Membatasi, Apa Bisa?

1372 Kata
“Terima kasih sudah bersedia memenuhi keinginan putriku,” ucap Kikan menarik atensi Halim padanya. Felora duduk tenang di sisi Halim sambil matanya fokus pada layar Ipad. Reward boleh main Ipad karena Felo tadi sudah mengikuti pemeriksaan dokternya dengan baik dan tenang. Kikan menerapkan waktu untuk putrinya bermain Ipad. Felora mengikuti lirik lagu yang sedang diputar. Setelah pemeriksaan rutin Felora, Kikan mengajak Halim untuk makan siang sebagai ucapan terima kasihnya, pun atas waktu Halim. “Kamu sudah mengatakannya tiga kali,” ucap Halim. Kikan tersenyum kecil, menarik napas lebih dalam. Halim jadi teman pria pertama yang duduk bersamanya, berbicara lama seperti sekarang. Setelah perceraian Kikan tak pernah dekat lagi dengan teman pria mana pun. Juga Kikan yang tidak banyak teman, “uhm sebenarnya pun saya agak terkejut dengan Felora yang mudah dekat denganmu, orang baru dalam hidupnya. Felora juga jadi berani meminta bertemu denganmu sampai ditemani pemeriksaan hari ini.” “Saya menyanggupi, setuju artinya tidak keberatan sama sekali.” Jawab Halim dengan tenang. “Duh bagaimana bilangnya ya?” gumam Kikan. Sebenarnya ia ingin menyampaikan agar Halim tidak selalu menyanggupi keinginan Felora, takutnya nanti jadi terbiasa, manja pada Halim. “Sorry, kamu mengatakan sesuatu?” tanya Halim yang menemukan Kikan tampak ingin menyampaikan sesuatu lagi. Kikan menggelengkan kepalanya pelan, ditambah ada putrinya bersama mereka. “Num, Uncle…” “Sama Bunda aja ya?” “Ndak! Sama Uncle dokter!” Putrinya menolak. Tetap ingin Halim yang mengambilkan minumnya lagi, seperti sebelumnya. Bahkan Felora memilih duduk dekat Halim, “Felora, Bunda yang jadi tidak enak sama dokter Halim. Dari tadi kamu minta ini dan itu, di sini ada Bunda lho.” Halim mengambilkan minum pesanan Felora, berupa milkshake. Kikan menghembuskan napasnya dan mengembungkan pipinya sekilas. Memerhatikan Halim yang memegangi gelas, memastikan Felora minum dengan benar. “Sepertinya kamu yang terlihat keberatan—” “Oh, bukan begitu!” Kikan langsung membantah, “aku hanya tidak terbiasa melihat Felora lebih memilih atau bahkan manja pada orang lain di bandingku, selama ini keseharian Felora hanya denganku, Oma jika di rumahnya.” “Ayahnya?” Pertanyaan Halim jelas membuat tubuh Kikan jadi kaku, duduknya bahkan tegak dan tegang. Halim memerhatikannya, bagusnya Felora tidak menyimak, fokus pada layar Ipad. “Saya salah bertanya? Sorry…” Halim langsung meminta maaf. Bukan salah Halim, pertanyaannya juga umum. Kikan tersenyum tipis, “dia tidak pernah peduli pada Felora.” Jawab Kikan getir. Halim kian merasa bersalah terutama melihat tatapan mata Kikan yang berkaca-kaca ketika menatap Felora. Halim memilih diam, menekuni makanannya yang masih ada di piring. Pasti tidak mudah menjalani hidupnya, single mom di usia muda dengan kondisi anaknya yang sakit tidak ringan. “Udah, bosan!” Felora menunjuk Ipad tersebut. “Sudah lihatnya?” Felo mengangguk, kemudian menguap lucu. Dia mengantuk. “Habis makan siang, memang jamnya tidur siang.” beritahu Kikan yang mengambil Ipad tersebut. Kemudian beralih pada Felora yang mengulurkan tangan pada bundanya. Akhirnya ia inginkan Kikan. Kikan meraih putrinya yang langsung memeluk seperti bayi koala. Kikan kembali duduk, mengusap-usap punggungnya. Kepala Felora bersandar di dadanya dengan nyaman. “Sebentar lagi kita pulang ya, Bunda dan Uncle dokter habiskan makanannya dulu.” “Entarr mamnya nangis ya, kalau ndak dihabiskan?” celotehnya dengan lucu, masih sesekali menguap dan mengucek matanya. Kikan mengangguk, “iya, jadi makanannya harus habis. Makanan juga berkat dari Sang Maha Kuasa. Kita tidak boleh, apa Fel?” “Buang-buang, nanti Tuhan maraaah. Fel sedih.” Jawabnya lagi. Halim tersenyum mendengarnya. “Dia cerdas sekali.” Semua pun atas didikan Kikan yang baik terhadap mengasuh Felora. Halim sangat mengutuk pria itu, siapa pun Ayah Felora yang menyia-nyiakan darah dagingnya sendiri. Suami-istri bisa berpisah, jadi mantan bahkan asig setelah perpisahan. Namun, tidak dengan anak yang hadir dalam pernikahan mereka. “Setelah ini dokter Halim akan kembali ke rumah sakit?” tanya Kikan. “Saya sudah selesai, langsung pulang.” “Pulang bersama saya saja, nanti saya antar ke tempat tinggal dokter.” Halim mengangguk kecil, kebetulan mereka searah. “Kamu nyaman lanjut makan dengan posisi Felora begitu?” tanya Halim, siap bergantian. Kikan tersenyum, “aku sudah terbiasa. Jadi Ibu harus serba bisa, serba kuat dalam situasi apa pun.” Dia mencium sisi kepala Felora yang sudah tertidur. “Dokter Christ bilang jika Felora dalam kondisi stabil,” “Kuharap terus stabil sampai Felora bisa dapat pendonor jantungnya.” Halim tentu mengamini, belum lama menganal Felora, ia sudah menyayangi anak itu dan jadi bagian yang ingin melihat Felora sehat seterusnya, hidup panjang umur. “Oh iya dok, Oma titip salam. Jika dokter punya waktu, untuk ucapan terima kasih sudah baik pada Felora, Oma mengundang dokter dinner di rumah kami.” Halim tidak mungkin menolak undangan baik dari orang tua, “saya akan kabari waktunya. “Artinya dokter bersedia?” Kikan memastikan. Halim hanya memberi anggukan kecil. Mereka lanjut makan, Halim lebih suka keheningan saat makan, jadi Kikan tidak banyak bicara lagi. Kikan memaksa untuk membayarkan makan siang mereka, tetapi Halim jelas menolak. “Biar aku yang bawa Felora,” Halim menunduk sebelum Kikan berdiri. “Dok—” “Saya sudah minta panggil nama saja, kan? Saya lagi tidak praktik juga.” tegur Halim. “Hm, saya coba biasakan ya.” Kikan tersenyum canggung. Halim kian mendekat, menunduk dengan posisi begitu dekat hingga Kikan bisa mencium wangi parfum yang melekat di tubuh Halim. “Sttthhh, sayang…” Kikan mengusap kepala Felora saat terusik. Setelah putrinya pindah ke dekapan Halim, buat tubuh mungil Felo tenggelam dan pastinya hangat, nyaman. “Biar saya yang bawakan jaket dokter Halim,” Kikan menggigit kecil lidahnya saat masih belum terbiasa. Halim hanya menatap datar sembari melangkah lebih dulu. Kikan melipat jaket dokter Halim di lengannya, “dia ternyata pria yang cukup peduli pada penampilan.” Pendapatnya dan menyusul Halim. Kikan membukakan pintu, Felora anteng, tetap pulas sampai mereka pulang. Kikan akhirnya tahu tempat tinggal Halim, sempat menawari mampir tetapi Felora yang tertidur buat Kikan meneruskan pulang. Beberapa waktu berikutnya, Felora baru sepuluh menit dia baringkan di ranjang dan diselimuti ketika putrinya terbangun dan mencari-cari dokter Halim. “Uncle dokter… Bunda! Kok ndak ada?” “Uncle dokter sudah pulang, cukup ya bertemu dengannya.” Kikan memberi pengertian. Felora mencebik, “Ndak! Besok mau bertemu lagi.” “Felo, kok jadi keterusan setiap hari?” tanya Kikan heran. “Bunda telepon Uncle, Felo mau Uncle dokter!” Kikan tidak pernah menghadapi Felora yang merajuk, keras kepala seperti hari ini. Dia hampir kelepasan marah jika saja Oma tidak segera muncul dan berhasil membujuk. “Ini nih yang aku takuti! Felora jadi terus mau bertemu dokter Halim!” desah Kikan ketika Felora tidak bersamanya. “Aku harus membatasi pertemuan mereka, aku yang tidak enak nanti pada dokter Halim.” Desahnya. “Mau batasi bagaimana, kalau hati Felora sendiri yang nyaman dekat dengan dokter Halim?” “Oma, terus aku harus bagaimana? Dokter Halim itu pasti sibuk juga, sibuk dirumah sakit dan dia pasti punya kehidupannya sendiri. Felora siapa baginya? Sampai terus-terusan mengganggunya, pasti lama-lama dokter Halim tidak nyaman terus kami ganggu.” “Kamu sudah overthinking duluan, Kikan.” Kikan merasa jika ini tidak akan baik, meski ia tahu Felora mulai menemukan seseorang yang mungkin ia lihat sebagai figure ayah yang tak pernah di dapat. “Aku harus bisa buat Felo mengerti, jika tidak baik menyusahkan dokter Halim seterusnya.” Putus Kikan. Oma menggeleng pelan, “kamu hanya akan menyakiti hati Felora. Percaya pada Oma.” Kikan menyusul Felora ke kamarnya, Oma masih sempat mengingatkan untuk tidak marah pada Felora. Ya, tentu Kikan tidak pernah bisa marah pada putrinya. Felora tampak bermain dengan bonekanya, Kikan baru akan menghampiri putrinya saat ponselnya berdering. “Dokter Halim?” gumamnya. Kikan segera menjawab dan menjauh dari putrinya. “Hallo…” sapa Kikan. “Kikan, jaket saya tertinggal di mobil kamu?” “Oh iya, baru saya mau beritahu. Besok saya antar ke rumah sakit sekalian berangkat kerja? Dokter jadwal jam berapa?” “Besok saja jadwal malam.” “Kalau begitu saya ke tempat dokter, mampir pagi-pagi.” “Oke.” Halim menyetujui. Tepat! Pikir Kikan. Sekalian Kikan akan bicara dengan Halim nanti. Lebih baik pahit di awal dibanding nantinya Halim merasa disusahkan oleh putrinya yang mulai nyaman dengan kehadirannya. “Hm, tapi bagaimana aku mengatakannya nanti?” gumam Kikan jadi bingung sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN