9. Perkara Kamar

1948 Kata
Nathan menghentikan mobil, keluar dari kendaraan tersebut dengan cepat, disusul oleh Zefanya yang memasang raut wajah penuh sesal. Kaki-kaki panjang Nathan melangkah cepat, masuk ke dalam rumah megah miliknya. Namun tepat saat ia tiba di dalam, ia menoleh sehingga membuat Zefanya berhenti mendadak. "Jangan pernah mengemudi lagi untuk saya!" peringatnya, sambil menunjuk wajah perempuan itu. "Bukannya memastikan saya aman dan sehat, kamu justru nyaris membunuh saya hari ini." Nathan melepaskan jas dan melemparnya asal ke atas ranjang. Ia lantas menghela napas keras. Pikirannya menjadi berkecamuk tidak jelas sejak tadi. Zefanya. Zefanya. Zefanya. Ada apa dengan perempuan itu? Kenapa dia tampak sangat menyedihkan beberapa saat lalu, sehingga membuat perasaan lemah Nathan kembali goyah. Sementara itu, Zefanya sendiri hanya bisa merutuki kebodohannya karena hampir membuat mereka berdua celaka. Benar, bukan hanya Nathan, tetapi dirinya sendiri juga. Dirinya harus hidup lebih lama demi ibunya. Jika dirinya mati secepat itu, bagaimana ibunya juga bisa bertahan? Mereka hanya memiliki satu sama lain. "Darling! Nathaniel, Mami pulang!" Zefanya menoleh dengan begitu terkejut mendengar lengkingan suara wanita di belakang. Ketika menemukan Dara, ibunya Nathan sekaligus orang yang pernah berbicara dengannya di telepon dan mempekerjakan dirinya, Zefanya cepat-cepat memberi salam. "Ah, kamu ... Zefanya?" Dara menunjuk wajah Zefanya sambil mengerutkan kedua alisnya, bertanya. "Iya, betul. Saya Zefanya, Bu." Zefanya menjawab sigap. Kedua mata Dara seketika berbinar mendengar jawaban tersebut. Segera, dia melangkah mendekati Zefanya dengan kekaguman yang tidak mampu disembunyikan. "Wah, ternyata kamu lebih cantik jika dilihat secara langsung. Nathan seharusnya naksir kamu, mengingat kalian tinggal di rumah ini berdua dan ke mana-mana selalu bersama," katanya, sama sekali tak ada nada merendahkan. Dara benar-benar berharap hal itu terjadi, agar dia bisa merasa tenang akan anak semata wayangnya tersebut. Sementara itu, Zefanya jelas saja tercengang. "Eh? Maaf, Bu?" Dara tersenyum lebar, menggeleng. "Tidak apa-apa, Sayang," jawabnya. Wanita separuh baya itu kembali menatap serius. "Sepertinya kamu bekerja dengan baik." "Saya belum bisa memuaskan Pak Nathan, tetapi terima kasih karena Anda memberi pekerjaan ini untuk saya, sehingga saya bisa membiayai pengobatan ibu saya." "It's okay. Karena saya mempercayai Raka dan Raka mempercayai kamu, saya juga harus percaya kamu, bukan?" Dara tersenyum. Wanita itu lalu mengedarkan pandangan. "Nathan mana? Dia sudah pulang, kan?" tanyanya, kembali memusatkan atensi pada Zefanya, yang masih berdiri geming di tempat semula. "Iya, Bu. Dia baru saja naik beberapa saat lalu." Dara mengedikkan bahu ringan. "Baiklah. Tolong buatkan saya teh panas tawar, ya. Bawa ke kamar Nathan," pinta Dara. Lantas dia melenggang dengan anggun menuju lantai atas di mana kamar Nathan berada. Zefanya mengangguk pelan, kendati tahu Dara tidak akan melihatnya karena wanita itu sudah berlalu. "Baik, Bu Dara." *** "Nathan! My darling, Mami pulang!" Nathan masih membilas tubuhnya di kamar mandi ketika suara Dara terdengar begitu nyaring di luar. Ia mempercepat proses membersihkan tubuhnya tersebut sebelum Sang Ibu menggedor pintu kamar mandi seperti yang biasa terjadi. "Mam, kapan Mami pulang?" Nathan keluar, masih dengan handuk yang melilit di pinggang. Tetes-tetes air berjatuhan di ujung rambutnya yang basah sehabis keramas. Wanita baya itu tersenyum semringah menatap Nathan. "Udududuh, anak Mami semakin tampan saja," gurau Dara, menepuk pelan kedua pipi Nathan yang masih basah, meski Nathan mencoba menghindar dan tampak tidak nyaman. "Mami pulang kemarin malam," lanjut Dara. "Lalu? Mama tidur di mana? Kenapa tidak pulang ke sini?" tanya Nathan, seraya menggiring ibunya untuk berjalan menuju tempat yang lebih luas. "Mami sampai tengah malam, tidak mau mengganggu kamu." Dara mengedikkan bahu, duduk di sudut ranjang Nathan yang berukuran king size. Sementara, netra wanita itu menyisir pandang pada setiap sudut kamar anaknya. Nathan mengusak rambutnya dengan handuk putih di genggaman. Ia melirik dengan picingan penuh selidik pada Dara. "Bukan karena Mami ketemu dengan seorang pria?" tanyanya skeptis. "Hei, kamu pikir Mami wanita seperti apa?" Dara membeliakkan mata mendengar ucapan anak semata wayangnya. "Papi belum lama meninggal, bagaimana bisa Mami mendapatkan penggantinya dengan begitu cepat?" "Beberapa bulan lalu, kali terakhir aku ketemu Mami di London, Mami jalan-jalan dengan pria muda," ujar Nathan, mengatakan hal itu seolah-olah dia tidak apa-apa. Hubungannya dengan Dara memang dekat. Dara juga tipe ibu yang bebas karena dia lama tinggal di luar negeri. Jadi, Nathan sudah biasa. "Dan itu, bahkan belum genap satu tahun Papi meninggalkan kita," lanjutnya. "Mami wanita normal dan Mami masih muda. Kadang kala Mami harus memenuhi kebutuhan biologis Mami. Tapi hanya sebatas itu, Darling. Di sini, di hati Mami, tidak ada yang bisa menggantikan Papi. Mami masih mencintainya sebesar ketika kita pertama kali bercinta." Dara menatap ke atas langit-langit. Tatapannya begitu sendu berlebihan. Nathan memutar bola mata dengan malas melihat reaksi wanita itu. "Apa Mami tahu, kalau pemilihan kata Mami terlalu frontal?" tanya Nathan. Meletakkan handuk di stand hanger khusus di sudut kamarnya. "Frontal?" Dara menyilangkan kaki dengan santai. Membuat kaki-kaki jenjangnya terpampang indah bak model muda yang cantik jelita. "Tidak. Kamu sudah dewasa. Sangat-sangat dewasa untuk Mami ajak bicara hal demikian. Bahkan Mami bisa bicara tanpa filter seperti tadi." Dara menjawab santai. Nathan mengembuskan napas frustrasi mendengar celotehan ibunya. Memang benar, manusia tidak bisa berubah. "Oh, astaga!" dia berdecak. Sungguh-sungguh tak habis pikir. Pria itu berjalan menuju sofa. Duduk di sana sambil memperhatikan ibunya yang tengah menepuk-nepuk bantal milik Nathan, seolah di atasnya banyak sekali debu yang akan mengganggu kenyamanan anak lelakinya tersebut. "Nath, Zefanya cantik," gumam Zefanya setelah beberapa sekon hanya terjadi keheningan di antara mereka. Pernyataan tiba-tiba Dara membuat Nathan mengerutkan alis. Tapi, pemuda itu tidak ambil pusing sama sekali. Toh, apa yang dikatakan ibunya benar. Zefanya cantik. Sangat cantik. Dulu sewaktu kuliah, kecantikannya seringkali dipuja dan dipuji oleh begitu banyak orang. "Sepertinya orangnya juga tidak membosankan. Kamu tertarik padanya?" Namun pertanyaan tersebut membuat Nathan mendadak tidak bisa mengabaikan ibunya. "Tidak," balas Nathan. Laki-laki itu berusaha mengalihkan perhatian ke hal lain saat ibunya kini memusatkan seluruh atensi padanya. "Jangan berbohong," ujar Dara sambil berdiri dan berjalan ke arah Nathan. "Apakah aku harus tertarik pada setiap wanita cantik di muka bumi ini? Mami selalu saja menanyakan hal itu padaku setiap kali bertemu wanita cantik." mata menggerutu sebal. Pasalnya, memang setiap kali ibunya datang ia selalu saja menanyakan perihal ketertarikan Nathan kepada seseorang, tentunya seorang wanita. "Mami hanya takut, Nath!" Dara duduk di salah satu sofa di sisi Nathan. Ia menatap pria tersebut dengan serius. Jarang sekali wanita itu bersikap demikian. Jika sudah seperti itu, ya, artinya ia benar-benar serius. Nathan memicing menatap ibunya. "Takut aku gay?" tanya Nathan dengan nada sedikit meninggi. "Astaga, sudah berapa kali aku bilang, aku normal!" Dara hanya menipiskan bibir. "Lalu, kenalkan pada Mami wanita yang kamu sukai," katanya. begitu tenang, tetapi cukup berhasil membuat Nathan nyaris naik pitam. Ibunya selalu saja memiliki banyak hal untuk membuatnya kesal. "Tidak ada." Nathan berdecih sebal. "Hya, Nathaniel!" Dara menjerit kesal, karena Nathan membalas dengan begitu lugunya. Bersamaan dengan itu, pintu kamar diketuk tiga kali, lalu seseorang membuka pintu dari luar. rupa-rupanya, dia adalah Zefanya. "Permisi." Zefanya masuk dengan nampan berisi teh yang dipesan oleh Dara. Ia tampak agak bingung dengan situasi yang terjadi di dalam kamar tersebut. Dara bangkit berdiri. Lalu berjalan menghampiri Zefanya. "Ze, sejak kapan kamu di sana?" tanya Dara. Zefanya tersenyum canggung. Ia meletakkan nampan dan juga teh yang dibawanya ke atas meja dengan hati-hati, kemudian membalas, "Belum lama, Bu," katanya dengan sopan. Dara mengangguk singkat, dia lalu merangkul bahu Zefanya seolah keduanya sudah lama akrab. Namun Zefanya justru merasa kikuk seketika. "Ze, bukankah Nathan tampan?" tanya Dara kepada Zefanya dengan sebuah kerlingan yang membuat Nathan bergidik melihatnya. "Kamu lihat, badannya juga kekar. Dia punya otot lengan yang manis, tidak kecil tapi juga tidak begitu besar. Enam kotak di perutnya pun mengagumkan. Selain itu Nathan kaya raya, dia bisa membelikan kamu apa saja. Dia pria yang ideal, bukan?" ucap Dara panjang lebar seolah tengah mempromosikan anak laki-lakinya tersebut. Sementara itu, Nathan hanya bisa menggeleng pelan atas sikap ibunya tersebut. Dia seharusnya sudah biasa tetapi tetap saja tidak pernah biasa dengan segala tingkah absurd ibunya. Zefanya lagi-lagi tersenyum canggung. Kali ini lebih canggung dari sebelumnya. Ia menggaruk kening yang tidak gatal mendapatkan pertanyaan tersebut dari Dara. "I-iya, Bu. Dia ideal," jawabnya seperti kebingungan. Dan Nathan, dia mengerang. "Mami!" pekiknya, merasa sangat malu. Dara seolah tidak peduli dengan Nathan. Dia malah sengaja semakin menggodanya. "Kamu suka Nathan?" tanya Dara kepada Zefanya. Dia bahkan mengerling lebih nakal, menandakan bahwa dia benar-benar senang menggoda Nathan dan juga Zefanya. "Eh, maaf?" Zefanya agak membulatkan matanya. Dara tertawa karena kepolosan kedua muda dan mudi tersebut. "Kamu belum pernah berpacaran?" tanya Dara kepada Zefanya, semakin gencar menggoda. "Kamu polos sekali. Saya jadi suka." "Oh iya, kamu menempati kamar yang mana, Zefanya?" tanya Dara. Zefanya melirik Natan sejenak sebelum menjawab, "Saya tidur di kamar bawah, Bu. Di dekat halaman belakang. " Dara seketika membuatkan mata tak percaya mendengar jawaban yang terlontar dari mulut Zefanya. Dia lalu melirik Nathan dan juga semuanya bergantian Sampai akhirnya dia benar-benar mampu memusatkan atensi pada anaknya. "Kamu serius, Nathan?" tanya Dara dengan nada yang menunjukkan bahwa ia sangat terkejut. "Maksudmu Zefanya tidur di gudang, betul? Satu-satunya ruangan di sana yang Mami tahu hanya gudang." Nathan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Iya agak salah tingkah. "Iya, seperti itulah. Lagipula dia harus tidur di mana?" tanyanya, seolah benar-benar tidak ada pilihan lain. "Bukankah banyak kamar kosong di rumah ini?" tanya Dara. "Kamar di sebelah kamar kamu juga bukannya kosong, Nath? Tidak digunakan untuk apa pun, kan?" "Tapi, Mi ..." "Jika kamar Zefanya jauh, bagaimana kamu minta bantuannya saat membutuhkan sesuatu?" tanya Dara. Wanita paruh baya itu menatap Nathan dan juga Zefanya bergantian kembali. "Aku rasa, tempat itu hanya cocok untuk dia." Nathan mengangkat bahu tidak acuh. Pemuda itu lalu mengambil kembali handuk yang sempat diletakkan di atas kasur dan ngeloyor begitu saja ke dalam ruang ganti. Dia harus menggunakan pakaian setidaknya. Sementara itu, sekarang Dara menatap Zefanya. "Sebaiknya kamu pindah. Ada banyak kamar kosong di tempat ini. Nathan hanya sengaja ingin membuatmu tidak betah karena dia tidak suka ada orang asing di rumah ini," ucap Dara, sedikit berbisik. "Tapi saya harus melakukan ini karena bagaimana pun, Nathan tidak bisa hidup sendirian." "Bagaimana jika Pak Nathan marah?" tanya Zefanya. Meski sungguh, dia cukup senang mendengarnya. Setidaknya, kamar tersebut layak untuk dihuni dan jaraknya juga dekat dengan kamar Nathan sehingga ia tidak perlu menghabiskan banyak tenaga saat Boss menyebalkannya itu meminta melakukan banyak hal random semalaman. Dara memicingkan mata menatap Zefanya. "Menurut kamu, apakah Nathan akan menentang keinginan ibunya?" ia tanya. Pada akhirnya, semuanya hanya bisa menuruti permintaan Dara. Zefanya Lalu mengekor langkah wanita itu keluar dari kamar Nathan. Mereka berjalan menuju kamar yang tepat berada di sebelah kamar Nathan. Ketika masuk, Zefanya menyadari bahwa kamar tersebut berkali-kali lipat lebih nyaman daripada kamar yang sedang ditempatinya saat ini. Kamar yang ia tinggali saat ini lebih bisa dikatakan sebagai gudang, karena memang awalnya gudang, dan tidak layak huni. Ah, entahlah! Benar kata Dara, banyak kamar di rumah besar ini, kenapa ia harus ditempatkan di gudang di bawah sana? Dara membawa Zefanya semakin masuk ke dalam kamar tersebut. "Lebih baik, kamu tidur di kamar ini saja mulai malam ini." Dara duduk di sudut ranjang kamar tersebut. "Nanti kamu bisa mengambil barang-barang kamu di bawah dan memindahkan semuanya ke sini." Entah Zefanya harus merasa bersyukur atau merasa sebaliknya. Pasalnya, jika dia tidur di kamar tersebut, kamar tersebut cukup nyaman. Tidak-tidak malah lebih nyaman berkali-kali lipat dari kamar di bawah sana. Hanya saja, di kamar ini terlalu dekat dengan kamar Nathan. Entahlah, hanya saja ia masih merasa terlalu gugup jika berhadapan dengan Nathan hingga saat ini, kadang-kadang. "Baiklah, Bu." Zefanya menjawab patuh. Dara tersenyum singkat. Dia lalu berjalan mendekati ranjang. "Kamu benar-benar tidak tertarik pada anak saya, kan?" tanya Dara tiba-tiba. Sontak, Zefanya membeliakkan mata mendengar pertanyaan tersebut. Dan Dara sendiri hanya tersenyum simpul lalu berjalan keluar meninggalkan tempatnya seorang diri. Sekarang, Zefanya menjadi overthinking. Kenapa ibu dan anak hobi sekali membuatnya berpikir keras? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN