathan mengibaskan tangan mengusirnya. Mungkin, Nathan akan segera berpakaian. *** Nathan memakan sarapan yang dibuatkan Zefanya untuknya. Sesekali ia melirik perempuan itu yang tengah berdiri di balik meja pantry. Nathan meminum air putih di gelas hingga sisa setengah. Tubuhnya semakin tidak nyaman sekarang. Tapi jika dia meminum obat, dia tidak bisa pergi ke kantor. Terlebih, dia harus menyetir sekarang. Nathan berusaha melupakan semuanya. Dia memberi sugesti pada dirinya sendiri bahwa tubuhnya baik-baik saja dan dia sehat seutuhnya. Terlebih sekarang, Zefanya juga tampak sehat. Itu saja entah mengapa membuat beban-beban di hati Nathan sedikit terangkat. "Ayo, kita berangkat," ucap Nathan, lekas berdiri dari duduknya. Zefanya yang baru saja duduk dan memakan roti bakarnya juga langsung berdiri mendengar perintah Nathan. Tentu saja, dalam hati, perempuan itu mendumel sebal. Dia baru saja mau sarapan, sudah diajak pergi. Sementara Nathan, dia berusaha mengulum senyum melihat betapa ditekuknya muka Zefanya. Meski ini terdengar gila dan bertentangan dengan apa yang ingin Nathan lakukan, tetapi Nathan tidak bisa membohongi diri sendiri, dia merasa jauh lebih lega melihat Zefanya yang memasang wajah sebal dan menggerutu sesekali, daripada harus melihat Zefanya yang pucat dan lemas seperti beberapa hari lalu. Zefanya mengekor langkah Nathan sambil memakan roti bakarnya. Ah, terserah dengan remahan yang dia tinggalkan di sepanjang jalan. Ia akan membersihkannya nanti. Kemudian masuk ke dalam mobil dan duduk tenang di sisi Nathan yang tengah membaca sesuatu di layar ponsel. Tak berapa lama, mobil pun melaju meninggalkan pekarangan rumah. Menuju ke kantor. *** Zefanya membuatkan kopi serta camilan untuk Nathan pada pukul sembilan. Persis seperti yang selalu diinginkan pria itu. Kini, Zefanya sudah terbiasa melakukannya. "Ze, ke sini sebentar." Zefanya menoleh ketika Dian memanggilnya. Perempuan itu melirik ke kanan dan kiri, kemudian kembali memusatkan atensi pada Dian dengan bingung. "Mbak manggil saya?" tanya Zefanya dengan kedua alis bertaut. Saat Dian mengangguk keras-keras, Zefanya lekas berjalan ke arahnya. "Iya, Mbak Dian? Ada apa?" Zefanya berdiri di depan Dian yang duduk di balik mejanya. Tampaknya, wanita itu penasaran akan sesuatu. "Kamu lihat wajah Pak Nathan sejak pagi?" tanya Dian, menatap Zefanya dengan menelisik. "Suasana hati beliau sering sekali berubah akhir-akhir ini. Kemarin tampak lesu, sekarang tampak baik-baik saja bahkan tersenyum. Pak Nathan, apa mungkin ... dia punya pacar?" todong Dian penasaran. "Kamu pasti paling tahu karena selalu di sisi dia." Zefanya menggaruk kening. Pacar? Ya, mungkin. Dia dan Katya, hubungan keduanya mungkin sudah mengalami kemajuan. Apalagi Nathan sering bertemu dia akhir-akhir ini. Malam sebelumnya bahkan Nathan pulang lewat tengah malam saat bertemu Katya. Ah, memikirkannya entah mengapa membuat batin Zefanya resah. "Saya tidak bisa mengatakannya," balas Zefanya, menggeleng pelan. Dian seketika melayangkan tatapan sangsi. "Kamu tahu sesuatu, kan?" wanita itu menunjuk Zefanya. "Bukan begitu," sanggah Zefanya. "Hanya, saya tidak berhak mencari tahu atau menceritakan perihal masalah pribadi seseorang." Dian memutar bola mata sambil meniupkan napas ke atas. "Ayolah, Ze! Aku hanya ingin tahu. Lagi pula, dia boss kita. Gosip tentangnya selalu ramai. Kalau kita tahu Pak Nathan punya pacar, para karyawan tidak akan resah karena ternyata boss kita normal. Iya, kan?" Zefanya tersenyum tipis. "Nanti juga Mbak akan tahu sendiri," kata Zefanya. Bertepatan dengan itu, suara heels yang bertemu ubin terdengar keras. Langkah-langkah yang teratur dan konstan semakin terdengar jelas. Ketika Zefanya menolehkan wajah, dia mendapati seorang wanita tinggi, memakai kemeja putih berantakan yang tampak cantik di tubuhnya, serta celana jins pendek yang nyaris tertutup oleh kemeja di atasnya. "Benar ini ruangan Nathan?" tanya wanita itu, menghampiri meja Dian. Dari dekat, Zefanya bisa melihat secara langsung betapa cantiknya perempuan itu. Dia mengenakan riasan yang cukup tebal, rambutnya hitam dan dicepol asal tetapi tetap manis, serta wangi tubuhnya begitu liar memasuki indera penciuman. Dian yang terkesima melihat penampilan wanita itu sejak jarak beberapa meter, kini mengedipkan mata, berusaha sadar dari keterpukauannya. "Iya. Sebelumnya, boleh tahu Anda siapa dan apakah sudah membuat janji dengan Pak Nathan?" tanya Dian dengan senyum formal. "Saya tidak perlu membuat janji untuk bertemu dengan Nathan," gumam wanita itu, membuat Dian mengerutkan kening mendengarnya. "Bilang saja padanya, Katya ingin bertemu, dia akan langsung membiarkan aku masuk dan menemuinya." Senyum lebar terpatri di wajah wanita yang katanya bernama Katya tersebut. Sementara Zefanya, seketika merasa diempaskan oleh kenyataan. Katya. Dia Katya, perempuan yang dijodohkan dengan Nathan. Perempuan yang dekat dengan Nathan bahkan sebelum dirinya. Perempuan yang cantik jelita, dari keluarga kaya raya dan terpandang. Perempuan yang tidak akan pernah sebanding dengan dirinya yang bukan apa-apa. Dian melirik Zefanya dengan tatapan penuh tanya, yang langsung ditanggapi Zefanya dengan anggukkan kecil. Memberi isyarat agar membiarkan wanita itu masuk seperti permintaannya. "Baiklah. Silakan masuk. Pak Nathan sedang berada di ruangannya," gumam Dian, meski masih terlihat bingung dengan siapa gerangan wanita itu. "Tampaknya, rasa penasaran Mbak Dian langsung terjawab," ucap Zefanya, tersenyum tipis. Kerutan di kening Dian semakin dalam. "Maksud kamu?" ia bertanya penasaran. "Pertanyaan Mbak sebelumnya," ucap Zefanya, mengedikkan dagu ke arah kepergian Katya tadi, ke balik pintu ruangan Nathan. "Wanita bernama Katya itu jawabannya." "WHAT THE ... dia pacar Pak Nathan?!" pekik Dian histeris. "Astaga. Astaga. Astaga," Dian menjerit histeris lagi, tetapi tertahan di tenggorokan. "Pantas saja Pak Nathan menjomlo bertahun-tahun dan tidak tertarik dengan sekretaris sebelumnya. Ternyata tipe wanita Pak Nathan se-perfect perempuan itu? Astaga. Semua karyawan wanita yang menggilai Pak Nathan akan patah hati dan merasa insecure setelah tahu pujaan hati boss ganteng mereka!" Zefanya hanya tersenyum kecil menyaksikan reaksi Dian. Lalu meninggalkan wanita itu yang tampaknya kini tengah menyebarkan gosip mengenai Nathan dan Katya di sebuah grup chat. *** Nathan memijit pangkal hidungnya untuk ke sekian kali. Berkas-berkas yang dia tinjau terasa kabur. Tampaknya, dia benar-benar sakit usai merawat Zefanya kemarin malam. Belum lagi dia kekurangan istirahat. Padahal sebelumnya baru saja dia keluar dari rumah sakit setelah tubuhnya ambruk. "Selamat pagi, Nath!" Nathan mengangkat kepala begitu sebuah suara yang familier terdengar. Lalu, dia mendapati Katya yang berjalan masuk ke dalam ruangannya. Dan kalau tidak salah, sebelumnya dia tidak mendengar ketukan pintu terlebih dahulu. Okay. Katya dan sopan santunnya yang minus. Nathan sudah biasa. "Bagaimana kamu bisa masuk?" tanya Nathan, menatap skeptis pada perempuan berlipstik merah menyala tersebut, yang kini dengan tidak sopan duduk di atas mejanya. Kaki jenjangnya yang terbuka seolah sengaja ia pamerkan di hadapan Nathan. "Tinggal masuk saja, apa susahnya?" balas Katya. "Buka pintu, masuk, dan tutup pintu lagi. Bukannya mudah?" Nathan memutar bola mata dengan lelah. "Katya, kamu tahu maksudku," desis Nathan sebal. Katya seketika terkekeh. "Iya, tahu," jawabnya. "Aku bilang ke sekretaris kamu bahwa namaku Katya, dan aku tidak perlu membuat janji untuk bertemu kamu." "Lalu Dian langsung mengizinkan kamu masuk?" Katya mengedikkan bahu. "Ya, begitulah," katanya, begitu santai. Bertepatan dengan itu, pintu ruangan kembali terbuka. Zefanya masuk dengan nampan di tangannya. Satu gelas kopi serta makanan ringan kesukaan Nathan tampak berada di atas nampan itu. Melihat Katya yang duduk dengan pose yang agak menyakiti mata, Zefanya lekas menunduk. Tidak ingin melihat betapa dekatnya wanita itu dengan Nathan. Betapa wanita itu cantik dan sempurna, serta cocok bersanding dengan Nathan. Hal itu, lagi-lagi secara tak sadar membuat hati Zefanya tidak nyaman. "Ini kopi dan camilan Anda, Pak," gumam Zefanya, meletakkan nampannya di atas meja di tengah-tengah sofa. Nathan melirik datar ke arahnya. "Baiklah. Tolong buatkan teh hijau untuk tamu saya," sahut Nathan. Dia melirik Katya sekilas. "Tehnya jangan terlalu panas. Suhu sekitar 75 derajat celsius saja cukup," lanjutnya. "Baik, Pak," balas Zefanya. Dia lekas undur diri kembali. Namun, Zefanya masih mendengar percakapan yang terjadi antara Katya dan Nathan. "Kamu masih ingat minuman kesukaan aku, bahkan detailnya pun juga." Katya berujar antusias. Tanpa Zefanya menoleh pun, dia tahu senyum Katya selebar apa. "Aku masih mengingat banyak hal tentang kamu. Kamu manusia yang sulit dilupakan, asal kamu tahu." Zefanya mencibir dalam hati mendengar penuturan Nathan. Lelaki itu adalah tipe pria yang selalu bicara manis pada orang yang disukainya. Termasuk padanya dulu. Dan sekarang .... "Termasuk ciuman pertama kamu bersamaku?" Itu adalah kalimat terakhir yang Zefanya dengar dengan jelas sebelum keluar dan menutup pintu. Kini, perasaan sakit dan bergemuruh itu semakin nyata. Rupanya memang, sekuat apa pun Zefanya menyangkal kenyataan tentang perasaannya, hatinya akan selalu gencar mengingatkan. Hatinya tidak akan pernah diam. Ia tidak pernah kebal terhadap rasa sakit. Ia hanya sering mengabaikannya. Tapi kali ini, rasa sakit itu mulai tidak bisa Zefanya abaikan. Dia ... masih menyukai Nathan sebesar dulu. Dan ia sadar, kali ini ia lebih terluka. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN