Zefanya menelan ludah dengan sangat berat. Peluh mulai membasahi wajahnya saat ia duduk di depan kemudi. Tangannya gemetar saat hendak menyentuh setir. Namun sebisa mungkin, Zefanya mengenyahkan semua perasaan tidak nyaman tersebut, sebab dia harus mengantar Nathan dengan selamat ke lokasi apartemen yang baru saja selesai dibangun.
"Kau akan berangkat tahun depan?"
Suara Nathan yang terdengar datar tersebut membuat Zefanya menghela napas dalam-dalam. Ia berusaha tenang sekuat yang dirinya bisa, kemudian mulai melakukan hal yang harus dilakukannya untuk melajukan kendaraan beroda empat tersebut.
Sesaat sebelumnya, saat masih di parkiran hingga pintu keluar, semuanya berjalan lancar. Namun jantung Zefanya kembali bergemuruh hebat ketika mobil yang dilajukannya mulai menembus jalan besar. Telinganya berdenging, sehingga Zefanya kesulitan mendengar suara apa pun. Kepalanya pening. Potongan ingatan dari masa lalu secara random berputar di benaknya. Membuat dadaa Zefanya seketika sesak bukan main.
Suara dentuman yang keras, jeritan seseorang, darah, dan tangisan pilu. Zefanya rasanya tidak bisa bernapas. Dia memegang kemudi keras-keras, hingga buku-buku jarinya memutih.
"ZEFANYA!"
Suara lantang Nathan menyentak Zefanya dalam sekejap. Dia melirik Nathan dengan kalut, dan menemukan Nathan menatap panik dirinya.
"Lihat ke depan!" teriak Nathan.
Terkejut, Zefanya mengikuti perintah Nathan. Namun detik itu juga jantungnya hampir saja meledak karena mobil yang dia kemudikan nyaris saja menabrak sebuah minibus yang berhenti di lampu merah. Beruntung, refleksnya cepat menginjak rem. Meski tubuhnya dan tubuh Nathan terpental sesaat ke depan karena berhenti secara mendadak.
"Apa kau gila? Kau ingin mengajakku mati, huh?!" bentak Nathan, dengan mata memerah menatap ke arah Zefanya yang masih terdiam syok. Dia benar-benar marah dan terkejut. "Aku memanggilmu berkali-kali, tapi kau tidak menggubris!" teriak Nathan sekali lagi. Seolah-olah tidak tahu bahwa kejadian itu juga membuat Zefanya terkejut bukan main.
Zefanya hanya bisa menunduk seraya memegangi tangan kirinya yang tidak bisa berhenti gemetar. Zefanya menggigit bibir bawahnya keras-keras, berusaha untuk tidak menangis karena terkejut.
"Keluar!" ujar Nathan. Kali ini tidak berteriak. Namun justru lebih menyeramkan untuk Zefanya daripada sebelumnya. "Aku tidak akan pernah membiarkanmu menyetir lagi. Kau nyaris membunuhku hari ini!"
Zefanya tidak bisa menjawab apa pun, selain hanya bisa turun dari mobil untuk berganti tempat duduk dengan Nathan. Ia tahu ini semua adalah salahnya. Sesaat setelah lampu berubah hijau dan mobil melaju dengan kecepatan normal, Zefanya melirik pria di sampingnya. Kening pria itu tampak membiru, mungkin terbentur dashboard barusan. Ia jadi merasa bersalah sekarang.
Zefanya menunduk, kembali memegangi tangannya sendiri yang masih saja gemetar seperti sebelumnya. Dia bersyukur Nathan baik-baik saja, hanya terluka sedikit. Namun sisi lainnya, dia tetap saja sangat ketakutan. Ingatan masa lalu membayang di benak, menari-nari, mencabik hatinya hingga terkapar. Zefanya tidak pernah melupakan hari itu, satu detik pun. Hari di mana dia harus menyaksikan seseorang yang dia cintai meregang nyawa karena ulahnya. Hari di mana dunia miliknya runtuh, hanya menyisakan puing-puing kecil yang berusaha dia dekap hingga sekarang.
Setitik air mata meluruh di pipi, yang lekas-lekas Zefanya hapus sebelum Nathan melihatnya. Dirinya sudah bertahan selama ini. Dia akan tetap bertahan pula sampai nanti, sampai apa yang menjadi alasannya bertahan tidak lagi ada. Dalam hati, Zefanya terus merapalkan mantra untuk membuatnya tetap bertahan. Mantra yang sama, yang membantunya tetap utuh di kala dunia menghancurkan hidupnya.
Sementara itu, di sisi lainnya, Nathan tampak sangat bingung. Dia merasa ada sesuatu yang salah dengan Zefanya. Tidak seperti yang dia ingat, Zefanya tampak begitu gugup ketika pertama kali memegang setir. Sungguh, itu bukan sikap Zefanya yang ia kenal dulu.
Tatkala Nathan melirik pada Zefanya dan mendapati tangan perempuan itu gemetar hebat, dia tahu ada sesuatu yang salah. Dia merasa, Zefanya sangat aneh. Bahkan cara menyetirnya saja tampak begitu kaku, tidak seperti Zefanya yang terakhir kali dia ingat. Lalu, Nathan perlahan memutar ingatannya pada saat dia dan juga Zefanya masih bersama, dulu.
***
Jalanan yang basah, semilir angin sore yang dingin, serta langit setengah mendung sisa hujan tadi siang. Nathan melangkahkan kaki-kaki jenjangnya dengan sebuah tas ransel yang hanya berisi buku gambar besar serta peralatan menggambar, laptop, dan charger ponsel.
Kampus tidak ramai, tidak pula sepi kala itu. Nathan tidak begitu peduli juga karena tujuannya datang ke kampus hanyalah menemui dosen dan menyerahkan tugas akhir yang terlambat ia berikan karena tubuhnya mendadak drop sejak malam ia dipaksa minum alkohol dan pulang dengan seorang gadis bar-bar gila.
Nathan tidak celingukan kanan kiri, langkahnya lurus menyusuri jalan sesuai arah pulang. Dia enggan bertemu para mahasiswa kurang kerjaan yang senantiasa merundungnya. Enggan juga bertemu siapa pun yang membuat harinya buruk, tapi ....
"Sayang!"
Suara melengking itu tampak familier. Sayangnya, Nathan tampak trauma mendengar suara tersebut sehingga ia lekas mempercepat langkah. Namun yang terjadi, "Nathaniel Sayang!" suara itu kembali terdengar. Lengkingannya masih sama, tetapi kali ini terdengar lebih dekat dan jelas.
Ah, sial. Panggilan itu untuknya? Tidak. Tidak. Nathan tidak mau berurusan dengan manusia itu. Katanya, dia menyelamatkan Nathan dari para perundung, padahal dianya sendiri sudah mirip perundung.
Nathan berjengit saat tiba-tiba sebuah lengan yang ramping melingkar di lehernya. "Hei, kamu mengabaikan aku, huh?"
Nathan memejamkan mata dengan jengah. Gadis ini lagi, batinnya. Dia sudah berusaha menghindari manusia sejenis ini sejak tadi, tetapi setelah ingin pulang malah bertemu dengannya.
"Lepaskan aku. Apa yang kamu lakukan?" tanya Nathan galak.
Kala itu puncak musim hujan, sehingga jalanan basah hampir setiap hari. Di beberapa titik, banjir selalu terjadi sehingga menyebabkan kemacetan panjang. Nathan menutup helm-nya ketika gerimis kembali turun saat dia masih dalam perjalanan menuju kampus. Nathan tidak ada urusan apa pun dengan dosen atau pun kuliahnya. Saat ini kuliahnya sudah selesai, hanya tinggal menunggu wisuda beberapa minggu lagi. Dia ke kampus untuk menjemput Zefanya, dikarenakan mobil gadis itu sedang di bengkel sejak kemarin sore.
Ya, hanya demi seorang gadis. Yang jika itu orang lain, dalam situasi hujan seperti ini, mereka akan memilih berdiam diri saja di rumah. Lalu membiarkan Zefanya pulang dengan taksi yang ongkosnya tidak akan seberapa bagi gadis dari keluarga kaya sepertinya. Namun Nathan, dia jelas tidak akan melakukannya. Bahkan meski saat itu ia sedang berada di rumah saudaranya yang berjarak cukup jauh dari kampus, Nathan tetap dengan senang hati menjemput Zefanya. Pertama, karena Nathan ingin memastikan sendiri Zefanya pulang dengan aman. Kedua, dia hanya mencari alasan untuk bertemu. Ketiga, dia mencintainya. Keempat, dia merindukannya. Kelima, masih merindukannya. Keenam dan seterusnya, masih sama dia merindukan gadisnya.
Ah, Nathan memang gila. Dia mencintai Zefanya hingga titik paling dalam. Seolah hidupnya hanya berpusat pada gadis berambut panjang itu.
Nathan menghentikan motor matic keluaran terbaru miliknya di depan kampus, tempat biasanya ia dan Zefanya bertemu. Belum sempat dia membuka ponsel dan menghubungi Zefanya, gadis yang dimaksud sudah berada di sisinya dengan senyum simpul.
"Lama," gumam Zefanya, tidak bermaksud mengomeli Nathan. "Kejebak macet, ya? Aku menunggu sampai kakiku nyaris beku."
Nathan menatap Zefanya lamat-lamat. Lalu dengan segera menyerahkan helm pada perempuan itu. Tak lupa, raut wajah panik dan khawatir menyertainya. "Seharusnya kamu menunggu aku di kafe atau di mana. Tempat yang aman. Kenapa nekat menunggu di sini?" tanya Nathan, membantu memasangkan helm-nya di kepala Zefanya.
"Males. Lagi pula hanya kaki aku yang tersemprot hujan waktu lagi deras-derasnya tadi," Zefanya menjawab ringan. Kemudian lekas naik ke kendaraan beroda empat milik Nathan. Sebagai informasi, Zefanya menunggu di tempat perhentian bus yang berada tepat di sisi pintu keluar kampus.
"Baju kamu tipis, Ze." Nathan menoleh, belum melajukan motornya.
Zefanya membentuk bibirnya menjadi satu garis tipis. "Pinjemin jaket kamu," katanya, sambil menarik-narik pelan lengan hoodie putih milik Nathan. Persis seperti anak kecil.
"Jaket aku basah."
"Terus?" Zefanya berhenti, kemudian mengerucutkan bibir dengan kecewa mendengar jawaban Nathan.
Nathan lekas turun dari motor. Kedua sudut bibirnya terangkat melihat Zefanya yang masih memasang wajah sebal. "Turun dulu," dia berujar lembut.
Awalnya, Zefanya ogah-ogahan, tetapi akhirnya ia hanya manut, lekas turun dari kendaraan pacarnya. Nathan membuka jok dan mengeluarkan sebuah paper bag yang ternyata berisi jas hujan serta jaket baru.
"Kamu bisa flu kalau pakai jaket aku. Jadi aku beli jaket baru di perjalanan tadi, tahu kalau kamu pasti kedinginan. Di-double pakai jas hujan. Lumayan, masih gerimis."
Wajah tertekuk Zefanya barusan seketika berubah haru. "Nath," lirihnya, tidak bisa berkata-kata. Dia membiarkan Nathan memakaikan jaket tersebut padanya, seolah-olah Zefanya tidak bisa melakukannya sendiri. Dalam rentang waktu itu, Zefanya tak henti-hentinya menatap lekat wajah Nathan. Ada binar yang tak bisa diartikan di balik bola matanya. Dan Nathan, jelas sadar akan hal itu.
Lalu kemudian ... "Kenapa bawa jas hujannya cuma satu?" Zefanya menaikkan sebelah alis. Tatapannya berubah penuh selidik.
Nathan tersenyum lebar. "Biar kamu khawatir," pungkasnya santai. Lalu gelak mewarnai sore yang bermandikan cahaya jingga yang perlahan semakin tertutup oleh awan hitam di cakrawala sana.