5. Wortel

1705 Kata
Sementara Nathan menghadiri rapat bersama sekretarisnya, Zefanya justru terjebak di ruangan besar pria itu dengan berbagai alat kebersihan yang berada di tangannya. Dia membersihkan meja, sofa, lemari, dan setiap penjuru ruangan Nathan hingga kinclong. Ya, Nathan bilang semuanya harus kinclong. Like, hell! "Jika dipikir-pikir, bukankah ini pekerjaan Office boy?" monolog Zefanya, meletakkan serbet yang dirinya gunakan untuk mengelap kursi Nathan, kemudian menyisir pandang ke sekeliling dan mendesah keras. "Oh, aku tahu sejak awal bahwa aku akan bekerja apa saja asalkan mendapat gaji yang sesuai. Tapi sungguh, pekerjaan ini benar-benar pekerjaan yang bisa dilakukan oleh orang lain alih-alih seorang asisten," katanya. Zefanya menghela napas panjang. Tidak ada gunanya ia mengeluh, meskipun ia ingin. Lagi pula sejak awal, dia bersedia bekerja apa pun di saat keadaan ekonomi seperti ini. Terlebih, dia memiliki tanggungan besar biaya rumah sakit ibunya. Zefanya baru saja mendaratkan tubuhnya di atas sofa, tetapi sebuah pemandangan menarik perhatiannya, sehingga ia kembali berdiri dan menghampiri meja yang barusan ia bersihkan. Tadi, dia sama sekali tidak melihat foto apa yang berada di sisi berkas-berkas Nathan. Senyum lebar lekas terpatri begitu melihat foto Nathan dengan tiga pria lain, yang satu di antaranya Zefanya kenal sebagai Dokter Raka, dan satunya lagi adalah Dokter Aras. Sepertinya, mereka semua saudara sepupu, mengingat rupa mereka tampak tak jauh beda. Semuanya tampan dan tinggi. Tapi netra Zefanya tidak bisa lepas dari sosok dengan perawakan paling tinggi dan tampak paling pendiam. Nathan. Nathan berkacamata yang dulu ia kenal dengan baik. "Tidak peduli sejauh apa perbedaan penampilan kamu saat ini, aku masih merasa bahwa kamu tetap Nathan yang dulu," gumam Zefanya, mengusap gambar wajah Nathan dengan senyum tipis terpatri di wajahnya. "Aku sempat membencimu, tetapi aku juga lega saat tahu bahwa kamu hidup dengan baik, sehat, bahkan berubah jadi setampan ini." Senyum wanita itu luruh tak berapa lama kemudian, digantikan oleh tatapan sendu yang kentara. Ia menyimpan kembali foto tersebut. Mengenyahkan hal-hal yang tidak seharusnya singgah di benak. Ia mengambil serbetnya yang terjatuh, kembali bekerja, mengerjakan apa pun yang bisa dia kerjakan untuk melenyapkan pemikiran-pemikiran yang mengganggu konsentrasinya. Zefanya sudah tidak lagi berhak memikirkan perihal hati. Perihal rasa. Sejak kejadian hari itu, sejak peristiwa yang merenggut sebagian besar tawanya, sejak dia berubah dari majikan menjadi Upik Abu, Zefanya sudah merelakan hatinya. Dia ... tidak berniat atau pun terpikir untuk jatuh cinta dan dicintai. Entah itu dengan Nathan, atau yang lainnya. Hidupnya sudah berubah total. Ia terlalu sibuk untuk tetap baik-baik saja. Sementara itu, Nathan telah menyelesaikan rapatnya. Dia sudah kembali beberapa menit lalu, tetapi tidak melanjutkan langkah dan justru berhenti di depan kaca dekat meja Dian. Netranya tidak bisa berhenti menatap sosok Zefanya. Benaknya melambung, berkelana pada kejadian-kejadian masa lalu antara ia dan perempuan itu. Namun, seberapa pun banyak kisah indah yang mereka lalui, akhir kisah keduanya begitu sulit untuk Nathan terima. "Aku sangat membencinya," bisik laki-laki itu. Berdecih pelan. "Entah aku harus bahagia atau marah melihat dia kembali hadir di hidupku dengan kondisi seperti ini." Nathan sudah melakukan banyak cara agar mampu menghapus nama Zefanya di dalam hatinya. Dia berusaha sangat keras untuk tetap waras, di saat Zefanya menghancurkan dirinya hingga tak bersisa. Merenggut hatinya lalu menginjak-injaknya sampai Nathan merasa kebas. Nathan sudah berusaha maksimal untuk mencari pengganti perempuan itu, mencari seseorang yang bisa membuatnya lupa tentang Zefanya atau pun lukanya. Namun nihil. Pria itu lekas membuang pandang, berpura-pura tengah melihat hal lain saat Zefanya menoleh dan sadar akan kehadirannya. "Pak Nathan?" Nathan menoleh saat suara Dian terdengar. Di sisinya, Dian tampak menatap dengan kening berkerut bingung. "Bapak menunggu saya? Apa ada yang bisa saya bantu lagi?" tanya wanita berperawakan tinggi semampai bak model itu. Nathan lekas memperbaiki mimik wajahnya. Bersikap sewajar mungkin agar Dian tidak bertanya-tanya akan kediamannya di sana selama beberapa waktu tadi. "Oh, tidak." Nathan menggeleng. "Hanya, tolong berikan jadwal saya pada Zefanya nanti," katanya. Dian mengangguk tanpa curiga. "Ah, iya. Baik, Pak." Lalu Nathan melenggang masuk ke dalam ruangannya, setelah beberapa detik berusaha mengatur napasnya yang kian memburu. Nathan membenci Zefanya, dia ingin tidak peduli pada perempuan itu, tetapi kini dirinya malah terjebak dengan rasa penasaran serta banyak tanya yang masih belum terjawab tentang gadis itu. *** Nathan berjalan melewati Zefanya yang tengah membersihkan debu di buku-buku besar, kemudian duduk begitu saja di kursi kebesarannya. Nathan sama sekali tidak melihat ke arah Zefanya dan lekas membuka berkas yang tersimpan di meja. "Ambil salinan jadwal saya dari Dian. Saya sudah bicara dengannya barusan," ujar Nathan. Zefanya meletakkan buku yang baru ia bersihkan. Kemudian permisi untuk keluar, menjalankan perintah yang baru saja Nathan bicarakan. "Bagaimana kamu bisa bekerja dengan Pak Nathan sebagai asisten pribadinya?" Ternyata, alih-alih segera diberikan salinan jadwal Nathan, Zefanya justru ditodong oleh pertanyaan tersebut dari Dian. Wanita itu bahkan secara terang-terangan menatap penampilannya dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. "Sama seperti pegawai beliau yang lain, saya melamar, melakukan wawancara, dan diterima," balas Zefanya, berusaha tenang dan tetap menampilkan senyum tipisnya, kendati pertanyaan Dian terdengar agak sinis. "Kamu yakin?" tanya Dian, mendelik seraya keluar dari mejanya menghampiri Zefanya. "Pak Nathan orang yang tidak mudah menerima seseorang di sisinya, apalagi sebagai a-sis-ten pri-ba-di. Dia bahkan berganti sekretaris tidak lebih dari lima bulan sekali. Hanya aku yang mampu bertahan menjadi orang kepercayaannya selama hampir satu tahun. Itu pun, Pak Nathan menerapkan batasan-batasan tertentu, dan kamu ...." "Saya baru bekerja hari ini," tukas Zefanya. "Bisa saja saya hanya bertahan bekerja selama beberapa bulan, sama seperti sekretaris-sekretaris yang telah keluar itu." Dian mengangguk kecil. Setuju dengan apa yang Zefanya katakan. Tapi beberapa saat kemudian .... "Kamu tampak sama sekali tidak risau sebagai orang yang mungkin hanya bekerja sebentar dengan Pak Nathan?" tanyanya. Perempuan itu kemudian kembali ke balik mejanya, mengambil hasil print jadwal Nathan. "Karena saya tidak tahu apa alasan mereka semua berhenti dan diberhentikan," jawab Zefanya. "Setiap orang ingin bekerja dengan nyaman, tentu saja, jadi kalau mereka memilih berhenti karena atasan mereka membuat tidak nyaman, ya, tidak salah." Dian menyodorkan kertas berisi salinan jadwal Nathan yang langsung diterima Zefanya. "Tidak ada yang salah dengan sikap Pak Nathan sehingga membuat para sekretaris sebelumnya tidak nyaman," ungkap Dian. Netranya menatap jauh, seolah menerawang. "Hanya saja, Pak Nathan punya trust issue. Dia tidak bisa mempercayai orang dengan mudah. Dia juga tidak membiarkan seseorang bertahan lama di sisinya, sebab takut sewaktu-waktu seseorang itu membuatnya kecewa." Zefanya termenung sebentar. Mencerna baik-baik ucapan Dian. Kenapa? Ada apa dengan Nathan? Dia juga mendengar hal serupa dari Raka, tetapi tidak tahu bahwa keadaannya seserius itu. *** "Hari ini saya tidak punya jadwal makan siang ataupun makan malam dengan siapa pun, kan?" tanya Nathan, seketika saat Zefanya kembali tiba di ruangan lelaki itu. Sesaat, Zefanya menatap Nathan dalam diam. Banyak pertanyaan yang masih bergelayut di benaknya perihal lelaki itu. "Iya. Tidak ada, Pak," katanya kemudian. Sementara kedua permata indahnya masih menatap lurus Sang Atasan. "Oke," Nathan menjawab tanpa mengalihkan perhatiannya dari laptop. Zefanya menegakkan bahu. "Kalau begitu, Pak Nathan mau makan siang apa? Saya akan carikan restoran terdekat," tawar Zefanya sopan. Sejenak, Nathan menatap Zefanya. "Saya punya banyak pekerjaan yang masih tersisa, jadi saya tidak bisa keluar," balas Nathan santai. Kembali memusatkan atensi pada laptop. "Tapi, Pak." Zefanya merasa keberatan akan keputusan Nathan. Maksudnya, ia merasa bahwa semua ini tidak benar. "Buatkan saya kopi saja," Nathan menyela. Mendengar permintaan Nathan, Zefanya menggeleng tegas. "Anda sudah meminum kopi tadi. Tidak baik jika terlalu banyak mengkonsumsi kopi," ucap Zefanya. Dia melihat Nathan dengan tatapan intens, menegaskan bahwa dia menentang gagasan Nathan barusan. "Selain itu, lambung Anda juga akan kena jika terus-terusan dicekoki oleh kafein tanpa makan makanan lain," kembali, Zefanya memberikan alibi logis. Nathan menghentikan jemarinya yang entah tengah mengetik apa di atas keyboard. Dia lantas kembali melihat Zefanya. Kali ini tatapannya lebih dalam dari sebelumnya. Di matanya, seolah ia tengah mempertanyakan sesuatu sekaligus sangsi. "Lalu? Apa yang harus saya lakukan?" dia bertanya dengan sebelah alis terangkat. Wajah datarnya membuat Zefanya sedikit takut kalau apa yang dia katakan tadi membuat kesal laki-laki itu. "Saya akan memesankan Anda makanan," ucap Zefanya. Suaranya terdengar tenang, meskipun sesungguhnya dia terus merapalkan untuk jangan gugup dalam hati. Nathan mendesah pelan. "Seharusnya kamu katakan sedari tadi," katanya, di luar ekspektasi Zefanya. "Ya sudah. Cepat pesankan." Mendengar nada menyebalkan itu, entah mengapa Zefanya jadi kesal. Astaga. Dia tahu Nathan adalah bos-nya. Dia bebas memerintahkan Zefanya apa saja asal itu semua masuk akal. Akan tetapi, cara lelaki itu berbicara entah mengapa membuatnya sebal. "Baiklah. Akan saya pesankan." Zefanya nyaris saja berbalik. Namun, suara Nathan kembali terdengar. "Kamu tahu saya ingin memesan apa? Kamu tidak tanya?" Nada arogan itu seketika membuat Zefanya memejamkan mata. Tahan, Ze. Tahan. Mungkin dia sedang mengujimu. Ayo, santai sedikit, okay? Zefanya kembali menoleh, berjalan ke hadapan Nathan dan menarik sudut-sudut bibirnya secara terpaksa. "Maaf. Jadi, apa yang ingin Anda pesan?" dia bertanya sesopan yang ia bisa dalam keadaan ini. "Saya ingin beef steik. Pakai kentang saja, tapi jangan pakai wortel." Zefanya mengangguk kecil sebagai jawab. Namun hatinya kini merasa deja vu. Teringat sebuah momen di masa lalu, saat Nathan merajuk dengan manja padanya karena tidak ingin memakan wortel. Betapa menyenangkan hari itu. Sampai-sampai Zefanya ingat detail bagaimana manisnya wajah Nathan dengan poni menggemaskannya. "Wortel baik untuk Anda, Pak. Anda harus membiasakan diri memakan sayuran," ujar Zefanya sejurus kemudian. "Kentang juga sayur," balas Nathan. Zefanya menghela napas pelan. Ditatapnya Nathan dengan pandangan serius. "Ya, saya tahu. Tapi tetap saja, Anda juga harus menyukai wortel." "Kenapa kamu memaksa saya?" Nathan memicing, tampak sangsi. Zefanya mengangkat bahunya dengan ringan. Menolak tuduhan tersebut. "Saya tidak memaksa. Hanya memberi saran." "Kamu menekankan kata harus. Artinya, kamu memaksa saya," ujar Nathan kekeuh. "Baiklah, anggap saja begitu," ucap Zefanya akhirnya. "Tapi itu semua juga untuk kebaikan Anda." "Saya tetap tidak mau. Jangan mendebat saya dan lekas pergi atau saya tidak akan makan sama sekali? Lalu, saya akan melaporkan kamu pada Mami karena tidak becus merawat saya, bagaimana?" ancam Nathan. Pria itu mendelik dengan jenaka. Zefanya membulatkan mata mendengar ancaman dari Nathan. Bisa-bisanya lelaki itu memanfaatkan ibunya demi mendesak Zefanya. Ah, benar-benar! Helaan napas panjang keluar dari mulut Zefanya. Perempuan itu memejamkan mata sejenak, berusaha meredam kekesalan yang rasanya sudah naik hingga ubun-ubun. "Ya sudah, baiklah kalau begitu. Beef steik tanpa wortel, oke?" "Ya, benar." Nathan menjawab dengan senyum lebar penuh kemenangan. Dan Zefanya, agak kesal dibuatnya. Tapi, apa boleh buat? Dia akhirnya pamit undur diri dari hadapan Nathan untuk memesankan makanannya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN