Lebih dari pukul satu dini hari, Nathan memarkirkan mobilnya di halaman. Lalu turun dari kendaraan roda empat keluaran terbaru itu, mengusap tengkuk, lelah setelah mengamankan dua temannya yang menggila dan mabuk.
Begitu membuka pintu dan masuk ke dalam rumah, dia dikejutkan dengan sosok Zefanya yang tertidur di sofa. Gadis itu berbaring dengan posisi meringkuk seperti janin bayi. Secara naluriah, Nathan tergerak untuk mendekat pada perempuan itu, lalu terdiam selama beberapa saat.
"Kenapa dia tidur di sini?" dia bertanya pada dirinya sendiri, kemudian berjongkok di sisi sofa tersebut, mengamati Zefanya yang wajahnya tersembunyi di balik rambut yang tampak lepek karena keringat.
"Zefanya?" panggil Nathan, membangunkan Zefanya.
Tanpa harus memanggil untuk kali kedua, tubuh Zefanya langsung bereaksi. Gadis itu mengangkat wajah menatap Nathan, lantas langsung terduduk kendati tampak begitu sulit. "Anda sudah pulang, Pak," gumam Zefanya serak.
Sekarang Nathan bisa melihat dengan jelas wajah Zefanya. Dan itu, jauh dari apa yang ia pikirkan. Wajah Zefanya begitu pucat, tetapi merona merah di saat yang sama. Tatapan matanya tak fokus, bibirnya kering, peluh tampak membasahi kening perempuan tersebut.
"Kenapa wajah kamu memerah begitu?" tanya Nathan. Dia mendekat, menempelkan telapak tangannya di kening Zefanya. Begitu panas menyengat. "Badan kamu panas. Kamu sakit?" Nathan menatap Zefanya khawatir. Dia sudah tidak peduli dengan imej yang harus ia tunjukkan di hadapan Zefanya sekarang.
Zefanya menggeleng pelan dengan senyum lemah terpatri di wajahnya. "Saya hanya merasa lelah saja," katanya. "Terima kasih karena telah pulang malam ini."
Perempuan itu menurunkan kakinya lalu berdiri. Nathan juga melakukan hal yang sama. Tapi, begitu hendak melangkah, tubuh Zefanya ambruk tak sadarkan diri, yang untungnya lekas Nathan dekap dari belakang.
***
Nathan menggendong tubuh Zefanya yang begitu panas saat ini. Dia sudah menebak Zefanya akan pingsan sesaat ketika perempuan tersebut memaksakan diri untuk berdiri. Dalam keadaan demam tinggi seperti ini tidak akan ada yang bisa bertahan berjalan melewati ruang-ruang luas di rumah Nathan untuk menuju ke kamarnya sendiri.
Lelaki itu membaringkan tubuh Zefanya di atas ranjang. Ditatapnya lekat-lekat wajah pucat itu untuk beberapa saat. Sesuatu dalam diri Nathan bergemuruh. Jantungnya berdentum keras menyakiti d**a.
Saat perasaannya nyaris tak terkendali, Nathan lekas-lekas membuang pandang. Sejak saat dia meninggalkan Zefanya beberapa tahun lalu, hatinya sudah benar-benar mati. Dia tidak akan pernah kembali jatuh pada sosok seperti Zefanya. Karena hal itu hanya akan mengantarkan Nathan pada kelemahan. Dan Nathan tidak suka menjadi lemah. Tapi, Nathan kembali melihat wajah yang terlelap lemah di ranjang. Hatinya tidak bisa bohong, Zefanya cantik dan menarik. Zefanya ... masih mampu membuat hatinya bergetar.
"Jangan memperlihatkan sisi lemah kamu seperti ini lagi lain kali," lelaki itu menggerutu sendiri. "Aku senang kamu menjadi bawahanku, karena aku membenci kamu. Aku sengaja membuat kamu susah dan lelah. Tapi bukan berarti aku suka melihat kamu seperti ini."
Nathan duduk di sudut ranjang Zefanya. Mencabut satu lembar tissue di atas nakas dan mengelap dahi gadis itu dari keringat. "Jangan sakit, agar aku bisa terus mengganggu kamu," ucapnya kembali. Dia lalu beranjak, hendak mengambil kotak P3K serta air hangat untuk kompres. Namun, langkahnya sejenak urung begitu melihat keresek putih berisi obat-obatan. Tampaknya, Zefanya sudah membeli obat dan meminumnya.
***
Nathan menyimpan punggung tangannya di dahi Zefanya. "Demamnya masih belum turun," gumamnya. Ia kembali mencelupkan handuk kecil ke dalam mangkuk berisi air hangat. Lalu memerasnya dan meletakkannya lagi di atas kening Zefanya yang membara.
Tubuh Nathan begitu lelah. Namun, pikirannya tidak bisa membiarkan ia istirahat. Dia terus saja mengkhawatirkan Zefanya, memikirkan keadaannya, hingga sulit untuk terlelap barang sedikit saja.
Nathan tahu, dia akan dihadapkan dengan pekerjaan yang menggunung esok. Tapi meski sudah nyaris subuh, dia masih terjaga.
Panas Zefanya menurun sekitar pukul empat pagi. Tepat sebelum Nathan benar-benar tepar saking lelahnya.
Tanpa berkaca, Nathan sudah bisa memastikan sekacau apa penampilannya saat ini. Matanya perih menahan kantuk, serta tubuh yang lelah karena terjaga semalaman.
"Kamu sudah siuman?" Nathan langsung menodong Zefanya dengan pertanyaan begitu dilihatnya tangan gadis itu bergerak dan kelopak matanya perlahan terbuka.
Zefanya berkedip beberapa kali. Tampaknya ia sedang menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya. "Ya. Pak, Anda ...." ucapan Zefanya tidak dilanjutkan karena tenggorokan gadis itu benar-benar kering.
"Jangan dulu berterima kasih," tukas Nathan, meski tidak tahu apakah Zefanya sungguh ingin mengucapkan terima kasih atau justru mengatakan hal lain.
***
Tampaknya, Nathan sedang mandi sebab terdengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi. Diam-diam Zefanya menarik kedua sudut bibirnya ke atas, mengingat bagaimana Nathan peduli sampai merawatnya dengan telaten semalam.
Zefanya mengedarkan pandang ke sekeliling kamar Nathan yang luas. Netranya lalu tertuju pada ruang ganti lelaki itu. Dia lantas berjalan ke sana meskipun kepalanya masih sedikit pening dan tubuhnya masih merasa lemas. Dia langsung menghampiri deretan jas dan kemeja yang letaknya sudah sangat ia hafal. Dia memilih satu yang terbaik dari jajaran setelan mahal tersebut. Selesai dengan kemeja dan jas, Zefanya mencari dasi di lemari khusus.
"Dasi biru bercorak hitam akan membuat Nathan terlihat lebih gagah," monolog Zefanya.
Dia membalikkan tubuh, hendak keluar. Namun, kepalanya justru menabrak sebuah bidang basah dengan aroma sabun yang manis. Jelas saja Zefanya terkejut. Tapi lebih dari itu, berdiri di hadapan Nathan yang hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggang justru membuatnya seketika kehilangan muka. Wajahnya yang sudah mulai kembali ke suhu normal, kini rasanya memanas kembali. Mungkin, jika dia berkaca, warna kulitnya kembali memerah saking panasnya.
"Sudah saya bilang, hari ini saya mengizinkan kamu beristirahat," gumam Nathan, saat Zefanya mundur dan menatapnya sambil menggigit bibir bawah.
Zefanya mengangguk pelan. "Saya tahu, Pak. Hanya, ini sebagai ucapan terima kasih saya karena semalam Pak Nathan telah merawat saya," balas Zefanya.
"Maka dari itu, jangan sakit-sakit lagi. Kamu merepotkan orang."
"Ya. Maafkan saya, Pak."
"Lama-lama kamu mirip robot. Sedikit-demi maaf. Sedikit-sedikit maaf. Seolah kata maaf sudah otomatis keluar dari bibir kamu saat sesuatu terjadi."
Zefanya tersenyum tipis. Betul, Zefanya sendiri merasakan hal itu. Sejak ia jatuh miskin dan terpaksa bekerja keras untuk menutupi biaya hidup, kata maaf yang dulu jarang dia ucap, malah menjadi sesuatu yang terlalu sering dia katakan. Kalimat tersebut seolah sudah dia atur untuk diucapkan pada beberapa keadaan. Entah ia salah atau benar, saat lawan bicaranya orang yang lebih daripada dirinya, Zefanya akan meminta maaf.
***
Zefanya duduk resah di balik meja makan sejak tadi. Bagaimana tidak, dia adalah asisten tetapi malah duduk santai. Sementara Nathan yang notabene bos-nya, saat ini justru tengah berada di balik meja pantry dan kompor untuk membuat sarapan.
Zefanya berdiri, merasa tidak nyaman jika ia hanya terus berdiam diri seperti itu dan membiarkan atasannya melakukan pekerjaan yang biasa dia kerjakan. Namun baru saja Zefanya tiba di depan meja pantry, Nathan langsung melayangkan tatapan mematikan.
"Ada apa? Kenapa kamu kemari? Jika kamu berniat membantu, sebaiknya urungkan niat kamu itu dan lekas kembali duduk."
Kalimat itu diucapkan dengan nada biasa, tetapi entah mengapa membuat Zefanya seakan terhipnotis dan langsung kembali ke tempat semula.
Kini, Zefanya menatap sosok itu dalam diam. Seulas senyum tipis terbit di bibirnya yang mungil. Ia kembali mengingat saat-saat dunia masih begitu indah. Saat-saat Zefanya masih mampu tertawa lepas dan bahagia. Saat-saat Zefanya tidak pernah memusingkan siapa orang yang tulus dan tidak padanya. Saat-saat ia dan Nathan masih menjadi manusia naif yang saling jatuh hati.
***