18. Pernikahan di Atas Kertas

1866 Kata
Zefanya membuka ponselnya sesaat setelah Nathan berangkat pergi ke kantor. Banyak pesan masuk dari Raka. Bertanya bagaimana keadaannya saat ini, apakah sudah baikan atau belum, apakah sudah meminum obat dan makan, serta pertanyaan seputar hal tersebut lainnya. Zefanya lekas kembali ke kamar, merebahkan diri di atas ranjangnya. Dia lalu membalas pesan Raka, mengatakan bahwa ia sudah merasa lebih baik dan Raka tidak perlu khawatir atasnya. Lalu tak berapa lama kemudian, Raka menghubungi dirinya. "Iya, Raka?" gumam Zefanya begitu panggilan tersambung. "Kamu serius sudah baikan?" tanya Raka, menyahut. Meski terdengar tenang, tetapi nada khawatir masih tersisip di antara suaranya. "Jelaskan secara menyeluruh keadaan kamu saat ini." Zefanya mendudukkan kembali dirinya. Menghela napas. "Aku sungguh baik-baik saja, serius." "Aku bertanya bukan sebagai Raka teman kamu, Zefanya. Tapi sebagai dokter yang memang harus mengetahui secara terperinci keadaan kamu. Jadi, coba jelaskan," desak Raka di ujung sana. Dia pandai sekali membuat Zefanya berkata jujur. Zefanya terdiam sesaat. Iya mengambil napas agar merasa lebih rileks. Sesungguhnya tubuhnya masih cukup sakit tetapi, dia berusaha untuk terlihat lebih baik-baik saja. "Badanku masih lemas," balas Zefanya, "tetapi sisanya baik-baik saja. Suhu tubuhku juga sepertinya sudah turun, tidak sepanas semalam." "Kamu yakin?" respons Raka agak skeptis di seberang sana. Terjadi jeda selama beberapa sekon sebelum Raka melanjutkan, "Jika kamu membutuhkan sesuatu atau jika kamu merasa ada gejala yang aneh, kamu bisa menghubungiku segera, okay?" Zefanya mengangguk ringan, meskipun tahu bahwa Raka tidak bisa melihat dirinya saat ini. "Baiklah, tentu aku akan melakukannya," Zefanya membalas pelan. "Kamu pasti sibuk," kata Zefanya lagi. "Kalau begitu aku akan tutup teleponnya," lanjut perempuan tersebut. Dia sudah sering berada di rumah sakit dan tahu bagaimana sibuknya Raka di sana. Apalagi di jam-jam seperti ini. Dan seingatnya, sebentar lagi ia harus buka praktik rawat jalan. "Sebenarnya tidak terlalu sibuk, tapi kamu pasti butuh istirahat," balas Raka sesaat kemudian. "Istirahat yang cukup dan jangan lupa makan serta minum obat." Lagi-lagi Zefanya mengangguk. "Ya tentu saja, terima kasih Pak Dokter," katanya dengan lebih ceria. Ia tersenyum tipis. Setelahnya lalu menekan tombol merah untuk mengakhiri panggilan dan meletakkan ponselnya kembali di laci nakas. Gadis itu lalu merebahkan tubuhnya yang masih lelah dan lemas karena sungguh, demam semalam telah merenggut hampir seluruh tenaga yang dimiliki oleh tubuhnya. Zefanya lalu terdiam, Dia teringat akan *** Nathan pulang lebih cepat dari biasanya. Sepertinya, ini kali pertama bagi Nathan pulang sebelum jam tiga sore. Biasanya, paling cepat dia pulang jam lima, tetap lebih lama dari pegawainya sendiri. Namun hari ini, entah mengapa dia merasa tidak tenang di kantor. Konsentrasi pun terpecah entah karena memikirkan apa. Nathan melihat Zefanya turun saat ia tiba di dalam rumah. Tampaknya gadis itu mendengar kepulangan dirinya sehingga lekas menghampiri. Melihat Zefanya berjalan dengan lebih normal dari sebelumnya membuat sebagian rasa yang mengganjal di hati Nathan sejak pagi mendadak hilang entah ke mana. "Apa yang kamu lakukan seharian ini di rumah?" tanya Nathan seraya melonggarkan dasi yang seharian ini terasa begitu mencekik. Ia menatap Zefanya dengan cermat. Memastikan gadis itu benar-benar sudah sehat. "Tidak ada, Pak. Saya hanya membersihkan kolam, ruang tengah, dan dapur barusan. Beberapa ruangan lain ...." Zefanya menghentikan ucapannya saat melihat Nathan memasang wajah yang tidak enak dilihat. Tampaknya, lelaki itu kesal. Apa yang salah kali ini? Zefanya membatin dalam hati. "Bukankah saya menyuruh kamu tinggal di rumah untuk istirahat?" "Eh, bagaimana?" Zefanya bertanya tak mengerti. Kepalanya sedikit memiring, bertanya hati-hati. "Bukannya kamu sedang sakit?" Nathan menatap lurus wajah Zefanya. "Saya meminta kamu istirahat di rumah agar cepat pulih. Atau kamu sengaja kecapekan supaya semakin lama sakit dan bisa leha-leha?" Ia bertanya sangsi. Sebelah matanya yang menyipit mempertegas bahwa dia meragukan Zefanya. Zefanya berdecak kesal dalam hati. Tidak mengerti dengan pemikiran Nathan. Ia di rumah juga bekerja, leha-leha bagaimana? Entah ikut dengannya atau pun di rumah, semua sama saja. Dasar aneh. "Pak." Zefanya hendak memberikan pembelaan diri, tetapi Nathan mengangkat tangannya sambil melihat layar ponsel yang menyala. Tampaknya, seseorang menghubungi laki-laki tersebut. "Saya angkat panggilan ini dulu," kata Nathan, seraya berjalan menjauh dari tempat Zefanya berada. "Kamu, cepat istirahat dan pastikan besok pagi sudah pulih agar bisa kembali bekerja. Paham?" "Baik, Pak." Dan hanya kata itu yang bisa terucap dari bibir Zefanya. Dia tidak memiliki kesempatan untuk menjelaskan atau pun memberi pembelaan untuk dirinya. Sementara itu, Nathan tampak mengerutkan kening mendapat panggilan dari kontak yang tertera di layar. Dia menghela napas dalam sebelum menggeser tombol hijau dan panggilan tersambung. "Mari bertemu di restoran favoritku," gumam orang di seberang sana tanpa basa-basi. Nathan tidak diberi kesempatan sama sekali untuk menyapa terlebih dahulu. "Kamu sudah tidak mabuk?" Nathan bertanya, alih-alih memberikan jawab atas ajakan orang di balik panggilan telepon yang tersambung dengannya. "Jangan meledekku, Nath!" Sebuah pekikkan kesal terdengar, membuat Nathan terkekeh kecil dibuatnya. "Aku sudah di jalan sekarang. Aku akan menunggu kamu di sana, jadi cepat jalan." Nathan semakin bingung hingga mengerutkan alis. "Ada apa? Kamu tampak buru-buru sekali, Katya." Zefanya mencuri dengar saat Nathan mengucapkan nama Katya. Gadis itu diam-diam menatap Nathan sambil meringis di belakang sana. "Ada hal penting yang harus kita bicarakan. Jangan buang waktu dan lekas kemari." Panggilan Katya terputus begitu saja, sehingga Nathan hanya bisa menggeleng pelan dibuatnya. "Dia tidak pernah berubah. Selalu saja melakukan segala sesuatu seenaknya." Nathan menggerutu pelan sambil menggelengkan kepala. Pria itu berbalik, menghampiri Zefanya yang masih berdiri di tempat semula. "Saya akan pergi lagi keluar. Kamu istirahat dan pastikan besok sudah sangat sehat." "Ah, baik. Hati-hati di jalan, Pak Nathan." Zefanya mengangguk pelan. Sementara di dalam sana, di dalam hatinya, sesuatu terasa begitu mencubit. *** Nathan mencari sosok Katya yang akan dia temui hari ini. Gadis yang berprofesi sebagai model itu akan tampak mencolok karena memiliki tubuh tinggi ramping serta wajah oriental yang pekat. Dan benar saja, tidak butuh waktu lama untuk lelaki itu mengetahui di mana Katya duduk. "Sepertinya, kamu langsung datang ke sini setelah pemotretan," sambut Nathan saat tiba di hadapan Katya lalu duduk di kursi yang berseberangan dengan perempuan itu. "Aku tidak punya jadwal pemotretan apa pun hari ini," balas Katya, merotasikan bola mata dengan malas. Nathan tersenyum geli. "Oh, aku lupa. Penampilan kamu selalu on top. Hanya pergi ke restoran yang jaraknya tidak sampai tiga kilo meter saja kamu harus merias serta menata rambut seperti akan pergi ke acara besar di luar kota." "Sialan," desis Katya sebal. Sementara Nathan terkekeh pelan karena umpatan teman kecilnya itu. "Jadi, apa hal penting yang membuat kamu begitu tidak sabaran menyuruhku kemari?" tanya Nathan pada perempuan yang rambutnya dicat ombre itu. Hening selama beberapa saat, Katya tidak langsung menjawab pertanyaan Nathan. Mata cokelat muda perempuan itu menatap Nathan lurus-lurus. Ada sedikit keraguan terselip di antara netranya. Namun sejurus kemudian, dia mencondongkan tubuh ke meja, lebih dekat pada Nathan. "Ayo kita setujui rencana para orang tua," ucapnya secara mantap. Nathan memicing mendengar penuturan Katya yang ambigu. "Apa maksud kamu?" Ia tanya. "Kita menikah, seperti yang orang tua kita inginkan." Katya membalas lebih mantap. Keraguan yang barusan terselip di antara pandangannya kini lenyap. Hanya ada tekad di sana. Tekad untuk melakukan apa yang barusan ia katakan pada Nathan. Sedangkan Nathan sendiri hanya bisa melongo mendengar ucapan Katya yang terasa tiba-tiba. "Kamu gila? Menikah? Kita berdua?" Nathan akhirnya bersuara setelah beberapa saat hanya membuka mulut dengan syok. Katya mengangguk tegas. "Ya. Aku benci diganggu dengan pertanyaan kapan bawa calon, kenapa selalu tidak serius dengan satu pria. Lebih tepatnya, keluarga besar berusaha bertanya, kapan menikah?" keluh Katya. Nathan sendiri sudah sering mendengar keluhan serupa dari gadis itu setiap kali mereka bertemu. Tapi tidak menyangka jika akhirnya Katya akan mengutarakan sebuah ajakan seperti ini. "Aku tidak bisa," gumam Nathan. "Kamu tahu alasan dulu aku selalu menolak kamu. Meski mungkin itu terdengar bodoh karena sudah terlalu lama, tetapi saat ini pun alasannya masih sama." "Karena kita teman? Kamu takut perasaan dan hubungan lain yang tiba-tiba terjadi merusak pertemanan kita lagi?" Katya mengingat dengan jelas semua kejadian yang menimpa mereka waktu itu. Perasaan kekanakan Katya yang tak terbalas. Alasan Nathan. Pertemanan yang merenggang. Semuanya tersimpan rapi di ingatan Katya sebagai kenangan. "Aku tahu ide ini mungkin gila," ucap Katya, melihat Nathan dengan serius. "Tapi, aku rasa semuanya tidak akan merugikan kita berdua. Kamu tidak ingin menikah karena tidak ada perempuan yang kamu sukai. Kamu juga tidak mempercayai hubungan baru. Sementara aku, aku ingin tetap bebas. Aku juga enggan terikat secara emosional dengan seseorang apalagi sampai menikah, karena ruang gerakku akan terbatas. Kita berdua sama-sama tidak ingin menikah, jadi, kita harus menikah." "Sebentar." Nathan mengangkat tangan ke depan. Keningnya mengkerut bingung. "Kita menikah karena sama-sama tidak ingin menikah, maksudnya bagaimana?" "Pernikahan kita hanya di atas kertas, Nathan." Katya menjelaskan dengan lebih singkat, padat, dan jelas. "Kita menikah hanya untuk memenuhi tuntutan orang tua agar kita menikah. Sisanya, kita menjalani kehidupan masing-masing." Mendengar pernyataan terakhir Katya, Nathan berdecak keras. "Dasar sinting!" decaknya tak habis pikir. "Lalu bagaimana dengan anak, huh? Kamu pikir kenapa orang tua kita menginginkan kita menikah? Karena mereka ingin punya cucu!" Katya tersenyum lebar. Mensedekapkan tangan di atas perut. "Itu persoalan gampang sebenarnya," ungkap Katya. "Kita bisa tetap melakukan hubungan suami istri seperti biasa, sampai aku hamil. Hanya, jangan terikat secara emosional dan biarkan kita bebas masing-masing. Kita berikan satu cucu untuk orang tua kita agar mereka senang. Setelah itu, beres." "Dan nasib anak kita?" Nathan kembali bertanya. "Dia punya dua keluarga besar, Nathan. Keluarga dari ibunya dan juga ayahnya. Dia tidak akan kekurangan kasih sayang," balas Katya begitu santai. "Kamu juga orang kaya. Kita bisa menyewa sepuluh baby sitter kalau mau, untuk mengurusi dia. Iya, kan?" "Tapi tetap saja ini konyol." Katya memutar bola matanya dengan jengah. Kembali mencondongkan tubuh ke depan. Kali ini, kedua tangannya bersedekap di atas meja sementara netra melihat Nathan lurus-lurus. "Sebenarnya yang patut ragu di sini adalah aku bukan kamu, Nath!" Katya berdecak. "Aku harus cuti dari pekerjaan selama beberapa waktu ketika hamil. Lalu setelah melahirkan, aku juga harus bekerja keras mengembalikan tubuh ke bentuk semula." "Bagaimana kalau pada saat itu, salah satu dari kita justru malah terikat secara emosional?" tanya Nathan, mengajukan pertanyaan masuk akal yang sewaktu-waktu jelas tidak bisa mereka hindari. "Itu konsekuensi masing-masing." Katya membentuk bibir menjadi satu garis tipis. "Jika salah satu dari kita mulai memakai perasaan, kita pasti sadar. Dan jika ternyata kita berdua sama-sama memakai perasaan, tentu akan ada kompromi, bukan?" Lama, Nathan hanya diam termenung. Ia memikirkan banyak hal, sebab pernikahan bukan sesuatu yang bisa semudah itu dilakukan. Meski sebenarnya Nathan sama sekali tidak tertarik untuk melakukan pernikahan, tetapi tetap saja dia juga tidak berani bermain-main dengan kata itu. Bagi kebanyakan orang, pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan suci. Sesuatu yang hanya ingin mereka lakukan satu kali. "Dengar, Nath. Orang tua aku suka sama kamu. Bagi mereka, kamu adalah menantu ideal. Begitu pun mama kamu. Dia juga menyukai dan menginginkan aku menjadi menantunya. Bukankah dengan begitu kita juga sudah menyenangkan hati mereka semua, benar?" Katya kembali meyakinkan Nathan. Kali ini, Nathan cukup terpengaruh oleh pembicaraannya. Terlihat dari wajahnya yang tidak seserius beberapa saat lalu. Nathan menghela napas panjang. Kemudian memusatkan atensi pada Katya. "Baiklah," gumam Nathan akhirnya. "Mari kita melakukannya dan diskusikan mengenai banyak hal yang harus dan tidak harus kita lakukan. Serta yang boleh dan tidak boleh dilakukan antara kita berdua." Mendengar itu, senyum Katya mengembang. Ada rasa lega di balik senyuman lebar tersebut. "Okay, deal!" dia berujar senang. Menularkan senyumnya pada Nathan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN