"Karena kamu asisten pribadi saya, kamu tidak memiliki ruangan."
Ucapan Nathan barusan membuat Zefanya mendapatkan jawab atas pertanyaan yang bergelayut di benak perihal di manakah ruangannya. Di depan hanya ada meja sekretaris. Sementara di dalam ruangan Nathan sendiri, tidak ada meja lain selain meja Nathan beserta satu set sofa untuk tamu.
Nathan melemparkan jas yang dibukanya barusan ke arah Zefanya, yang secara cekatan langsung Zefanya tangkap, kemudian duduk di kursi kebesarannya dengan santai.
"Nanti kamu tanya jadwal saya sama Dian, sekretaris saya," ucap Nathan kembali. Lalu pria itu memicing menatap Zefanya yang masih memegang jas-nya sambil berdiri tak nyaman. "Saya tahu kalau jas saya lembut dan hangat karena terbuat dari kain mahal berkualitas tinggi, juga begitu wangi mengingat saya mengenakan parfum impor dari luar negeri. Tapi, kamu tidak harus terus memegangnya. Kamu masih punya banyak pekerjaan, dan saya tidak mau jas saya terkena debu barang sedikit."
Sindiran halus Nathan tersebut membuat Zefanya sadar akan tingkah bodohnya. Dia lalu mencari stand hanger untuk menggantungkan jas mahal milik bos-nya dengan sangat hati-hati, kemudian kembali berdiri di depan Nathan, bersiap menerima perintah lain.
"Maafkan saya atas keteledoran yang baru saja terjadi," ucap Zefanya.
Nathan membuka laptopnya. "Kamu terlalu sering meminta maaf, Zefanya," katanya dengan datar. Namun tatapan matanya tajam, menusuk ke sanubari Zefanya.
Zefanya lekas menunduk dengan sangat sopan. "Saya minta maaf karena telah melakukan kesalahan," gumamnya sungguh-sungguh.
Sementara itu, Nathan yang tengah memegang berkas seketika menjatuhkan kertas-kertas tersebut di meja, sedangkan tatapan matanya lurus ke arah Zefanya.
"Alih-alih terus meminta maaf, kamu bisa memaksimalkan pekerjaan kamu. Sebab permintaan maaf tidak ada artinya sama sekali jika kamu tidak menyesal dan terus mengulang kesalahan yang sama."
***
Jakarta, November 2013
Di kampus bergengsi itu, tidak ada yang tidak mengenal sosok Zefanya Adya. Dia terkenal dengan paras cantiknya yang bagaikan Dewi Yunani, tubuh molek yang sedap dipandang, otak yang cerdas, serta latar belakang cemerlang sebagai seorang anak dari anggota Dewan, dengan keluarga kecil yang harmonis. Dia sempurna, semua orang mengakuinya.
Namun meskipun begitu, Zefanya senang berbaur dengan orang-orang tanpa memandang kasta. Hanya saja terkadang, kebanyakan orang justru segan untuk dekat dengannya. Kadang kala, mereka berpikir tidak selevel dengan Zefanya yang nyaris memiliki segalanya. Itu konyol menurut Zefanya. Dia hanya manusia biasa, pikirnya.
Kampus masih sepi ketika Zefanya meletakkan buku-buku beserta peralatan belajarnya di meja kantin. Dia sudah sarapan di rumah sebenarnya. Lebih tepatnya, dia tidak pernah melewatkan sarapan di rumah, sebab itu adalah satu-satunya momen di mana dia bisa berkumpul bersama anggota keluarganya dengan utuh. Pada jam makan malam, biasanya Ayah belum pulang. Adiknya sering kali tidur lebih awal karena lelah sekolah dan juga les.
"Ze, kamu serius menolak Devan? Kamu masih waras, kan? Atau level kamu terlalu tinggi?"
Zefanya meletakkan ponsel keluaran terbaru miliknya yang baru saja dia ambil dari tas karena mendengar notifikasi SMS masuk. Diana, gadis tinggi dengan dandanan yang agak berlebihan untuk ukuran anak kuliah, duduk di sisinya seraya menatap penuh selidik.
"Ada apa? Apa dia mengadu?" tanya Zefanya santai.
"Mengadu?" Diana memutar bola mata, tak habis pikir. "Kamu menolak dia di parkiran! Di saat banyak mata dan telinga yang menyaksikan, Ze. Kabar kamu menolak Devan sudah tersebar sejak kemarin!"
Zefanya hanya mengedikkan bahu tak peduli. Memang benar dia menolak mentah-mentah lelaki itu. Meski ini bukan kali pertamanya menolak pria, tapi kali ini jelas berbeda sehingga Zefanya mengerti jika gosipnya begitu ramai dibicarakan. Devan adalah lelaki yang tampan, kaya, berkelas. Dia digilai banyak perempuan. Bisa dibilang, Devan adalah versi laki-laki dirinya. Banyak sekali orang yang bicara bahwa mereka berdua sangat cocok. Tapi Zefanya, dia tidak menyukai Devan. Bukan karena dia kurang tampan, tidak ada yang salah pula dengan latar belakang dirinya. Hanya saja ... Zefanya hanya tidak suka. Itu saja.
Bukankah perasaan tidak bisa dipaksakan? Perasaan bukan sesuatu yang bisa dipilih. Entah sesempurna apa pun seseorang, jika hati kita tidak mau menyukainya, ya tidak akan pernah bisa.
"Kamu akan jadi jomlo seumur hidup jika terus pemilih seperti ini." Diana mengeluh.
Ah, apa yang salah sebenarnya? Bukankah ditolak saat menyatakan perasaan itu adalah hal yang wajar? Sebelum menyatakan perasaan, seseorang harus sudah siap dengan konsekuensi satu ini.
***
Zefanya memiliki banyak teman, entah itu laki-laki atau perempuan, dari kalangan anak yang cukup famous. Biasanya, mereka mengajak Zefanya nongkrong di kafe-kafe atau bar di malam hari.
Ya, kehidupan malam Zefanya cukup parah. Tapi dia tahu batasan dalam hal dekat dengan pria. Saat mabuk, sebisa mungkin Zefanya menjauh dari laki-laki, meskipun mereka teman dekatnya sekali pun. Dia cukup paham, bahwa pria yang tidak sadar bisa saja berubah menjadi berengsek.
Bar begitu ramai malam hari ini. Jelas saja, sebab Sabtu malam sudah tiba. Orang-orang akan menggila. Menari hingga pagi, melepas penat setelah seminggu bergelut dengan kegiatan membosankan.
"Kamu harus berkencan sekali-kali, Ze. Karena kejadian menolak Devan itu, kamu dicap cewek sombong. Kamu tidak mau, kan, pada akhirnya susah mendapatkan pacar nantinya?" Diana menyodorkan segelas alkohol pada Zefanya yang masih duduk di kursi bar sambil menatap pemandangan kelap kelip lampu serta orang-orang yang menari liar di depan sana.
"Kenapa susah? Aku masih bersedia jadi pacarnya Zefanya jika tidak ada lagi yang mau dengannya," timpal seorang lelaki berlesung pipi. Dia tidak begitu tampan, tapi manis dan memiliki proporsi tubuh yang ideal. Tipe wajahnya agak pecicilan, tampak flamboyan. Dia adalah satu dari beberapa teman pria yang Zefanya miliki.
"Please, Haikal. Jangan membuatku merinding." Zefanya berdesis tak habis pikir, sementara Haikal hanya tersenyum tipis. "Aku suka pria baik-baik," lanjut Zefanya.
"Itu artinya, aku bukan pria baik-baik?" pungkas Haikal, mendelik jenaka. Tampaknya, laki-laki itu juga tahu jawabannya tanpa bertanya.
"Kalau begitu, kamu bisa mencarinya," ucap Diana lurus.
"Di sini?" tanya Zefanya, membelalakkan mata tak percaya. Saat Diana mengangguk dengan begitu polosnya, Zefanya berdecak keras. "Sinting! Bagaiman bisa menemukan pria baik-baik di tempat seperti ini?"
"Bisa," Diana menjawab percaya diri. Dia lalu mengedikkan dagu ke salah satu sudut. Saat Zefanya mengikuti arah pandangnya, saat itulah dia menemukan sosok yang dimaksud. Pria tinggi, berkacamata, dan tampak tidak nyaman di tempat itu. "Tapi, dia juga agak sulit didapatkan."
"Lalu?" Zefanya mendelik. "Dia bukan tipeku."
"Kamu bilang suka pria baik-baik? Dia, anak paling baik. Saking baiknya, dia seringkali dimanfaatkan jadi ATM berjalan anak-anak. Dia menuruti perkataan orang-orang, dan diam saja mau diledek dan dikerjai dengan cara bagaimana pun. Padahal katanya, orang tua dia punya power."
"Itu bukan baik, tapi bodoh namanya," keluh Zefanya. Diam-diam, ia kembali melirik pada pria yang dimaksud.
Rasanya, Zefanya asing dengan wajah itu. Tapi kenapa teman-temannya mengetahui perihal lelaki tersebut?
"Kalian kenal dia?" tanya Zefanya, menyuarakan isi kepalanya.
"Ya. Dia satu fakultas juga dengan kita. Kakak tingkat. Kamu tidak tahu, Ze?" Diana mencari jawab dari raut wajah Zefanya pada saat itu. Dan dapat dipastikan, jawabannya tentu saja iya. "Astaga. Dia Nathaniel, biasanya orang-orang memanggil dia si Kodok Zuma. Katanya anak orang kaya. Wajar kalau kamu tidak tahu, waktu pria itu hanya dihabiskan di perpustakaan. Benar-benar pria baik, rajin, dan disiplin."
Sekali lagi, Zefanya melirik lelaki itu. Dia baru saja dirayu oleh teman-teman palsunya untuk meminum alkohol. Sementara wajahnya tampak jelas tidak mau.
"Aku rasa, aku akan mendapatkannya," tukas Zefanya tiba-tiba, membuat Diana, Haikal, serta dua temannya yang lain; Dino dan Robert saling melempar pandang.
"Aku yakin, dia akan menolakmu mentah-mentah."
"Kenapa?" tanya Zefanya, menoleh pada Robert yang barusan bicara.
"Dia tidak suka perempuan sepertimu."
"Seperti aku? Bagaimana maksudnya?" tanya Zefanya mendesak.
"Perempuan yang sombong dan sering menghabiskan waktu di bar seperti ini. Selain itu, kamu pembalap. Apa pria cupu seperti dia akan sanggup menghadapimu?"
"Hei," panggil Zefanya, menggeleng pelan. "Aku Zefanya Adya. Aku bisa membuat semua pria bertekuk lutut di kakiku, termasuk tipe pria seperti dia."
"Kalau begitu, aku akan bertaruh uang jajanku selama satu minggu," tantang Robert.
"Aku juga!" Diana, Haikal, dan Dino ikut-ikutan.
Zefanya tersenyum mendesis. "Aku akan buktikan pada kalian, bahwa aku tidak pernah omong kosong." Lalu ia beranjak dari duduknya, berjalan dengan penuh percaya diri menghampiri pria berkacamata yang ragu-ragu meminum alkohol hingga tersedak.
"Kamu tidak perlu meminumnya jika tidak suka," ujar Zefanya, meraih gelas dari tangan pria berkacamata bernama Nathaniel.
"Lho, Zefanya? Ini benar Zefanya itu, kan?" seru salah seorang pria dengan satu tindik di telinga kiri.
"Iya, aku Zefanya." Zefanya menatap berani pria-pria itu. "Jangan mengganggu seseorang yang lebih lemah dari kalian. Itu bukan tindakan seorang pria kalian tahu?"
"Waw, ada apa ini?" pria bertindik yang sudah sering Zefanya lihat, lagi pula tidak mungkin tidak ada yang mengenal biang onar seperti dirinya, menatap Zefanya dengan jenaka. Ada tatapan remeh yang dia layangkan pada perempuan itu. "Kamu siapanya si Kodok Zuma?"
Zefanya melirik Nathan. "Aku bukan siapa-siapanya dia. Aku bahkan baru tahu namanya beberapa saat lalu."
"Lantas?"
"Aku menyukainya."
Pria itu membelalak, tetapi kemudian terkekeh sumbang. "Hell, kamu tidak waras! Kemarin kamu baru saja menolak Devan, pria yang tidak memiliki celah kekurangan apa pun. Ternyata, selera kamu orang pecundang seperti si Kodok Zuma ini?" dia memandang Nathan dengan remeh.
Zefanya menarik tangan Nathan agar pria itu berdiri. "Yang pecundang itu kalian, karena kalian hanya bisa merundung orang yang lemah. Menyedihkan," katanya, dengan nada miris yang dibuat berlebihan. Ia lalu menoleh pada Nathan yang hanya berdiri diam, tidak terlihat memiliki niat untuk bersuara. "Aku punya alasan tersendiri kenapa aku lebih menyukai pria cupu seperti Nathaniel ketimbang teman kalian Devan-Devan itu."
Gadis itu menyeret Nathan pergi dari kerumunan geng tersebut. Sementara teman-temannya, berteriak memberi sorakkan di meja semula. Nathan sendiri tidak melakukan apa pun sejak tadi. Laki-laki itu hanya mengikuti langkah Zefanya yang membawanya keluar dari dalam tempat bising tersebut.
"Aku rasa kamu harus berhenti," ujar Nathan tiba-tiba, ketika mereka sudah di luar. Mungkin hanya berjarak tiga meter dari pintu keluar bar.
Nathan menarik tangannya dari genggaman Zefanya, membuat Zefanya melihat hal itu dengan nanar. Tapi perempuan itu berusaha mengerti. "Mereka akan terus mengganggu kamu jika kamu hanya diam saja," jelas Zefanya. Meski wajah gadis itu tampak datar, sebenarnya dia benar-benar peduli.
"Lalu? Aku harus melawan mereka, begitu? Kamu tidak lihat kalau mereka bergerombol membentuk sebuah geng, sedangkan aku hanya sendirian?" tanya Nathan tak bersahabat. Pemuda itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidungnya. "Kamu pikir akan bagaimana jadinya jika aku melawan mereka sendirian?"
Selama beberapa sekon, Zefanya menatap Nathan lurus-lurus. Lalu ia berujar, "Sekarang kamu punya aku," membuat Nathan geming layaknya orang bodoh.
Nathan menatap Zefanya dengan skeptis kemudian. "Kamu hanya perempuan kecil bermulut besar. Kamu juga tidak disukai banyak orang. Kita hanya akan mati bersama jika aku menuruti perkataan kamu."
"Kamu mengenal aku? Bahkan tahu dengan begitu detail kalau aku tidak disukai oleh banyak orang, eh?" Zefanya tersenyum lebar. Matanya menyipit curiga menatap Nathan yang masih memasang raut muka kesal. Tampaknya, dia sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan Nathan barusan.
Melihat Nathan hanya terdiam sambil memasang ekspresi tak habis pikir dengan apa yang dikatakannya barusan, Zefanya tertawa pelan. "Jangan khawatir!" pekiknya, menepuk agak keras bahu Nathan dengan tangan mungilnya. "Orang-orang tidak menyukai aku karena aku terlalu sempurna dan memiliki segalanya. Lagi pula siapa, sih, yang begitu tidak sukanya terhadap aku? Paling-paling hanya perempuan yang pacar atau gebetannya justru malah melirik aku. Iya, kan?" Zefanya mengerling.
Nathan berdesis. "Dasar narsis!" decaknya.
Sementara Zefanya justru hanya tertawa mendengar Nathan. Lalu, ia menggandeng tangan pemuda itu menuju tempat di mana mobilnya terparkir. Ajaibnya, saat itu Nathan tidak menolak sama sekali. Dia begitu patuh mengekor langkah Zefanya. Seolah lupa, bahwa beberapa waktu sebelumnya, ia meragukan gadis tersebut.
"Kamu akan menyetir?" tanya Nathan, ketika Zefanya duduk di kursi kemudi mobilnya. Pria itu masih belum masuk ke dalam kendaraan roda empat milik Zefanya, karena masih meragukan kesadaran gadis tersebut.
"Iya, kenapa?" Zefanya bertanya dengan begitu santainya. Sedangkan Nathan kini membulatkan mata tak percaya.
"Kamu baru saja keluar dari bar! Kamu mungkin mabuk. Apakah kamu gila, membawa mobil dalam keadaan seperti itu?"
"Aku masih cukup waras, Nathaniel!" Zefanya membalas geregetan. "Apakah masuk ke dalam bar berarti aku tidak waras?"
"Kamu mungkin minum minuman beralkohol."
"Sayangnya barusan, sebelum aku sempat meminum minuman laknat itu, fokusku justru terpecah saat melihat pria yang tampak begitu menyedihkan di suatu sudut," timpal Zefanya.
Nathan yang jelas tahu siapa orang yang Zefanya maksud hanya bisa memasang wajah kesal. Ia masuk ke dalam mobil gadis itu dan duduk dengan tegap. Seolah jika membungkuk sedikit saja, ia akan kena pukul.
"Duduk yang nyaman. Karena setelah ini, aku akan mengajakmu menantang maut," jelas Zefanya. Saat Nathan menoleh dengan tatapan penuh selidik kemudian berubah panik, Zefanya lekas mengunci seluruh pintu mobil. "Tahan. Jangan sampai muntah atau pingsan. Jika kamu melakukannya, terpaksa kamu harus menjadi milikku."
Belum sempat Nathan mencerna dengan baik maksud dari ucapan Zefanya, dia harus lekas mencari pegangan, sebab Zefanya ... benar-benar tengah mengantarkannya menuju maut.
***