Zefanya duduk di halte bus sendirian. Tatapannya nyalang, tertuju pada jalanan yang basah diguyur hujan. Sesekali ia melirik ponselnya, menunggu balasan dari seseorang. Namun, setelah beberapa lama, balasan itu tak kunjung datang. Bahkan, pesannya saja tidak terlihat sudah dibaca. Zefanya tersenyum miris, sementara air mata menetes di pipinya. Kesal terus-menerus menunggu, perempuan itu berdiri sekali sentakan. Menghentikan taksi lalu masuk dan menyebutkan sebuah alamat pada sopir. Air mata terus mengalir di pipinya sepanjang jalan. Ia tidak tahu, hanya saja, Zefanya merasa ia harus menemui Nathan. Hanya Nathan satu-satunya orang yang dia percayai. Orang yang dengannya Zefanya bebas mengeluarkan keluh kesah. "Nath! Nathaniel!" panggil Zefanya, mengetuk pintu in the kost kamar Nathan. Na