6. Bos Yang Bossy

2058 Kata
Zefanya turun dari mobil, mengambil tas kerja Nathan, kemudian mengekor langkah pria itu di belakangnya. Sementara Pak Zainal sepertinya lekas pergi usai menyimpan mobil. "Bawa tas saya ke tempat kerja di sisi kanan kamar saya," titah Nathan, berhenti tepat di depan anak tangga. Zefanya mengangguk sopan. Kemudian kembali berjalan mengekori Nathan. Sesampainya di depan ruangan yang dimaksud, Zefanya kembali menghentikan langkah. "Kalau Pak Nathan butuh apa-apa, Bapak bisa panggil saya," gumam Zefanya, sedikit menunduk sebagai tanda sopan santun kepada orang yang kini menjadi atasannya. "Selamat beristirahat, Pak." Nathan berhenti, memperhatikan wajah Zefanya sejenak, kemudian berlalu begitu saja dengan kaki-kaki panjangnya setelah mengangguk singkat. Sementara, Zefanya hanya bisa menatap punggung lebar pemuda itu yang tak lama kemudian menghilang di balik pintu. *** Nathan melepaskan jas hitamnya dan menyimpannya di single sofa yang persis terletak di dekat jendela. Kemudian melangkahkan kakinya dan duduk di sudut ranjang sambil membuka kancing lengan kemejanya. Jantungnya tiba-tiba saja berdebar keras secara menyakitkan. Sekarang, dia tidak tidur sendirian. Ada orang lain di rumahnya, dan itu ... Zefanya. Iya, orang yang tidak pernah sekalipun dia harapkan akan kembali ke dalam hidupnya. Orang yang dulu terlalu sempurna untuk bisa dia taklukkan. Orang yang pernah menciptakan luka besar di dalam hatinya, hingga ia membeku dan tertutup rapat hingga detik ini. Nathan mengusap wajahnya dengan kasar. "Sial. Apa Zefanya adalah vampir?" pekiknya, bermonolog. "Aku membenci kehadirannya. Tapi wajahnya yang sama persis dengan beberapa tahun lalu, justru membuat jantung sialan ini berfungsi secara abnormal. Persis seperti dulu." Nathan memang bodoh. Dia sendiri tahu hal itu. Dia membenci Zefanya, karena dia tidak bisa membencinya. Dia membenci Zefanya, karena wanita itu adalah alasan mengapa hingga saat ini dia tidak bisa terpikat pada gadis lainnya. Dia membenci Zefanya, karena setelah apa yang perempuan itu lakukan pun, Nathan masih bisa merasakan jantungnya berdebar tak karuan, karena seorang Zefanya Adya. Zefanya telah menorehkan luka yang cukup dalam di masa lalu. Nathan, seharusnya membenci dan melupakan Zefanya. Namun sialnya, dia tidak pernah mampu melupakan hal itu. Terutama sekarang, saat sosok itu bergentayangan di sekitarnya. Nathan berdiri di bawah shower air di kamar mandinya. Membiarkan kulit liatnya dibelai oleh air hangat yang mengalir membasahi seluruh tubuh. Nathan berharap, dengan mandi, dia bisa menjernihkan pikirannya. Namun yang terjadi justru, pikirannya melayang pada sosok Zefanya. Lagi. Gadis itu ... ada banyak hal yang terus mengganggu Nathan. Tapi, dia berusaha mengenyahkan semua hal tersebut. Sayangnya, setiap kali terkurung dalam tempatnya sendirian, dia tidak bisa mengontrol pikirannya. "Kenapa Zefanya yang memiliki segalanya kini bekerja denganku? Dia seorang Dewi, kenapa kini tampak agak aneh?" Lagi-lagi, pria itu bermonolog. Nathan bisa saja menyelidiki semua lewat koneksi yang dia miliki, tetapi hal itu hanya akan menegaskan bahwa dirinya peduli. Ya, karena sepatutnya, Nathan tidak boleh peduli lagi pada Zefanya. Alih-alih peduli, dia seharusnya senang bisa mempermainkan Zefanya, karena perempuan itu kini menjadi bawahannya. Dia bisa melakukan apa pun. Pria itu mematikan shower-nya dan meraih handuk yang kemudian ia lilitkan di sekitar pinggang. Berjalan keluar dan langsung meraih ponselnya. Mendial nomor Zefanya. Butuh waktu hingga deringan ketiga sampai panggilannya diangkat. "Kamu membuat saya menunggu," pungkas Nathan, sesaat setelah bunyi bip tanda telepon tersambung terdengar. "Eh, maaf?" Suara Zefanya menyahut lelah di ujung sana. "Ada apa, Pak? Bapak butuh bantuan saya?" "Lain kali, jika saya menelpon, kamu harus mengangkatnya sesegera mungkin. Saya tidak suka menunggu," omel Nathan dengan nada kesal. Meski sebenarnya tidak kesal-kesal banget. Namun dia sengaja melakukannya. "Datang ke kamar saya sekarang. Jangan lama!" titahnya mutlak. "Maafkan saya, Pak," gumam Zefanya, terdengar tertekan. Dan Nathan malah suka. "Saya ke sana sekarang juga." Nathan menutup panggilannya segera. Wajahnya mendongak, menatap ke arah pintu, menunggu sosok Zefanya tiba. Sementara, bibirnya mengulum senyum. Lalu benar saja, tak berapa lama kemudian, sebuah ketukan pelan terdengar. Nathan membuka pintu, lalu disambut oleh muka pucat serta mata cantik yang membeliak terkejut milik Zefanya. Apalagi, ketika dirinya tiba-tiba menarik perempuan itu masuk ke dalam kamar dalam sekali sentakan keras. "Pak, a-ada apa? Apa yang bisa saya bantu?" Zefanya bertanya gugup. Tapi kalimat berikutnya terdengar lebih tenang, kendati dia masih menghindari menatap Nathan secara langsung. Sungguh, Nathan hampir saja tidak kuasa menahan senyum gelinya. Wajah pucat Zefanya menjadi hiburan tersendiri untuk Nathan. Nathan sengaja berjalan mendekat, mempersingkat jarak di antara mereka berdua. Zefanya mundur, memberi jarak. Nathan maju lagi. Terus seperti itu. Hingga hampir saja tubuh keduanya bersentuhan, tetapi Nathan lekas menghentikan gerakannya, sedikit iba melihat wajah Zefanya sudah semakin pucat. "Ambilkan saya baju tidur. Saya sudah terlalu lelah bekerja seharian," gumam pria itu, dengan sorot penuh kemenangan di matanya. Mendengar titah Nathan, Zefanya mendongak. "Baju tidur?" dia bertanya bingung. "Pak, ruang ganti Anda tepat berada di sisi kamar mandi. Anda hanya perlu mengambil langkah beberapa kali." Nathan mendelik tak terima. "Kamu tidak dengar? Saya terlalu lelah," pungkasnya. Lalu ia memicing skeptis sekaligus remeh pada gadis itu. "Ini hari pertama kamu, tetapi kamu sudah mengeluh seperti ini?" "Oh, tidak." Zefanya menggeleng cepat. "Bukan maksud saya untuk mengeluh. Saya hanya ... baiklah." Zefanya sepertinya memilih tidak memberikan alasan apa pun. Tahu, bahwa apa pun yang ia katakan pasti akan dipatahkan oleh Nathan. Zefanya lekas masuk ke ruang ganti. Sementara Nathan tersenyum puas bisa membuat Zefanya kalah telak seperti tadi. Tak berapa lama, Zefanya kembali keluar dengan sebuah piyama berwarna navy. Nathan menggeleng tak suka. "Saya tidak sedang mood dengan nuansa gelap. Ambilkan yang lain," katanya tegas. Zefanya tanpa protes hanya membalikkan badan dan kembali untuk mengambil piyama lain yang dirasanya akan disukai Nathan. Kali ini, pilihannya jatuh pada piyama berwarna putih dengan garis-garis hitam. Piyama itu cukup manis dan Nathan mungkin saja suka. Namun, perkiraannya salah. Kali ini, gelengan keras juga ia dapatkan dari Nathan. "Garis-garis membuat mata saya pusing. Yang polos," ujar pria itu dengan gaya arogan yang sudah Zefanya katakan membuatnya sebal. Zefanya menghela napas pelan-pelan. Berusaha mengendalikan diri agar tidak meledak saking kesalnya pada sosok bos-nya tersebut. "Baiklah. Saya akan membawakan piyama yang lain," ujar gadis itu pasrah. Ia kembali membalikkan badan dan masuk ke dalam ruang khusus pakaian Nathan. Kali ini dia langsung mengambil piyama putih. Nathan bilang tidak mood dengan warna gelap dan ingin yang polos. Bukankah putih adalah jawaban? Zefanya sudah percaya diri kali ini dugaannya benar, tetapi ternyata ... "Putih? Bisa tolong ambilkan warna lain?" pinta Nathan santai. Sialan. Zefanya ingin menjambak rambut Nathan dan mencakar wajahnya! Zefanya menarik napas dalam-dalam. Lebih dalam dari sebelumnya. Dia harus menahan diri. Sungguh-sungguh harus menahan diri. Dengan penuh keterpaksaan dan tekanan luar biasa, Zefanya menarik sudut bibirnya ke atas, berusaha tetap tersenyum meski sebenarnya dia ingin membanting pria itu. "Anda ingin piyama yang seperti apa, Pak? Biar saya carikan yang pas dengan keinginan Bapak," ucapnya, masih berusaha sopan. Nathan tersenyum arogan. Kaki panjangnya yang bertumpang satu sama lain menegaskan kearoganan tersebut. "Ada beberapa piyama hitam polos. Kamu bisa mengambilkan itu untuk saya," ucapnya. "Anda bilang sedang tidak mood dengan nuansa gelap? Hitam adalah warna gelap," tukas Zefanya setengah menggerutu. Nathan tersenyum kecil, sama sekali tidak merasa bersalah. Dan itu membuat Zefanya kesal bukan main. "Itu tadi. Lagi pula yang kamu ambil warna navy." Zefanya tampak menghela napas dalam-dalam beberapa kali. Sepertinya, perempuan itu sudah di level jengkel paling tinggi padanya. "Baiklah. Saya akan mengambilkannya untuk Anda," ucapnya setelah menetralkan diri. "Terima kasih," Nathan menjawab sejurus kemudian. Lagi-lagi tanpa merasa bersalah. Zefanya kembali menuju lemari tempat piyama Nathan berkumpul. Dia mencari sesuatu yang Nathan sebutkan tadi. Sebuah piyama hitam polos. Oke. Sesekali, ia menggerutu dengan pelan. Mengoceh perihal bos-nya yang menyebalkan tersebut. Setelah menemukan apa yang ia cari, Zefanya lekas keluar dan meletakkan piyama tersebut di sisi ranjang. "Ada lagi hal yang bisa saya bantu sebelum saya pergi?" tanya Zefanya. "Tidak ada," balas Nathan, tersenyum tipis. "O ya, sprei dan selimut untukmu ada di ruang penyimpanan dekat dapur." "Baik. Terima kasih, Pak. Selamat malam." Zefanya lekas meninggalkan kamar Nathan sebelum pria itu berubah pikiran dan menyuruhnya melakukan sesuatu lagi. Tidak apa jika apa yang diperintahkan tidak membuat jengkel, jika sudah seperti tadi, siapa yang tahan? Sementara Nathan, dia mengambil piyama yang disiapkan Zefanya tadi. Kedua sudut bibirnya terangkat naik. Begitu puas telah mengerjai Zefanya. *** Zefanya mendaratkan tubuhnya di atas kasur yang susah payah dia turunkan dari atas lemari setinggi satu meter di pojok gudang. Perempuan itu lantas menatap langit-langit. Betapa melelahkan hari ini untuknya. Menemani Nathan sudah seperti asisten yang merangkap sebagai sekretaris, menyiapkan banyak hal untuk lelaki itu, setelah pulang dia harus merapikan gudang yang berantakan lalu menyulapnya menjadi kamar. Gila. Hari ini benar-benar gila. Tubuh Zefanya rasanya begitu remuk. Zefanya baru saja hendak terlelap, tidak peduli dia belum mencuci muka sama sekali. Namun, dering ponsel membuat ia kembali mengurungkan niatnya. Zefanya menggapai-gapai kasur, mencari benda pipih yang berbunyi nyaring. Saat ia membaca kontak yang tertera di layar, lekas-lekas Zefanya terbangun. "Iya, Pak Nathan?" Zefanya menyahut segera, tepat setelah mengangkat panggilan. Dia malas jika terkena tegur lagi karena telat mengangkat panggilan dari bos-nya tersebut. "Ke sini sebentar," ujar Nathan di seberang sana. "Ya, ada apa, Pak? Ada yang bisa saya bantu lagi?" tanya Zefanya, sigap menegakkan bahu. "Saya bilang datang ke sini, ke kamar saya!" Astaga. Zefanya menghela napas panjang mendengar nada menyebalkan itu lagi. Zefanya sudah lupa kapan kali terakhir dia memiliki atasan atau klien yang cerewet dan banyak maunya seperti Nathan. "Baik, Pak. Saya akan ke sana," jawab Zefanya mau tak mau. Ia lantas benar-benar turun dari kasur dan menuju ke kamar Nathan lagi. Kalian harus tahu, bahwa jarak dari kamar Zefanya ke kamar Nathan cukup jauh. Belum lagi Nathan bilang ia tidak suka menunggu. Zefanya sampai rusuh setiap kali Natha memanggil. Ia harus berlarian agar tiba lebih cepat di ruangan Nathan, meskipun napasnya nyaris saja habis. Ketika tiba di kamar Nathan, Zefanya menemukan pria itu tengah duduk manis di sofa lalu menatapnya dengan penuh keluguan. "Sudah hampir seminggu sejak terakhir saya mengganti sprei. Tolong gantikan sekarang." Zefanya menatap ranjang Nathan dan juga sprei-nya yang kelihatannya bersih-bersih saja. Tapi, mungkin hanya kelihatannya saja bersih. Ah, entahlah. "Baik, Pak Nathan." Zefanya mengangguk patuh. Ia bergegas membuka sprei dan sarung bantal tersebut lalu bergegas mengambil penggantinya dan memasangkannya kembali. Beberapa menit kemudian, Zefanya sudah selesai dengan pekerjaannya. Dia menghampiri Nathan yang sejak tadi duduk manis sambil memperhatikannya. "Tempat tidur Anda sudah siap, Pak. Anda bisa istirahat dengan nyaman sekarang," gumam Zefanya dengan senyum seramah yang ia bisa. Nathan mengangguk. "Baiklah. Kamu bisa kembali ke kamarmu sekarang," ujarnya. Tanpa menunggu Nathan memberi perintah dua kali, Zefanya lekas undur diri dari hadapan laki-laki itu. Ia juga butuh istirahat sekarang. Namun yang terjadi, sungguh di luar dugaan. Zefanya baru mendaratkan bokongnya di atas kasur saat ponsel di tangannya kembali berdering. Nathan. Lagi. Serius, bokongnya bahkan belum menyentuh kasur secara sempurna! Astaga, Zefanya berusaha mengatur napas. Dia tidak boleh emosi. Lekas-lekas ia menerima panggilan dari atasannya, berharap kali ini ia tidak meledak. "Bantal saya tidak nyaman. Bisa ambilkan bantal lain yang lebih nyaman dan empuk? Saya tidak bisa tidur dengan bantal seperti ini." Suara Nathan langsung menyahut di seberang. BUKANKAH KAMU BISA MENGATAKANNYA TADI SEBELUM AKU KEMBALI KE KAMAR?! Zefanya menjerit kesal dalam hati. Perempuan itu menarik napasnya dalam-dalam. Berusaha agar tidak meledak saat itu juga. Ayolah! Kenapa tidak dari tadi? Apakah Nathan tidak tahu bahwa rumahnya ini begitu besar dan jarak dari kamar Zefanya ke kamarnya sangat jauh? Apakah dia sengaja melakukan ini untuk menyiksanya?! *** Zefanya mengetuk pintu kamar Nathan dengan sebuah bantal yang ia dekap. Meski ngantuk dan lelah setengah mati, Zefanya tetap berusaha mencari bantal empuk tersebut untuk atasannya yang menjengkelkan. Oh, seandainya Nathan bukan boss-nya, mungkin Zefanya akan melemparkan bantal tersebut keras-keras ke wajah pria itu. Sekalian dia isi dulu bantal tersebut dengan batu kerikil atau membiarkan kucing orange yang biasa mampir ke rumah Nathan untuk buang air dulu di bantal tersebut. "Ini bantal yang Anda minta, Pak. Saya pastikan bantal ini nyaman, lembut, dan empuk," kata Zefanya. Secara terpaksa tersenyum pada pria di hadapannya. Nathan menarik kedua sudut bibir ke atas. "Okay. Terima kasih," ujarnya. Hendak menutup pintu, tetapi Zefanya menahannya terlebih dahulu. "Apa tidak ada hal yang Anda butuhkan lagi sebelum saya kembali, Pak?" "Sebentar." Nathan terdiam, pura-pura merenung. "Tampaknya tidak. Kamu bisa kembali ke kamar kamu sekarang." "Bapak yakin?" tanya Zefanya tak yakin. "Ya. Saya yakin." "Baiklah kalau begitu. Saya permisi." "Ze." "Ze." "Zefanya?" "Kamu belum tidur? Buatkan saya camilan malam, saya lapar." "Tapi, Pak, ini sudah lewat dari jam delapan malam." "Lalu?" "Makan lewat dari jam itu kurang baik." "Saya lapar. Itu tugas kamu, bagaimana caranya agar saya tidak kelaparan tetapi tetap sehat."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN