Zefanya berdiri di belakang Nathan. Sementara Nathan sendiri masih berbicara dengan Dian setelah tadi mengunjungi rumah bergaya Eropa yang katanya akan dipromosikan untuk dijual. Rumah tersebut tidak begitu besar, tetapi sangat nyaman dan indah, membuat siapa saja betah tinggal berlama-lama di sana. Terlebih dengan halaman luas dengan tanaman-tanaman cantik yang dirawat dengan baik. Jika saja ibu Zefanya melihatnya, dia akan menyukai tempat tersebut.
"Nanti kamu hubungi Sarah untuk menyesuaikan jadwal kunjungan serta pemotretan. Danu yang akan pergi menjelaskan materi tentang rumah ini," ujar Nathan kepada Dian. Sekadar informasi, Sarah adalah seorang editor majalah yang biasa menulis artikel perihal properti yang perusahaan Nathan jual. "Jangan lupa sampaikan untuk tulis artikel semenarik dan semenjual mungkin. Sebelum diterbitkan, kirim draft mentahannya terlebih dahulu kepada saya."
Dian mengangguk kecil sebagai jawab. "Baik, Pak Nathan," ucapnya.
"Baiklah. Tidak ada jadwal lagi untuk hari ini. Kamu bisa pulang sekarang," gumam Nathan sambil melihat jam mewah yang bertengger di pergelangan tangannya. Sudah lewat dari jam kerja untuk karyawan.
Zefanya segera menegakkan bahu ketika Nathan membalikkan tubuh. Pria itu berjalan cepat ke arah Zefanya. "Saya harus mengunjungi makan malam keluarga di rumah kakek saya. Arah kita berlawanan, jadi kamu pulang menggunakan taksi saja," datar Nathan berkata.
Zefanya tidak sempat bicara atau menanyakan apa pun, sebab Nathan sudah masuk ke dalam mobil lalu meninggalkan Zefanya begitu saja di tempat asing itu. Zefanya benar-benar membeku dengan sempurna.
"Bukankah seharusnya dia membawaku sampai ke depan sana, setidaknya?" monolog Zefanya, masih cengo menatap kepergian Nathan. Sampai akhirnya, beberapa saat kemudian dia memicing. "Demi Tuhan, rumah ini jauh dari jalan raya!" Zefanya berteriak murka hingga dadanya naik-turun karena emosi.
***
Nathan memarkirkan mobil di depan halaman rumah kakeknya yang begitu luas. Mentari sudah tenggelam dengan begitu sempurna sempurna saat dia datang. Tampaknya, dia agak telat. Mobil Aras, Bayu, dan juga Raka sudah terparkir di sana. Mobil para orang tua, termasuk mobil ibunya juga sudah di sana sejak tadi.
"Astaga, Nathaniel nan tampan rupawan, baru datang? CEO satu ini sok sibuk sekali, ya."
Sudah Nathan tebak, pasti dia akan disambut dengan ledekan oleh sepupu termuda sekaligus teman bertengkarnya sejak kecil; Bayu. Sudah hal biasa baginya. Entah saat mereka masih kecil, saat mereka remaja, bahkan hingga sekarang sudah dewasa, mereka tidak pernah berubah. Selalu berdebat dan saling meledek kapan pun dan di mana pun.
Nathan sedang lelah hari ini. Sehingga alih-alih menjawab Bayu, dia memilih segera duduk di sofa besar yang begitu nyaman. Di bawahnya, anak-anak Aras tengah bermain dengan senang bersama Raka. Dibandingkan Bayu, Raka memang lebih dekat dengan anak-anak Aras. Padahal laki-laki itu jarang berkunjung karena sibuk. Tapi Raka memang menyukai anak-anak dan pandai merebut hati mereka.
"Setidaknya dia tidak pernah membuat kepala Kakek pusing sepertimu." Suara Santoso, kakek mereka, terdengar. Rupanya pria paruh baya itu tengah menghampiri cicit-cicitnya. "Jadi berhenti menyindirnya, paham?" ia mengancam Bayu.
Nathan tersenyum girang karena mendapat pembelaan Sang Kakek. Sejak kecil, dia memang selalu menjadi yang dibela. Mungkin karena dia lebih berprestasi dari Bayu. Atau mungkin juga, karena memang Bayu yang selalu membuat gara-gara pertama. Bayu usil, pecicilan, nakal, dan selalu membangkang. Dia spesialis memusingkan banyak orang, bahkan hingga tumbuh dewasa seperti sekarang. Tapi tentu saja, di balik itu semua, keluarga tetap menyayanginya, termasuk Nathan.
Bayu berjalan ke arah sofa yang lain, lalu duduk di sana sehingga kini para anggota keluarga lelaki berkumpul, kecuali Aras yang tengah membuat jus di belakang, serta para ayah yang sedang membicarakan perihal bisnis di ruangan lain.
"Ya. Ya. Ya. Nathan memang cucu kesayangan Kakek," gerutu pria itu, memicing iri.
Raka tergelak mendengar ucapan Bayu. "Kakek menyayangi semua cucunya, Bay. Hanya saja, kau pengecualian," tandasnya.
Bayu meletakkan bantal sofa di belakang kepala untuk dijadikan bantalan santai. "E-hei, apa yang Anda bicarakan, Dokter Raka? Kakek juga menyayangiku," bantahnya dengan ketegasan yang terlalu dibuat-buat. Usianya hampir 30 tahun, tetapi kelakuannya mirip bocah usia 3 tahun.
"Kakek menyayangimu jika kamu berhenti mengoceh, Anak Nakal!" pungkas Sang Kakek sambil menggendong cicit perempuannya, Chaterine. Meski usianya hampir 80 tahun, tetapi fisik pria baya itu masih cukup kuat. "Kamu sudah memiliki istri dan sebentar lagi memiliki anak, tetapi masih saja kekanakkan."
Bayu menegakkan bahu. "Maafkan saya, Tuan," ucapnya secara berlebihan, gelagatnya menirukan drama kolosal di televisi.
Semua orang kini beralih ke meja makan begitu R
Fuji, ibu Aras dan juga Bayu, memanggil karena masakan sudah siap semua. Anggota keluarga duduk di kursi masing-masing di meja makan yang begitu besar tersebut.
"Terkadang, aku kasihan dengan istrinya Bayu. Dia menikahi pria dengan akhlak minus sepertinya," gumam Raka. Ternyata mereka masih melanjutkan percakapan barusan.
"Setidaknya aku tampan." Bayu mengedikkan bahu, membuat Fuji menggeleng pelan karena kelakuan anaknya.
"Tapi tidak bisa diandalkan," Nathan menimpali.
"Hei, enak saja!" protes Bayu tidak terima. "Aku suami yang siaga jika kalian tidak tahu. Mana ada suami yang rela menempuh perjalanan ke Cianjur tengah malam buta hanya untuk membeli kue balok?"
"Sudahlah. Setidaknya, Bayu sudah menikah meskipun sedikit membuat emosi awalnya." Santoso melerai. Tumben sekali ia membela cucu nakalnya. "Dan kalian, Raka, Nathan, kapan akan menyusul? Umur kalian lebih tua dari Bayu. Terutama kamu, Nathaniel."
Skakmat. Kini, Nathan yang balik diserang oleh Sang Kakek. Jika dalam hal ini, Nathan memang paling terpojok. Dia satu-satunya yang tidak pernah datang memperkenalkan perempuan yang dia kencani. Lebih tepatnya memang, Nathan jarang berkencan. Jadi, bagaimana bisa dia akan membawa wanita ke rumah?
"Aku lebih suka sendirian, Kek." Nathan menjawab sekadarnya.
"Maksudmu, kamu tidak akan menikah?" tanya kakeknya, memicing skeptis. "Lalu bagaimana dengan perusahaan? Kamu harus memiliki keturunan untuk meneruskan perusahaan yang Kakek rintis dengan mendiang Papi kamu."
Nathan melirik Bayu yang duduk anteng sendirian. Istrinya tidak datang pada acara makan malam ini. Entahlah, mungkin hubungan keduanya belum cukup baik. "Anak Bayu bisa mengambil alih," katanya, yang langsung mendapat respons mata melotot.
"Eits, tidak. Anakku akan tumbuh menjadi seseorang yang berhak menentukan keputusan atas hidupnya sendiri. Aku tidak akan membebankan tanggung jawab menjalankan perusahaan keluarga padanya. Dia harus bekerja menurut bidang yang dia sukai atau yang dia inginkan, sama sepertiku."
Nathan menghela napas pelan. Benar sekali, Bayu orang yang bebas. Dia tidak suka kekangan terhadap karirnya. Itu sebabnya selama bertahun-tahun dia selalu menghabiskan uang demi menjalankan bisnisnya di dunia perfilm-an yang sampai saat ini tidak sekalipun menghasilkan karya yang bisa dibilang cukup sukses. Ia suka melakukan apa yang dia sukai. Maka tidak heran jika anaknya pun suatu saat akan diberi kebebasan agar bisa berkembang sepertinya.
"Bagaimana dengan Christine atau Tristan?" Nathan beralih pada Aras. Lalu melirik dua bocah yang disebut. Christine makan dengan khidmat sendirian, tampak dewasa di usianya yang terlalu muda. Sementara Tristan, berada di pangkuan Elora, berceloteh banyak hal yang hanya bisa dimengerti olehnya dan ibunya sendiri.
"Tidak. Mereka akan menjadi dokter sepertiku atau jaksa seperti ibunya." Aras lekas menjawab. "Iya, kan, Sayang?" Senyum Aras mengembang saat meminta persetujuan Elora, istri yang dinikahinya 5 tahun lalu.
Ah, sekarang Nathan kian terpojok. "Kamu harus menikah, Nath," tukas kakeknya. Mata tua pria itu menatap Nathan penuh pengharapan. Dan Nathan, tidak suka akan hal itu.
Nathan masih berusaha bersikap tenang. "Aku tidak tertarik melakukan hal itu, Kek. Aku lebih nyaman sendiri seperti saat ini," jawabnya.
Sang Kakek meraih tissue makan dan mengelap mulut. Dia lalu melihat Nathan dengan serius. "Kamu tidak pernah dekat dengan wanita mana pun, Nathan. Kamu juga tidak ingin menikah. Apakah kamu ....."
"Ayah, Nathan tidak seperti itu." Belum sempat Santoso menyelesaikan kalimatnya, Dara menyela. Wanita itu melirik Nathan sejenak, sebelum kembali memusatkan atensi pada ayah kandungnya. "Dia normal dan menyukai wanita. Percayalah." Dara meyakinkan.
Santoso menghela napas pelan. "Tapi lihat dia sekarang. Jika normal, setidaknya aku harus melihatnya berkencan," katanya. Nada tegas tak pernah singgah dari suara lelaki baya itu.
"Dia normal, Kek." Aras memberikan pembelaan. Ia melirik Nathan sejenak. Aras adalah orang yang paling tahu perihal hari-hari yang dilewati Nathan dengan segala gejolak yang dirasakan hatinya.
"Ya. Dia normal, Kek." Bayu juga ikut menyetujui. Tumben sekali anak itu membela, bukan malah menyudutkan seperti biasanya. "Aku pernah melihat koleksi video porno miliknya, dan semuanya straight, Kek, tidak ada video gay sama sekali." Dan Nathan, menyesal karena beberapa detik lalu di benaknya terbersit untuk berterima kasih atas pembelaan yang diberikan lelaki itu barusan.
"Bayu sialan." Nathan berdesis kesal, sementara hampir semua pasang mata melayangkan tatapan tak habis pikir pada Bayu. memang selalu ada saja tingkah Bayu yang membuat semua orang berdecak tak habis pikir.
"Jika kamu normal, maka bekas bawakan calon istri ke hadapan Kakek." Santoso menatap cucu laki-lakinya yang paling ia diandalkan.
Nathan meletakkan sendok yang ia gunakan. Kemudian menghela napas panjang sebelum menjawab, "Aku tidak ingin menikah, Kek."
Santoso tampak terhenyak kaget sebentar mendengar pengakuan Nathan. "Kenapa? Apakah ada alasan khusus?" Santoso kembali bertanya. Kali ini nadanya lebih serius daripada sebelumnya.
Nathan terdiam sejenak setelah mendapatkan pertanyaan tersebut dari kakeknya. Apakah ada alasan khusus? Nathan juga tidak tahu. Nathan hanya merasa dia tidak ingin menikah dan dia tidak tertarik pada perempuan manapun, tapi bukan berarti dia tertarik pada yang sejenis dengannya. Tentu saja dia normal. Mungkin, nanti, setelah dia menemukan orang yang tepat dia akan menikah. Tapi yang jelas bukan sekarang.
"Tidak ada, Kek." Nathan menjawab tenang. "Aku hanya masih belum menemukan orang yang tepat."
Perkataan Nathan tersebut langsung disambut oleh gurauan kedua sepupunya yaitu Bayu dan juga Raka. Mungkin mereka hanya tidak menyangka bahwa Nathan bisa mengatakan kalimat seperti itu. Apalagi Bayu, ia begitu senang mengejek sepupunya tersebut. Padahal, dia jauh lebih buruk.
"Lalu bagaimana orang yang tepat menurutmu itu?" tanya Santoso.
Nathan mengangkat bahu ringan. "Itu hanya soal feeling, soal perasaan," katanya.
Di sisi lainnya, Dara menghela napas. Dia bergabung dengan pembicaraan, "Aku tidak masalah Nathan tidak menikah, yang penting aku tahu bahwa dia menjalani hidupnya dengan normal. Menikah atau tidak, keputusan itu berada di tangan Nathan sendiri. Tapi jika keluarga menginginkan akan menikah, mungkin Kakek punya seorang calon atau seseorang yang baik yang bisa dinikahkan dengan Nathan?" ujar Dara.
Mendengar ucapan ibunya, Nathan membulatkan mata. "Maksud Mami, Mami ingin menjodohkan aku dengan seseorang?" tanya Nathan, dia agak menaikkan nada suara tak terima.
Dara mengangguk polos. "Lalu, Mami bisa apa jika keluarga Wifesa ingin memiliki keturunan dan ingin punya menantu baru dari kamu? Satu-satunya cara adalah menjodohkan kamu jika kamu sampai detik ini kamu tidak mau berkencan atau tidak mau berkenalan dengan wanita mana pun."
Nathan menghela napas jengah. "Aku akan menikah jika memang harus menikah. Tapi, aku akan menikah dengan gadis pilihan aku sendiri. Aku tidak suka dijodohkan," kata Nathan. Wajahnya jelas menunjukkan bahwa dia tidak suka dan tidak nyaman dengan pembicaraan kali ini. Semua orang di meja juga jadi ikut tidak nyaman karena Nathan tampaknya kesal pada saat itu.
Santoso akhirnya kembali angkat bicara, "Baiklah, Kakek tidak masalah jika kamu tidak ingin menikah," gumam Sang Kakek. "Tapi coba pikirkan baik-baik, bagaimana nasib perusahaan yang Ayah kamu dan Kakek kembangkan dari nol jika tidak ada penerus selanjutnya setelah kamu."
Nathan menghela napas dalam. Ia melirik para sepupunya yang kali ini terdiam, tidak seperti biasanya yang selalu bergurau.
"Baiklah. Aku akan memikirkannya lagi nanti," balas Nathan pada akhirnya. "Tapi aku tidak berjanji untuk benar-benar menikah. Masalah keturunan, aku bisa mempunyai anak tanpa harus menikah."
"Maksudnya, kamu akan memberikan perusahaan pada seorang anak yang latar belakang ibunya tidak jelas? Kamu ingin memiliki anak dari wanita sewaan, Nath?!" Dara tampak shock, menatap Nathan dengan mata membulat.
Nathan terkekeh tak habis pikir. "Bukan itu maksud aku. Mami kebanyakan nonton drama," ucapnya. "Aku bisa merawat anak yang aku adopsi. Atau kalau kalian tidak mengizinkan, aku akan mencari cara lain. Apa pun itu, semua pilihan ada di tanganku, bukan?"
***