"Jadi, apa yang akan kita lakukan hari ini?" tanya Zefanya pada Nathan saat dia menjemputnya.
Sejujurnya, mobil Zefanya sudah selesai diperbaiki. Tapi untuk satu alasan, dia jadi malas membawa mobil. Toh, ada seseorang yang akan selalu datang setiap kali Zefanya telepon. Meski hanya mengenakan motor matic biasa, Zefanya tidak masalah. Justru merasa senang. Dia bisa merasakan bebasnya udara.
"Ke taman?" usul Nathan.
Zefanya mencebikkan bibir. Tidak suka dengan usul itu. "Kamu pikir aku anak kecil? Apa yang akan kita lakukan di taman?" tanyanya.
Nathan tersenyum mendengar Zefanya. Dia sangat suka saat Zefanya merajuk. "Banyak. Kita bisa jalan-jalan sore, duduk sambil makan es krim, seperti di film-film romantis."
"Roman picisan sekali," cibir Zefanya pelan. Ia kemudian menarik ujung lengan hoodie putih Nathan. "Bagaimana kalau ke rumah kamu?" Zefanya tersenyum lebar.
Teman-temannya bilang, Nathan anak orang kaya raya. Tapi, penampilan Nathan tidak menunjukkan hal itu. Apalagi sikapnya. Dia tampak seperti benar-benar orang biasa. Dan entah mengapa, Zefanya justru senang dengan Nathan-nya yang biasa saja. Tapi jelas, Zefanya juga penasaran, hidup seperti apa yang Nathan jalani di luar sana. Apakah dia benar orang kaya atau orang biasa saja seperti yang dilihatnya.
"Aku tinggal di indekos. Rumahku cukup jauh," Nathan membalas bimbang.
Zefanya merenung sebentar. Jika begitu, dia tidak akan tahu bagaimana keluarga Nathan dan kehidupannya. Tapi tidak masalah untuknya.
"Kalau begitu ke kos kamu. Bukankah itu sama saja?" Zefanya kembali memberi usul dengan semangat.
"Apa yang akan kita lakukan di kos berdua? Itu ruang tertutup, bagaimana kalau ...."
Zefanya terkekeh pelan mendengar penuturan Nathan yang disisipi nada khawatir. "Nathan, kita sudah dewasa. Kita tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Kalau akhirnya kita 'melakukannya', itu consent kita berdua," jelas Zefanya panjang lebar.
Dan Nathan, membulatkan mata. "Kamu serius?"
"Apa aku tampak bercanda?"
Nathan menggeleng pelan. "Tapi, Ze, aku memacari kamu karena aku suka sama kamu. Aku tidak ingin merusak kamu," katanya. Mata Nathan yang berbinar indah di balik kacamata minusnya membuat Zefanya terkesan.
"Lalu, kamu pikir aku akan merusak laki-laki polos seperti kamu?" Zefanya balik bertanya skeptis. Tak berapa lama kemudian dia tergelak. "Ayolah, Nath! Kita hanya akan melakukan hal wajar, tidak sampai sejauh yang kamu pikirkan. Pikiran kamu terlalu liar, kamu tahu?"
Zefanya menggeleng pelan, tak habis pikir. Gadis itu lantas meraih helm di stang motor Nathan dan memakainya. Tanpa menunggu persetujuan dari pemilik kendaraan, Zefanya langsung naik dan melingkarkan tangan di perut Nathan. Tidak lupa untuk meletakkan dagu di bahu Nathan yang lebar, tempat ternyaman untuk bersandar bagi Zefanya.
"Kamu tidak akan pergi?" tanya Zefanya. Nathan masih terdiam bingung. Membuat Zefanya geregetan saja. "Kalau kamu tidak mau pergi ya sudah, aku turun," Zefanya bergumam lelah. Ia melepaskan tangannya yang melingkar di perut Nathan, tetapi kemudian urung karena Nathan kembali menarik tangannya ke tempat semula.
Nathan tampak memasang ekspresi yang masih khawatir. "Baiklah. Kita tidak akan melakukan apa-apa, okay?"
Nathan menghela napas pelan, kemudian mulai melajukan kendaraan roda duanya dengan kecepatan standar. Tapi, jawaban Zefanya setelahnya ....
"Ya. Aku hanya akan menyentuh kamu di beberapa titik. Itu bukan masalah."
Uhuk! Membuat Nathan nyaris saja menghentikan motor secara mendadak. Zefanya memang selalu berhasil membuat Nathan nyaris jantungan. Entah kata-kata atau kelakuannya tidak pernah bisa ditebak.
***
Nathan dengan ragu-ragu membuka pintu kamarnya. padahal, di sana dia tidak hanya berduaan dengan Zefanya, tetapi tetap saja dia merasa gugup Bukan main. pasalnya, ini kali pertama Natal membawa seorang gadis ke tempat tinggalnya. dan gadis itu adalah Zefanya, Dewi di kampus tempat ia mengenyam pendidikan. Nathan selalu merasa beruntung karena dia bisa mendapatkan sosok seperti Zefanya. tapi terkadang dia juga bertanya-tanya mengapa gadis seperti Zefanya mau berkencan dengannya yang bukan siapa-siapa titik bukankah di kampus banyak cowok yang lebih baik darinya? banyak pria yang lebih tampan, yang lebih keren, yang lebih memiliki segalanya ketimbang matan. Nathan hanyalah seorang kutubuku yang sebelumnya bahkan pernah dirundung oleh teman-temannya sendiri. bukankah ini agak aneh?
" Apakah di sini ada tempat memasak? "tanya Zefanya, dengan begitu antusias. Nathan agak menautkan kedua alisnya, dia bingung." kamu mau melakukan apa? "tanya Nathan.
Zefanya terkekeh pelan titik dengan santainya, gadis itu duduk di sudut ranjang milik Nathan. gadis itu meraih bantal dan meletakkan benda itu di pangkuannya. "aku ingin memasak ramen titik tidak apa-apa kan?" tanya Zefanya dengan senyum secerah mentari yang membuat jantung Natan semakin berdebar keras. Natan tersenyum agak canggung. "Tentu saja boleh," balas Nathan rumah meskipun dia masih agak bingung.
"tapi, memangnya kamu bisa memasak ramen?" tanya-tanya Nathan kepada siapanya. hanya segera saja memamerkan senyum manis yang dimilikinya. "Tentu saja aku bisa!" seru gadis pemilik mata bulat dan besar itu meloncat dari tempat tidur Nathan dengan sangat antusias. " aku kira kamu tidak bisa memasak, "gumam Nathan, sambil mengikuti langkah Zefanya di belakang titik sampai akhirnya siapanya menghentikan langkahnya, dan menatap Nathan. "letak dapurnya Di mana?" tanya Zefanya dengan muka polos dan lugu yang membuat Nathan nyaris aja kehilangan kontrol diri. Zefanya cantik, menggemaskan, seksi, dewasa, tetapi terkadang juga lucu dan kekanakan di saat yang sama. jadi, bagaimana mungkin Nathan tidak jatuh hati pada gadis sepertinya.
"di sebelah sana!" ujar Nathan, sambil menunjuk ke suatu arah ke salah satu ruangan di in de kost tersebut. "kamu tidak bilang ingin memasak, sehingga kita tidak mampir ke supermarket. seharusnya jika tahu kamu akan memasak, kita mampir dulu ke supermarket tadi." Zefanya seketika menyengir lebar. " Oh, iya. aku lupa, "
"bagaimana kalau sekarang kita pergi ke supermarket?" tanya-tanya. gadis itu sangat sangat antusias saat ini Titi Hal itu membuat Natan semakin tak karuan. "tapi, di luar hujan di luar hujan."
"tidak apa-apa, aku suka hujan," ujar Zefanya dengan riang. " aku bisa memeluk kamu lebih lama di perjalanan. "
pipi Natan seketika merona mendengar ucapan siapanya barusan. dia tahu Zefanya memang selalu frontal tetapi kali ini dia berhasil membuat jantung Nathan berdegup begitu keras sehingga menyakiti dadanya.
"bilang saja kalau kamu mau modus!" Nathan meledek Zefanya titik dia berusaha menyembunyikan kegugupan yang tengah dirasakannya sekarang titik tapi Zefanya jelas sadar akan hal itu. wajah putih Nathan membuat segalanya antara. contohnya, seperti saat Dia sedang malu seperti sekarang ini titik pipinya akan berubah menjadi sangat merah, dan Zefanya sangat senang untuk menggodanya. "apakah kamu senang karena aku memeluk kamu?"
"Tentu saja aku senang," balas Nathan jujur titik tetapi rona di wajahnya semakin memerah dan itu berhasil membuat Zefanya tergelak keras.
***
Raka baru saja menyelesaikan visite pagi ini.
Namun sebagian pikirannya terus berada di tempat lain, yakni Zefanya. Apakah keadaan gadis itu sudah lebih baik sekarang? Apakah Nathan benar-benar pulang semalam sehingga ia tidak sendirian di rumah itu? Astaga, jantung Raka nyaris saja meledak membayangkan keadaan gadis itu sekarang. Apalagi, pesan yang dia kirimkan sejak kemarin malam belum juga mendapatkan balasan. Rasanya, Raka ingin lekas pergi menemui gadis itu, tetapi permintaan Zefanya perihal tidak ingin Nathan mengetahui bahwa mereka saling mengenal, membuat Raka harus memendam kuat keinginan tersebut.
"Hoy!"
Raka terperanjat kaget saat seseorang mengagetkannya dari belakang. Ketika menoleh, dia mendapati Dimas, dokter gigi paling terkemuka di rumah sakit swasta tersebut, sekaligus teman karibnya sejak awal masuk kuliah.
"Apakah kamu belum pernah merasakan ditimpuk oleh tiang infus oleh orang ganteng?" Raka memicing sangsi pada pria keturunan Arab - Belanda - Sunda berusia awal 30-an itu.
Dimas tersenyum, menunjukkan deretan giginya yang rapi. "Tidak biasanya kamu melamun seperti ini. Ada apa? Apakah ada hal yang mengganggumu akhir-akhir ini? Apa ini soal perempuan?"
"Demi Tuhan, Dim, wajahmu terlihat cool tetapi mulutmu rasanya jauh lebih cerewet daripada ibu-ibu penggosip di serial ftv azab!" gerutu Raka, menghela napas panjang sambil merotasikan bola matanya dengan malas.
"Aku bukan orang yang cerewet."
Raka mendesis. Pria itu berjalan meninggalkan ruang terakhir yang dia visit barusan. Memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jas putihnya. "Kamu cerewet jika sudah bertemu denganku atau Risa!" keluh Raka tak habis pikir.
Dimas menyeimbangkan langkah dengan Raka. Berjalan di sisi pria itu dengan santai. "Itu karena kamu juga cerewet, dan ... you are my bestieee!" di akhir, lelaki itu memekik girang.
"Sialan, Dimas Bimasena! Kamu menggelikan!" Astaga, Raka merinding sekali melihat tingkah pria itu sekarang. Setelah kepulangannya dari Amerika seminggu lalu, pria tersebut tampak banyak tertawa, aneh, dan menyebalkan. Tidak seperti biasanya. Tampaknya memang ada sesuatu yang terjadi pada pria itu.
"Jadi, bagaimana? Apa yang membuat dokter tampan ini begitu murung?" tanya Dimas, sesaat setelah mereka berbelok menuju koridor ruangan Raka.
Raka menghentikan langkah tepat di depan pintu ruangannya sebelum dia masuk. "Karena kamu akan menikah sebentar lagi. Artinya, aku akan jadi satu-satunya dokter yang lajang di rumah sakit ini." Raka menyunggingkan senyum tipis. Lalu membuka pintu dan masuk ruangan. Sementara Dimas ....
"Berengsek! Kamu memang pintar mengalihkan pembicaraan." Pria itu frustrasi.
***
"Menurutmu, apakah keputusanku untuk menikah sudah benar?"
Raka yang tengah membuatkan kopi untuk Dimas menoleh pada sahabatnya tersebut. "Kenapa bertanya demikian?" tanyanya. "Setahuku, Reyna gadis yang baik. Dia juga cantik dan sopan. Kenapa kamu ragu?"
Dimas termenung lama. Bahkan sampai Raka selesai membuat kopinya dan meletakkan dua gelas kopi tersebut di meja.
"Aku pikir, sesuatu yang baik terjadi. Kamu banyak tingkah dan begitu aktif akhir-akhir ini. Tapi ternyata, kamu malah curhat galau begini," ucap Raka, memperhatikan sahabatnya sejak kuliah tersebut.
Raut muka Dimas berubah serius sejurus kemudian. "Entahlah," katanya. "Kamu akan mengerti kalau kamu menyukai seseorang. Perasaan antusias, sedih, dan senang, semua itu menjadi bias."
Raka ikut termenung sekarang. Apa yang dikatakan Dimas persis seperti apa yang ia rasakan. Perasaannya bias, tidak jelas. Kadang, dia begitu senang hanya dengan melihat seseorang itu. Kadang juga, dia merasa sedih. Hatinya begitu penuh dan sesak oleh berbagai perasaan yang mendesak.
Raka ikut termenung sekarang. Apa yang dikatakan Dimas persis seperti apa yang ia rasakan. Perasaannya bias, tidak jelas. Kadang, dia begitu senang hanya dengan melihat seseorang itu. Kadang juga, dia merasa sedih. Hatinya begitu penuh dan sesak oleh berbagai perasaan yang mendesak.
Suara notifikasi ponsel di atas meja membuat Raka harus menghentikan obrolan dan juga lamunan yang sempat menjeda. Ia langsung meraih benda pipih itu dengan secepat kilat begitu melihat pesan yang tertera di layar adalah dari orang yang dia tunggu dengan cemas sejak tadi.
Senyum lega seketika membias di wajah tampannya saat kedua netranya membaca pesan yang dikirimkan Zefanya; orang itu. Cepat-cepat, dia mendial nomor tersebut dan kali ini langsung tersambung.
***