Nathan melayangkan tatapan tak percaya atas apa yang Katya ucapkan barusan. Ia melirik ke arah pintu, di mana Zefanya baru saja keluar. Entah gadis itu mendengar ucapan Katya barusan ataukah tidak. Tapi ... bukankah itu bukan masalah meskipun Zefanya mendengarnya? Ah, entahlah!
"Kamu yang paling tahu bahwa saat itu bukan ciuman pertama kita," keluh Nathan kesal. Lagi-lagi, pria itu memijit pangkal hidung dan juga pelipisnya.
"Ayolah, Nath! Bagi aku, itu tetap ciuman pertama kita."
"Bagiku bukan," Nathan berujar ketus. "Kamu mencuri kecupan itu dariku saat aku tertidur di kelas. Dan kamu melakukannya di depan banyak orang. Hanya demi membuktikan kegilaan kamu!"
"Tetap saja, itu ciuman, Nath!" gurau Katya, lalu tergelak karena melihat reaksi Nathan yang tampak semakin kesal. Astaga, kejadian itu sudah sangat lama. Bahkan, itu sama sekali tak berarti kini. Bagaimana bisa Nathan masih tetap sensitif saat mengungkitnya?
"Kamu sensitif sekali setiap kali aku membahas soal ciuman itu," gumam Katya, memicing curiga menatap Nathan. Nathan turun dari kursinya, berjalan sedikit lemas ke sofa lalu duduk di sana dengan pundak merosot. Katya mengikuti pria itu. Mendaratkan tubuh tepat di sisi Nathan. Ia sengaja memiringkan badan agar bisa melihat Nathan dengan leluasa, meskipun Nathan tampak tak nyaman dibuatnya. "Jangan bilang ... kamu menyukai aku juga saat itu? Tapi kamu terlalu gengsi mengatakannya."
Melihat Nathan memicing kesal, Katya tahu tebakkannya salah. "Kalau begitu, ada seseorang yang dengannya kamu melakukan ciuman pertama. Benar?" tebak Katya lagi.
Kali ini, Nathan hanya menghela napas berat. Dan Katya dilanda penasaran yang hebat. Reaksi Nathan barusan tidak memberikan clue sedikit pun.
"Demi Tuhan, Nathan! Kamu tidak benar-benar gay, kan?!" jerit Katya frustrasi.
Mendengar tuduhan tak mendasar Katya, Nathan memberikan delikan sebal. "Aku menyukai wanita," balasnya malas.
"Tapi kamu tidak pernah kencan! Kamu juga malas berurusan dengan wanita. Manusia mana yang mempercayai kamu normal, sementara kamu seperti ini?"
"Apakah kencan dengan seorang perempuan bisa menjadi jaminan bahwa seorang lelaki normal? Banyak kasus di mana seseorang kencan hanya untuk menutupi identitas aslinya," jelas Nathan. "Begitu pun sebaliknya. Tidak terlihat berkencan dengan perempuan bukan berarti seseorang itu gay."
Katya menggelengkan kepala sambil meniupkan napas. Dia mendekatkan diri kepada Nathan. "Baiklah. Kalau begitu, tatap mataku sekarang," ujar Katya. Memaksa Nathan untuk menatap matanya. "Apakah aku cantik?" Katya tanya.
Tanpa ragu, Nathan mengangguk. "Ya, semua orang tahu kamu cantik."
"Ini bukan pertanyaan umum!" decak Katya kesal. "Menurut kamu pribadi, aku cantik bukan?"
"Astaga. Iya, aku bilang kamu cantik."
"Bagaimana dengan tubuhku?" Katya memasang pose menggoda, seperti tengah melakukan pemotretan. "Aku seksi, kan? Bagian tubuh mana yang kamu sukai dariku?"
"Berhenti melakukan hal menggelikan itu, Katya, sungguh!"
"Apanya yang menggelikan? Ini pose seksi, Nath!"
"Bagiku itu menggelikan. Aihs, sial!" Nathan terduduk kembali di sofa dengan Katya yang berada di atas tubuhnya.
Katya terkekeh pelan karena reaksi frustrasi dari Nathan. "Nath, kalau kamu tidak tergoda, artinya kamu tidak normal," gumam Katya dengan senyum penuh arti. Wanita itu menyingkap kemeja miliknya lalu kedua kakinya naik ke atas sofa, semakin memerangkap Nathan dalam situasi yang tidak menguntungkan. Bukan hanya itu, Katya bahkan sengaja membuka beberapa kancing kemeja teratasnya, membuat Nathan semakin cemas.
"Hei, kamu tidak akan mencabuli aku di siang bolong begini, kan?" tanya Nathan, memicing menatap Katya.
"Kamu pikir?" tanya Katya, tersenyum miring.
Kulit putih mulus Katya terpampang nyata di depan Nathan, tetapi Nathan tidak merasakan apa pun. Ya, sama seperti wanita-wanita yang pernah tidur dengannya. Dia tidak merasakan hasrat yang begitu mendebarkan. Semuanya terasa hambar, hampa, dan tidak menggairahkan, seseksi apa pun tubuh-tubuh wanita itu.
Pun dengan Katya. Dia seorang model. Tubuhnya indah terawat. Dadanya tidak besar, tidak juga kecil, tetapi pas dan kencang. Bokongnya juga memiliki lemak yang cukup. Belum lagi dengan wajahnya yang cantik jelita. Banyak pria mungkin berimajinasi bisa tidur atau sekadar menyentuh sedikit tubuh moleknya. Tapi, Nathan ... dia tidak merasakan apa-apa.
"Nath, kamu harus pandai dalam hal ini jika ingin memiliki keturunan," gumam Katya, sedikit berbisik.
Nathan masih mendiamkan Katya meskipun wanita itu kini tengah melonggarkan dasi miliknya lalu mulai melepaskan dua kancing teratas kemeja yang Nathan pakai.
Ceklik. "Ah-eh, maaf. Maaf, saya tidak bermaksud mengganggu kalian. Maafkan saya, sungguh."
"Hei, hei. Kamu kenapa?"
"Tidak. Aku hanya ... tampaknya tubuhku tidak baik-baik saja."
"Oh, astaga. Kamu demam, Nathan!" pekik Katya. Dia lekas membawa Nathan kembali duduk, lalu memanggil Zefanya.
***
"Kamu pembantu rumah tangga Nathan?"
Pertanyaan yang dilayangkan oleh Katya begitu menohok di hati Zefanya. Benar, pekerjaannya tidak jauh dari hanya seorang pembantu. Asisten pribadi? Itu hanyalah kata yang lebih halus. Ia hanya seorang pembantu dan Nathan adalah majikannya. Hanya saja, tugas Zefanya memang lebih spesifik dari sekadar pembantu rumah tangga.
"Ya, saya pembantu Pak Nathan. Asistennya," jawab Zefanya, tersenyum formal. Tidak ingin menunjukkan rasa tersinggungnya atas ucapan calon tunangan Nathan tersebut.
"Ah, baiklah. Aku lega ada seseorang yang bisa menjaganya," gumam Katya, mengembuskan napas panjang. "Tante Dara pergi ke Jepang tadi pagi dan aku ada pemotretan sore ini. Jadi, tolong jaga Nathan."
"Baik, Mbak. Saya akan menjaga Pak Nathan."
"Okay. Aku mempercayakan Nathan padamu."
Zefanya mengangguk singkat. Lalu Katya pergi dengan begitu buru-buru, menenteng tas tangannya yang Zefanya tahu dari brand besar yang harganya pasti mencapai puluhan juta untuk edisi terbatas.
Gadis itu melongok ke dalam kamar Nathan. Tampak pria itu terlelap dengan napas agak tersengal-sengal. Suhu tubuhnya begitu tinggi, dadanya pasti terasa sesak.
Zefanya melangkahkan kakinya, menapaki lantai dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara mengganggu yang akan membangunkan Nathan. Perempuan itu mengambil pengharum ruangan beraroma kayu-kayuan yang menenangkan. Dia ingat, Nathan memang menyukai aroma tenang seperti itu.
Zefanya meletakkan pengharum ruangan tersebut di nakas sisi ranjang. Kemudian duduk di sisi Nathan yang terlelap kepanasan.
"Kamu pasti sakit karena malam kemarin terjaga semalaman. Kamu merawat aku sampai pagi, padahal kamu tahu jadwalmu padat. Aku minta maaf."
Mengingat malam itu, membuat Zefanya dirundung kegamangan. Satu sisi, dia merasa begitu senang, tahu bahwa di balik sikap menyebalkan Nathan, ia masih tetap peduli padanya. Satu sisi lainnya, Zefanya merasa hatinya kesakitan jika ingat Nathan pulang lewat tengah malam setelah bertemu Katya. Mereka pasti menghabiskan waktu dengan bersenang-senang. Zefanya bisa mencium aroma parfum wanita yang bercampur dengan alkohol di kemeja Nathan pagi itu.
"Kalau kamu tahu itu, kamu harus membalas budi."
Zefanya terkejut mendengar suara serak Nathan. Dia kira lelaki itu sedang tertidur dan tidak bisa mendengar suaranya, rupa-rupanya Nathan justru sadar. Saat Zefanya melihatnya, Nathan tengah melirik padanya dengan mata sayu, sehingga Zefanya tidak tahu apakah pria itu tengah sinis atau justru arogan seperti biasa.
"Pak, Anda membutuhkan sesuatu?" Zefanya lekas bertanya. Sebab tanpa menjawab ucapan Nathan sebelumnya, dia sudah tahu harus apa.
"Air. Tenggorokanku rasanya panas."
Tanpa menunggu perintah dua kali, Zefanya lekas-lekas menuangkan air putih ke dalam gelas dan membantu Nathan duduk agar bisa meminum airnya.
"Anda sudah merasa baikan, Pak?" tanya Zefanya sambil mendaratkan dirinya di atas kursi di sisi ranjang Nathan.
"Tidak. Saya merasa seperti sedang sekarat saat ini," gumam Nathan seraya memejamkan mata dengan lirih.
Zefanya mengulum senyum mendengar hal itu. Membuat Nathan menoleh dan menatapnya dengan penuh tanya. Kali ini, Zefanya tidak lagi menahan senyumnya. Ia mengembang dengan begitu sempurna.
"Saat seperti ini, Anda sangat mirip dengan seseorang yang saya kenal. Seseorang yang jika merasa sakit atau lelah, pasti akan mengatakan apa yang Anda katakan tadi, bahwa dia merasa seperti sedang sekarat."
Nathan seketika terdiam mendengar penuturan Zefanya. Tanpa perlu perempuan itu jabarkan, Nathan tahu siapa yang Zefanya maksud. Orang itu adalah dirinya. Mungkinkah Zefanya masih ingat hal-hal tentangnya? Apakah Zefanya tidak pernah melupakannya seperti ia tidak pernah melupakan Zefanya? Atau ... semua ini hanya akal-akalannya agar ia kembali luluh dan Zefanya bisa memanfaatkannya lagi seperti dulu?
Nathan menelan salivanya dengan susah payah. Ia terdiam menatap Zefanya yang juga menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Tatapan yang di dalamnya mengandung jutaan emosi yang tidak bisa Nathan baca.
Nathan lekas mengalihkan wajahnya dari Zefanya. Ia memejamkan mata dan berpura-pura terlelap. Tidak peduli dengan omong kosong yang Zefanya racaukan.
Sementara, Zefanya asyik merasai jantungnya yang terkoyak nyeri. Kisah mereka berakhir dengan meninggalkan luka yang tak pernah usai. Luka yang entah mengapa selalu basah untuk Zefanya, karena kepergian Nathan bertepatan dengan hidupnya yang seketika jungkir balik. Luka yang seberapa pun Zefanya kubur, tetap menimbulkan rasa sakit yang dalam. Ia baru menyadarinya sekarang.
Zefanya membungkukkan tubuh lalu merebahkan kepala di bantal. Ia menatap Nathan yang dipikirnya sudah terlelap mengingat pria itu memejamkan mata sudah agak lama. "Aku pikir, saat ini aku sedang bermimpi kembali ke masa lalu," lirih Zefanya, tersenyum sendu. "Aku adalah Zefanya yang cantik dan memiliki segalanya, kamu adalah Nathaniel yang lugu tapi romantis. Kita adalah pasangan muda yang saling mencintai begitu besar."
Setitik air mata meluruh dari permata bening milik Zefanya. Mengalir melewati tulang hidungnya yang tinggi, kemudian berakhir di atas bantal Nathan. Kehadiran Nathan setelah sekian lama, membuat Zefanya goyah. Dia kembali mengingat semua momen indah hingga menyakitkan dalam hidupnya. Nathan mengingatkan Zefanya, bahwa dia hanyalah manusia biasa. Nathan mengingatkan Zefanya bahwa dia pernah punya hati, pernah begitu mencintai sebelum akhirnya jengah dan menutup hatinya rapat-rapat hingga kini.
Zefanya berjengit kaget saat Nathan tiba-tiba menolehkan wajah ke arahnya, sehingga wajah mereka begitu dekat saat ini. Zefanya bahkan bisa merasakan sapuan napas Nathan yang panas di wajahnya.
Zefanya lekas bangun, tetapi Nathan menahan pergelangan tangannya. Laki-laki itu bangkit duduk dengan mata yang masih terus menatap ke arahnya. Demi Tuhan, pria itu tidak dipengaruhi alkohol atau apa pun, tetapi dia seperti orang mabuk sekarang.
Nathan semakin menarik tangan Zefanya hingga mau tak mau Zefanya memajukan tubuh. Lalu sekali sentakan, Nathan kembali menarik hingga Zefanya berdiri dan beralih duduk di hadapannya.
Zefanya merasa dunia hanya berpusat pada mereka saat ini. Pada mata cantik Nathan yang sebelumnya tidak pernah bisa dia lihat terlalu lama. Pada kening Nathan yang masih memiliki bekas luka samar karena kecelakaan kecil yang dia alami saat mereka muda.
Jantung Zefanya yang awalnya bergemuruh hebat karena Nathan begitu dekat dengannya, mendadak berdenyut sakit. Tangan Zefanya bergerak perlahan menyentuh kening lelaki itu. Memberikan sapuan ringan di atas bekas luka tersebut. Zefanya tidak tahu, hanya saja, menyadari bekas luka itu masih ada, seolah membuatnya merasa benar-benar tengah berada di masa lalu yang indah bersama Nathaniel-nya.
Zefanya menghentikan usapan lembut di kening Nathan saat Nathan menahan tangannya. Memegang lembut pada pergelangan tangan Zefanya dan menurunkannya perlahan. Zefanya tersenyum manis, yang seketika mengubah raut wajah Nathan.
"Nathan. Nathaniel," Zefanya bergumam lirih.
Jika ini adalah mimpi, Zefanya sama sekali tidak ingin terbangun. Ia ingin terus bersama Nathan dari masa lalu yang selalu mencintai dan memberinya semangat dalam keadaan apa pun. Zefanya akan melupakan fakta bahwa Nathan pergi meninggalkannya. Yang akan diingat Zefanya hanya Nathan yang mencintainya tanpa syarat.
"Zeze. Zefanya," Nathan juga menggumamkan nama Zefanya seperti mantra.
Lalu ciuman itu terjadi begitu saja. Membuat keduanya tenggelam dalam perasaan familiar yang pernah mereka rasakan. Membawa keduanya menuju perasaan deja vu yang membingungkan. Sampai tiba-tiba, Zefanya merasakan tubuh Nathan menegang. Lalu ... lelaki itu menjauh. Melepaskan dirinya. Dan Zefanya, merasa dicampakkan untuk ke sekian kali.
***