7. Hanya Manusia Biasa

1675 Kata
"Tidak ada pasien lagi untuk hari ini?" Raka bertanya pada Dinar, asisten yang membantunya untuk praktik rawat jalan. Perempuan berusia pertengahan 20-an yang memegang berkas tersebut menggeleng pelan. "Tidak ada, Dok. Bu Fitri barusan pasien terakhir," jawab Dinar mantap. Raka mengangguk kecil sebagai respons. "Baiklah, kalau begitu. Terima kasih untuk hari ini, Dinar." Pria itu tersenyum simpul, kentara sekali dengan imejnya sebagai dokter yang sangat ramah dan pengertian. Nyatanya, imej tersebut bukan hanya sebagai imej, tetapi pada kenyataannya Raka adalah orang yang sangat baik dan hangat. Dinar pamit undur diri dari hadapan Raka beberapa saat kemudian. Sementara Raka memilih memeriksa kembali beberapa hasil medis pasiennya, mengingat tidak ada jadwal apa pun lagi selama beberapa jam ke depan. Namun belum lama dari keluarnya Dinar, pintu ruangan diketuk oleh seseorang. Menginterupsi kegiatan Raka. "Masuk!" titah pria itu kepada orang di luar. Laki-laki itu sama sekali belum mengangkat wajah sampai pintu akhirnya terbuka. "Kamu ada waktu?" Raka terdiam mendengar suara yang amat familier untuknya. Apalagi saat ia mengangkat wajah dan melihat sosok yang beberapa bulan terakhir ini tidak pernah dia temui. Lebih tepatnya, Raka selalu menghindar bertemu dengannya. "Aku punya banyak pekerjaan," balas Raka. Raut mukanya berubah keras. Ia membuang pandang dari wajah perempuan cantik yang kini berjalan perlahan ke hadapannya. Lebih memilih menatap aksara demi aksara yang tertulis di layar laptop daripada wajah ayu wanita itu. Wajah ayu yang dulu pernah ia puja. "Dinar bilang kamu sudah selesai praktik rawat jalan. Kamu juga tidak ada operasi ataupun *visite sampai nanti malam," tukas perempuan bernama Sinta, orang yang pernah Raka cintai dan hampir ia persunting beberapa waktu lalu. Raka menghela napas dalam-dalam. Mendadak merasa terusik karena kehadiran mantan kekasihnya itu. "Ada banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan selain dari pekerjaan utama di rumah sakit. Urusan pribadi," jawabnya dengan malas. "Aku hanya minta waktu sepuluh menit." Sinta masih berdiri di hadapan Raka, begitu kukuh tak ingin beranjak, meski Raka sudah mengusirnya secara halus. Raka menghentikan gerakan jarinya yang sejak tadi sibuk pura-pura tengah menggeser touchpad laptop. Bahunya melorot lelah, lantas pria itu mendongak hingga kini netranya bertatapan langsung dengan mata Sinta yang dilapis softlens berwarna abu-abu. "Sepuluh menit terlalu berharga untuk aku buang hanya demi bicara dengan kamu," ucapnya. Sangat tenang, tetapi menusuk. Kedua permata Sinta berubah sendu. Tapi sekali lagi, wanita itu masih kukuh berdiri di sana. "Kamu sebegitu bencinya terhadap aku?" Ia tanya dengan suara bergetar menahan tangis. Namun Raka, sama sekali tidak akan luluh meski Sinta menangis sekalipun. Kepercayaannya, hatinya, cintanya, semuanya sudah terlanjur hancur. Raka kembali membuang pandang. Malas dan tidak ingin tergocek saat melihat air mata yang menetes di pipi Sinta. Air mata itu pernah menipunya beberapa kali. Mana mungkin Raka akan percaya lagi. "Aku tidak bilang bahwa aku membencimu," katanya, berusaha tetap tenang. "Aku hanya tidak ingin berurusan lagi dengan kamu dan mengulang luka yang sama pada akhirnya." "Raka, aku perlu menjelaskan situasi yang tengah aku hadapi ke kamu." "Untuk apa?" Raka kembali menatap Sinta dengan tatapan kelam. Jelas masih ada begitu banyak luka di sana, meski tak separah waktu-waktu yang lalu. "Aku sudah tidak ada hubungannya dengan kamu lagi." Sinta menggeleng, enggan mendengar kalimat itu. "Aku masih cinta sama kamu," pungkasnya cepat. Dia pikir, Raka akan kembali luluh jika ia berkata demikian. Namun sebaliknya, ekspresi Raka justru semakin mengeras. Bahkan kini, secara terang-terangan Raka melayangkan tatapan sinis ke arahnya. "Lalu?" Raka bertanya sangsi. Pria berusia awal 30-an itu berdiri. "Begitu mudahnya bagi kamu mengumbar kata cinta pada seseorang? Kamu pikir, cinta adalah sebuah mainan?" "Raka." Raka menggeleng pelan. "Sinta, kita sudah putus. Silakan kembali pada laki-laki yang kamu kencani beberapa bulan lalu," tandas Raka mutlak. Dia sudah mulai jengah berurusan dengan Sinta yang terus mengusiknya dengan berbagai rayuan agar mereka kembali bersama. Dia jengah dan malas mengusir wanita itu dari hadapannya. "Aku tidak benar-benar mencintai dia. Aku hanya pergi dengannya saat kamu begitu sibuk dengan pekerjaan kamu sampai melupakan aku." Sinta berujar dengan suara yang bergetar. Sementara, matanya lekat menatap Raka. Membuktikan keseriusan dari ucapannya. "Lalu kamu akan mengulangi hal yang sama suatu saat nanti jika kita kembali bersama," Raka menjawab. "Aku akan tetap dengan pekerjaan aku, dengan kesibukan aku saat ini. Aku akan seperti biasanya, sulit menemui kamu, janji kita sering batal karena pasien darurat atau pun operasi dadakan." "Aku tidak masalah dengan itu semua," tukas Sinta cepat. Secepat itu pula Raka menggeleng skeptis. "No, kamu bermasalah dengan itu. Kalau tidak, mungkin kamu tidak akan berselingkuh bersama lelaki lain dengan alasan yang tadi kamu sebutkan." Sinta terjebak dengan alasan yang ia buat sendiri. Pada akhirnya, dia tidak memiliki hal apa pun lagi yang bisa dikatakannya. Raka terlalu pintar dalam mendebat. Dia terlalu logis dan cermat dalam mencerna intisari dari ucapan lawan debatnya. "Aku akan berubah ...." Hanya itu kalimat andalan yang bisa Sinta sebutkan. Dan Raka, memilih tidak peduli. Pria itu menutup laptop dan lekas berjalan meninggalkan ruangan, meninggalkan Sinta, meninggalkan semua omong kosong yang disampaikan perempuan itu. "Raka." "Raka!" "Raka, aku mohon!" Panggilan demi panggilan dari Sinta sama sekali tidak Raka hiraukan. Dia menarik gagang pintu ruangannya, kemudian sedikit terlonjak begitu mendapati sosok perempuan ber-blouse sederhana tengah berdiri dengan mata membeliak, sama kagetnya dengan Raka. "Zefanya," gumam Raka. "Ah, aku tidak bermaksud menguping pembicaraan kalian. Aku baru saja tiba beberapa saat lalu," jelas Zefanya. Perempuan itu melirik ke balik punggung Raka, lalu mendapati Sinta berjalan dengan wajah yang basah oleh tangis. "Aku akan kembali lagi nanti kalau begitu." Zefanya nyaris membalikkan tubuh dan pergi, tetapi sebuah tangan besar dan kuat menahan lengannya. Raka. "Aku belum makan siang, dan ini sudah jam hampir jam 2. Bisa temani aku makan di bawah?" tanya Raka dengan ringan, sama sekali tidak peduli dengan Sinta yang jelas akan mendengar ucapannya. Raka malah sengaja mengatakan hal itu untuk menegaskan padanya bahwa mereka benar-benar telah usai. Tidak ada lagi yang perlu mereka bahas. "Tapi, Raka ...." "Ayo!" ujar Raka, menarik tangan Zefanya, yang masih tampak bingung dengan situasi yang terjadi. *** "Sinta masih minta balikan?" tanya Zefanya. Keduanya duduk saling berhadapan di ruangan Raka, dengan dua box pizza dan dua jus segar di meja. "Ya, seperti yang kamu lihat. Dia begitu gigih," balas Raka, seraya menyomot sepotong pizza dan melahapnya segera. "Di satu sisi, aku merasa lega karena kamu tidak goyah untuk kembali jatuh ke lubang yang sama," pungkas Zefanya, menatap Raka dengan senyum tipis. Tapi sejurus kemudian, senyum itu lenyap, digantikan oleh tatap sendu. "Sisi lainnya aku juga merasa kasihan. Sepertinya, Sinta sangat menyesal akan apa yang terjadi. Dia tampak sungguh-sungguh ingin kembali bersama kamu." "Itulah kelemahan yang kamu miliki, Ze." Raka melahap sisa pizza di tangannya. Cepat-cepat mengunyah lalu menelan makanan tersebut sebelum melanjutkan kalimatnya yang belum usai. "Kamu terlalu baik dan perasa. Entah sejahat apa pun seseorang memperlakukan kamu, kamu selalu saja memiliki hati untuk memaafkan. Seharusnya kamu lebih keras sedikit." "Tidak, bukan begitu," sanggah Zefanya. "Hanya saja mungkin, karena aku tidak benar-benar berada di posisi kamu. Aku tidak tahu rasanya. Makanya, aku bisa iba melihat Sinta. Tapi kamu ... mungkin, rasa sakitnya bahkan tak tertanggungkan." "Semuanya sudah selesai sekarang," Raka bergumam pelan. Ada sesuatu yang mengoyak hatinya kendati dia bicara demikian. Benar, dia sempat tidak mampu menanggung rasa sakit dan kecewa atas apa yang Sinta lakukan. Jika saja Zefanya atau siapa pun tahu detailnya, mereka pasti tidak akan bisa membayangkan separah apa luka yang Raka alami. Namun, Raka memilih menyimpan semua itu sendirian. Membiarkan hanya dirinya sendiri yang mengetahui sebesar apa rasa sakit yang Sinta berikan padanya pada malam itu. Pada waktu yang Raka sendiri tidak tahu pasti sejak kapan semua terjadi. "Apa pun keputusan yang kau ambil, aku harap itu yang terbaik. Kau berhak bahagia, apa pun alasannya." Raka menarik kedua sudut bibirnya. Diliriknya Zefanya yang menatap lurus serta tulus padanya. "Kau juga," balas Raka. "Bepergian lah sesekali. Nikmati waktumu. Atau mulailah berkencan dengan seseorang." Zefanya menggeleng sambil tersenyum simpul. "Aku baik-baik saja, itu cukup. Sementara berkencan, aku rasa hal itu terlalu mewah untuk dilakukan oleh orang seperti aku." Raka mengernyit mendengar ucapan Zefanya. "Orang seperti kamu? Orang yang bagaimana?" tanya Raka skeptis. "Kamu juga manusia, Ze. Kamu berhak bahagia. Kamu berhak menikmati hidup. Kamu berhak melakukan apa pun yang kamu mau. Kamu berhak akan itu semua. Karena kamu ... hanya manusia biasa. Sama seperti yang lainnya." Zefanya menyunggingkan senyum tipis. "Aku terlalu sibuk untuk berjuang demi Ibu dan juga kelanjutan hidupku sendiri. Berkencan, mencari kebahagiaan, semua itu terlalu mewah. Untuk membayangkannya saja, aku rasa aku tidak bisa." "Hei," panggil Raka pelan. Dia menyimpan pizza yang baru saja hendak dia suapkan. Kemudian menatap Zefanya lurus. "Kamu terlalu lama stuck di pemikiran itu, Ze. Kamu terlalu lama berjuang hingga lupa cara menikmati hidup, padahal kamu memiliki banyak waktu untuk melakukannya," gumam Raka. Sesaat, hanya ada keheningan di dalam ruangan tersebut. Zefanya terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri. Dan Raka mengambil jeda untuk menatap lamat-lamat wajah Zefanya yang tampak begitu suram. Begitu banyak luka, kekecewaan, dan kelelahan yang amat sangat tergambar di wajah tersebut. Zefanya terlalu muda untuk menanggung semua luka itu. Tidak seharusnya dia begini. "Ze," panggil Raka setelah beberapa saat kemudian. "Bagaimana jika seseorang datang ke dalam hidupmu? Secara tiba-tiba dia meminta kamu untuk menjadi kekasih atau istrinya?" Zefanya mengangkat bahu. "Kamu tahu aku tidak pernah serta merta menerima seseorang di dalam kehidupanku setelah apa yang aku lalui." "Jika orang itu sudah mengenal kamu cukup lama dan kamu juga tahu seluruh hal tentangnya?" Zefanya mencari keberadaan air mineral, tetapi ia baru sadar di sana tidak ada. Ia pun akhirnya meraih jus yang tersedia dan menyeruputnya sedikit sebelum menjawab. "Maksud kamu, orang terdekatku?" tanya Zefanya. Raka mengangguk sambil menatap lurus wajah gadis itu, menunggu jawaban yang akan terlontar dari bibir ranumnya. "Jika kami saling mengenal dan aku dekat dan nyaman dengannya, artinya dia orang baik," ucap Zefanya. Ia menarik sudut-sudut bibirnya sedikit, hingga membentuk senyuman tipis. "Mungkin, aku akan memikirkannya," lanjut Zefanya. Kembali menyeruput jus di dalam cup yang dia genggam. Sementara Raka, ia terdiam selama beberapa saat. Namun pada detik berikutnya, senyum simpul terbit di bibir lelaki itu. Membuatnya semakin menawan meski dalam keadaan lelah sekali pun. *** Note: *Visite merupakan kunjungan ke pasien rawat inap bersama tim dokter dan tenaga kesehatan lainnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN