14. Butterfly Effect

1835 Kata
Nathan keluar dari kamar mandi seusai membersihkan diri. Pakaian kantornya sudah tersedia di atas ranjang yang telah rapi. Yang pastinya hal itu disiapkan oleh Zefanya. Senyum lelaki itu mengembang tanpa diminta. Membuatnya buru-buru mengenyahkan senyum tersebut dan lekas mengambil pakaian tersebut lalu memakainya. Saat turun ke bawah, harum bau roti yang telah dipanggang menguar, menusuk indera penciuman, membuat perut Nathan keroncongan seketika. Pria itu terus melanjutkan langkah ke dapur hingga menemukan sosok Zefanya bersama mesin pemanggang roti dan juga selai aneka rasa dan keju yang ia siapkan di meja. "Memangnya semalam kita membeli roti?" tanya Nathan, duduk di kursinya. Zefanya menoleh pada Nathan dan tersenyum kecil. "Ya, saya memasukkan beberapa bungkus roti tawar serta selai untuk sarapan," katanya. Perempuan itu menyajikan roti yang telah ia bakar di atas piring. "Anda mau selai rasa apa?" tanyanya kemudian. Nathan menatap botol-botol selai yang tersedia di meja, kemudian senyum kecil hadir di bibir lelaki itu. "Saya ingin nanas," balasnya dengan mata yang berbinar seperti anak kecil. Zefanya lekas membuka botol selai yang Nathan sebutkan. Mengoleskan selai tersebut ke atas sepasang roti di piringnya, lalu menumpuk roti-roti tersebut menjadi satu. Disodorkannya sarapan tersebut pada Nathan dengan garpu dan pisau makan. "Saya tidak akan menyajikan roti setiap hari. Hanya sesekali saja," ucap Zefanya begitu Nathan menyantap sarapannya dan tersenyum kecil sambil manggut-manggut. Ia tahu, Nathan menyukai roti panggang. "Kenapa begitu?" Nathan bertanya dengan nada agak memprotes. "Saya harus memastikan asupan gizi Anda cukup. Setiap hari saya harus mengganti menu sarapan dan makan malam Anda, Pak," balas Zefanya dengan logis. Nathan tampak menghela napas keberatan. Tapi apa boleh buat? Setelah selesai dengan sarapannya, Nathan lekas berdiri. Dan Zefanya menghampiri tempat duduk pria itu untuk mengambil piring kotor bekas sarapannya. "Saya akan tunggu di mobil. Jangan lama," gumam Nathan. Namun, Zefanya menarik lengan jasnya sehingga Nathan menghentikan langkah seketika. "Ada apa?" tanyanya. Zefanya tampak mengamati dadanya. Gadis itu lantas meletakkan kembali piring yang hendak ia bawa ke dapur dan kembali menegakkan tubuh. "Dasi Anda tidak rapi, Pak," kata Zefanya. "Maaf, boleh saya benarkan?" ia menatap Nathan dengan polos, meminta izin. Bodohnya, Nathan seolah tersihir oleh kepolosan dari tatapan Zefanya. Ia bagaikan orang bodoh yang hanya bisa mengangguk tanpa sadar. Benaknya tiba-tiba saja terasa kosong melihat Zefanya. Apalagi saat gadis itu maju selangkah semakin dekat ke hadapannya, kemudian meraih dasi miliknya. Wajah fokus Zefanya ketika merapikan dasi membuat Nathan sungguh terpana. Dengan wajah ayu dan tatapan seriusnya, ia begitu mempesona. Embusan napas Zefanya yang menerpa leher dan bagian bawah wajahnya membuat Nathan seketika mengepalkan tangan dengan erat. Desiran di dadanya tercipta semakin nyata. Gugup dan bingung menyatu dalam benak. Ini persis seperti apa yang dialaminya dulu. "Sudah selesai," gumam Zefanya, tersenyum. Jika saja ini adalah sebuah film, maka di sekeliling wajah tersenyum Zefanya pasti terdapat cahaya-cahaya menyilaukan, atau bunga-bunga yang mengembang cantik. Sementara di d**a Nathan, sebuah animasi berbentuk love keluar dan berdetak keras. Nathan berdeham karena pemikiran bodohnya. "Baiklah," katanya kemudian. "Ayo, berangkat. Ini sudah terlalu siang." Pria itu memasang ekspresi datar, lalu melenggang meninggalkan Zefanya. Padahal, jauh di dalam sana, jantungnya seolah sedang melakukan marching band. *** Nathan sesekali melirik pada Zefanya yang saat ini tengah membuatkan teh untuknya. Deru napas perempuan tersebut yang menyapu bawah wajahnya tadi pagi terus terngiang di benak, membuat fokus Nathan terpecah untuk ke sekian kali. Dering ponsel pribadinya membuat Nathan lekas mengalihkan perhatian dari perempuan itu. Ternyata panggilan dari ibunya. "Kamu luang malam ini?" tanya Dara tanpa basa-basi, begitu Nathan mengangkat teleponnya. Nathan melirik sekilas pada Zefanya yang saat ini berjalan dengan nampan berisi teh yang ia buat barusan. "Ya. Aku rasa aku luang. Ada apa? Mami mau berkencan bersamaku?" tanya Nathan disisipi nada jenaka. Dara terkekeh nyaring di seberang sana. "Pergi temui Katya. Dia bilang, dia sudah lama tidak dinner bareng kamu," ia membalas. Sama sekali tidak bisa menyembunyikan nada excited di dalam suaranya. "Mami ketemu Katya?" Nathan bertanya dengan kedua alis saling bertaut. Bertepatan dengan itu, Zefanya meletakkan teh-nya di atas meja Nathan. "Tentu saja." "Apa tanggapan Katya atas rencana para orang tua?" Nathan kembali bertanya. Dia menatap Zefanya sejenak, untuk mengucapkan terima kasih lewat isyarat seperti anggukan pelannya. Dara tampaknya tersenyum di sana. "Seperti yang Mami harapkan. Ada lampu hijau. Tapi untuk jelasnya, kamu temui saja dia nanti dan tanyakan bagaimana baiknya." "Aku tidak yakin dia setuju. Selain karena alasan yang pernah aku sebutkan, itu juga karena ... aku Nathan." "Ada apa jika itu kamu?" "Dia pernah menyukaiku ketika SMP, Mami tidak ingat? Dia seperti ngengat yang terus mengganggu. Dan aku terus menolak dia sehingga ketika SMA, dia tidak ingin satu sekolah lagi denganku." Zefanya perlahan menjauh dari Nathan. Merasa tidak sopan mendengarkan percakapan bos-nya. Selain itu juga ... ada perasaan tidak nyaman dalam hatinya. Astaga. Apa yang aku pikirkan sekarang? Zefanya merutukki diri di dalam hati. *** Zefanya mendesah lelah untuk ke sekian kali. Rasa pusing terus mendera kepalanya, yang semakin lama semakin terasa menyakitkan. Beruntung Nathan tidak begitu rewel hari ini, sehingga ia bisa mencuri-curi waktu beberapa menit untuk beristirahat. Kini, waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Zefanya membantu Nathan merapikan meja dan mengambil gelas sisa teh-nya tadi siang. Nathan berdiri dari duduknya. Berjalan ke arah cermin besar yang ia letakkan di sudut ruangan, memanut penampilannya. "Saya harus pergi keluar untuk keperluan pribadi. Kamu bisa pulang lebih dulu," ucapnya, sambil berjalan pergi begitu saja. Zefanya merasa ... dia ditinggalkan untuk ke sekian kali oleh sosok yang sama. "Baik, Pak. Hati-hati di jalan," Zefanya menjawab dengan nada riang. Namun siapa tahu, begitu Nathan hilang dari pandangannya, Zefanya nyaris saja menjatuhkan diri. Ada yang tidak beres dengannya. Zefanya rasa, ia sedang kesakitan. Kesakitan di banyak tempat. Namun, tidak ingin lemah, Zefanya menarik napas panjang, berusaha mengontrol diri. Lalu berjalan keluar dengan langkah mantap. *** Gelas berisi air mineral di genggamannya sudah kembali tandas. Sejak kepulangannya, Zefanya terus menerus minum karena tenggorokannya terasa panas terbakar. Kepalanya juga pening luar biasa. Tampaknya, sebentar lagi dia akan flu. Zefanya berdiri lunglai, berjalan tertatih-tatih menuju dapur untuk mengisi kembali teko ke duanya. Seharusnya ia meminum obat di saat telah menyadari gejala sakitnya lebih awal. Namun, Zefanya tidak tahu di mana Nathan meletakkan kotak P3K. Dia juga menyalahkan dirinya sendiri yang lupa untuk mampir ke apotik saat pulang tadi. Mungkin, dia harus menelpon Raka setelah ini. Dokter pasti tahu kiat yang bisa dilakukan untuk meredakan gejala. Zefanya kembali duduk di sofa ruang tamu. Sesekali, melirik pada pintu, berharap seseorang yang familier untuknya masuk dan mengomel seperti biasa. Tapi nihil. Tidak ada tanda-tanda seseorang datang. Zefanya mengusap wajah. Merasa bodoh karena ia menantikan sesuatu yang tidak seharusnya ia nantikan. Bagus Nathan tidak ada, sehingga Zefanya tidak perlu bolak-balik kamar lelaki itu untuk memenuhi keperluannya di saat tubuh Zefanya sendiri ringkih seperti ini. Zefanya membuka ponsel dan mengirimkan sebuah pesan singkat pada Raka. Jika menelepon, takut lelaki itu sedang sibuk. Zefanya rasa, hari ini dia shift malam. Zefanya Adya: [Sepertinya aku akan flu. Apa yang bisa aku lakukan untuk meredakan gejala tanpa meminum obat?] Tidak ada balasan selama beberapa menit. Bahkan pesannya masih centang satu. Ketika status pesan berubah telah terbaca, beberapa sekon kemudian ponsel Zefanya berdering. Rupanya, Raka lekas menelepon dirinya. "Kamu sakit?" tanya Raka segera di seberang sana setelah panggilan tersambung. "Kenapa tidak meminum obat? Aku rasa kamu tidak punya alergi terhadap obat apa pun." Zefanya kembali menenggak air sedikit. "Aku tidak tahu di mana Nathan meletakkan kotak P3K. Dia sedang tidak di rumah. Aku juga sepertinya tidak sanggup pergi keluar dalam keadaan ini," balas Zefanya dengan lemah. Sesekali ia terbatuk karena tenggorokannya benar-benar kering dan gatal. Terjadi keheningan selama beberapa sekon hingga Raka menjawab, "Baiklah. Aku akan ke sana." Jelas saja Zefanya membeliak mendengar jawaban itu. "Raka, kamu pasti sibuk di rumah sakit," katanya. Tersisip nada panik di dalamnya. "Aku akan meminta izin sebentar. Setidaknya, aku harus tahu keadaan kamu." "Aku hanya flu biasa, Raka." Zefanya meyakinkan. Namun Raka tetaplah Raka, yang begitu gampang khawatir, apalagi jika itu menyangkut dirinya. Pria itu memang begitu baik. "Tunggu saja di sana, aku akan tiba dalam setengah jam." Zefanya membuka mulut hendak menjawab kembali, tetapi telepon sudah lebih dulu terputus. Akhirnya dia hanya bisa menghela napas dan meletakkan ponselnya di d**a. Seharusnya, dia tidak pernah menghubungi lelaki itu. Karena ia tahu pasti, akhirnya pasti akan seperti ini. *** Benar saja, Raka tiba di rumah Nathan sesaat kemudian. Itu bahkan tidak sampai setengah jam seperti yang dijanjikannya. Pria itu masih mengenakan kemeja minus jas dokter miliknya. Sebuah keresek jinjing juga dia bawa, yang sepertinya berisi obat-obatan untuk Zefanya. Raka lekas menghampiri Zefanya yang berdiri lesu ketika membuka pintu. Telapak tangannya mendarat cepat di kening Zefanya. Sementara raut wajah jelas tampak begitu khawatir. "Ze, suhu tubuh kamu tinggi sekali. Kamu bilang kamu tidak apa-apa?" ujar Raka. Dia lekas memeluk bahu ringkih Zefanya dan membawanya duduk di sofa. "Aku sungguh tidak apa-apa," balas Zefanya lemah. "Bisakah kamu berikan saja obat agar aku bisa tertidur?" ia meminta dengan kedua matanya yang lemah menatap Raka dengan tatapan sayu. "Kamu yakin tidak ingin pergi ke rumah sakit?" tanya Raka seraya mengeluarkan termometer untuk mengecek suhu tubuh Zefanya. "Suhu kamu mencapai 39 derajat, Ze, demi Tuhan!" Raka memekik cemas begitu melihat angka di termometer digitalnya. Namun Zefanya menggeleng pelan, tetap pada pendiriannya untuk tinggal di rumah. "Aku sangat yakin, seratus persen." Raka menghela napas pelan. Tidak tahu harus bagaimana lagi meyakinkan Zefanya. "Kamu memang keras kepala, Zefanya. Sungguh." "Namaku bukan Zefanya jika aku tidak keras kepala." "Haruskah aku meminta kepada Nathan agar pekerjaanmu lebih ringan? Aku juga akan memintakan kamu jatah cuti," saran Raka, menatap Zefanya dengan sendu. Dia sungguh khawatir dengan keadaan perempuan itu. Selama perjalanan pulang tadi, jantungnya nyaris saja meledak memikirkan bagaimana keadaan Zefanya. "Raka, dia tidak tahu kamu yang merekomendasikan aku. Lebih baik dia tidak pernah tahu juga hal itu, karena ketika dia tahu, akan ada banyak kisah lain yang harus diceritakan. Kamu tahu lebih dari siapa pun, aku tidak suka seseorang melihatku dengan tatapan iba." Raka menatap lurus-lurus mata Zefanya. Dia mengalami dilema. Tapi sesaat kemudian, dia menyerah. "Baiklah. Apa boleh buat jika itu mau kamu," katanya, pasrah. Zefanya tersenyum kecil. "Kamu dapat shift siang? Aku pikir, hari ini kamu dapat shift malam." Zefanya bertanya skeptis. Raka mengeluarkan obat yang ia bawa. Tidak jadi beranjak mengambil air sebab di genggaman Zefanya masih tersedia segelas air yang sepertinya baru ditenggak sedikit. "Sebenarnya, malam." "Lalu?" Zefanya menatap Raka dengan penuh selidik. Dia tidak suka Raka meninggalkan pekerjaan serta pasiennya hanya karena dirinya seperti ini. Raka mengedikkan bahu. "Aku akan kembali sebentar lagi." Zefanya menggeleng pelan. "Aku sudah meminum obat. Aku akan tertidur pulas dan bangun dengan keadaan lebih sehat. Kamu bisa kembali sekarang, Raka." "Tapi kamu tinggal sendirian di rumah besar ini, Ze. Kamu pikir aku akan tenang?" balas Raka. Tatapan matanya menegaskan apa yang ia katakan barusan. Dia khawatir. Sangat. "Pak Nathan pasti pulang sebentar lagi," balas Zefanya meyakinkan. Tapi jelas, Raka tidak akan mengiyakan begitu saja. "Kalau begitu, biar aku antarkan dulu kamu ke kamar dan memastikan kamu tidur lelap, baru aku akan kembali." "Baiklah. Sebaiknya aku lekas tidur jika tidak ingin mengganggu pekerjaanmu lebih lama," ucap Zefanya, tersenyum tipis. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN