Kikan menatap Felora yang sedang berbicara dengan Halim. Putrinya sejak kemarin terus menanyakan ‘kapan bertemu Uncle dokter?’ sampai Kikan tidak punya pilihan untuk menghubungi Halim lebih dulu.
“Kikan,” sebuah seruan membuatnya menoleh.
Oma Chaesa, wanita tua yang tinggal bersamanya. “Masuk Oma,”
Di tangannya terdapat tongkat yang membantunya berjalan, lutut Oma memang sudah bermasalah. Faktor usia.
“Felo bicara dengan siapa?”
“Dokter Halim, yang waktu itu pernah aku ceritakan.”
“Yang saudaranya membeli rumah orang tuamu?”
Kikan mengangguk, “kembarannya tinggal di Jerman, kebetulan dokter di rumah sakit yang sama dengan Felo jalani berobat.”
“Dunia sempit sekali.”
“Kami bertemu lagi pas Felo dirawat, herannya Felo langsung dekat, Oma.”
“Bagus, anak kecil itu bisa membedakan mana yang baik dan tidak. Pasti dokter Halim baik, buat Felora kita langsung nyaman dan menyukainya.” Pendapat Oma.
Kikan menghela napas, tertangkap resahnya oleh Oma. “Kenapa kamu justru terlihat cemas? Pendapatmu dokter Halim tidak baik—”
“Oh bukan begitu!” Kikan langsung menggelengkan kepala, “dokter Halim memang baik, walau lebih kaku dan pendiam dibanding Hamish.”
“Lalu?” tanya Oma.
Kikan selesai melipat selimut. Posisi mereka cukup jauh sehingga pembicaraan dengan Oma pun tidak akan terdengar sampai pada Halim yang masih bicara dengan Felora.
“Ada sebuah ketakutan dihatiku, Oma.” Kata Kikan dengan nada sedih, sembari duduk dan menatap lurus pada putrinya yang tampak senang sekali bisa bicara dengan Halim.
“Apa yang kamu takuti?”
Kikan mengepalkan kedua tangannya, hingga Oma ikut duduk di sisinya dan mengusap bahunya lembut.
“Felora tidak pernah mengenal sosok ayahnya, walau aku berusaha keras, berupaya buat Felo tidak merasa kekurangan kasih sayang. Tetap saja, aku tidak bisa mengambil peran untuk posisi seorang Ayah yang harusnya diisi Ka Hanan. Tempat yang kosong dalam hidup Felo.”
“Hanan kamu harapkan bisa jadi Ayah yang baik?” Oma memang selalu tidak menyukai Hanan. Terutama setelah perbuatannya yang hampir membuat Kikan kehilangan Felora, melahirkan sebelum waktunya.
Kikan terdiam. Hatinya pun bertanya-tanya, Hanan yang sikapnya temperamental, kasar padanya, apa akan bisa jadi Ayah yang baik untuk Felora? Bahkan Kikan tidak akan pernah lupa kalimat-kalimat buruk dan kasar saat Hanan menyalahkan dirinya yang melahirkan bayi perempuan ditambah kelainan jantung Felora.
Kikan juga jadi ingat sebuah pesan dari suaminya, Kikan pilih tidak membalas dan blokir. Hanan sejak awal memilih tak terlibat dalam hidup Felora, harusnya tetap begitu untuk seterusnya.
“Oma malah bersyukur sekali pria itu tidak bersamamu dan Felora. Tidak semua perpisahan dianggap sebagai takdir buruk, Kikan. Dalam masalahmu, yang telah Hanan lakukan terhadapmu, justru perpisahan kalian adalah sebuah kebaikan.”
“Oma.” Kikan mendesah dengarnya.
“Jika bukan Hanan, pasti kelak kamu akan dapat pasangan yang mencintaimu dan menyayangi Felora begitu dalam.”
Kikan pilih diam.
“Kamu masih muda, Kikan. Pernikahan pertama yang gagal, menimbulkan trauma pastinya. Namun, Oma yakin tidak semua laki-laki seperti Hanan.”
“Kikan tidak pernah punya pikiran untuk menikah lagi. Kikan mau fokus pada Felora. Itu saja, cukup.” Ungkapnya. Ya, Kikan sama sekali tidak terpikirkan untuk menikah lagi. terutama kegagalan pernikahan pertamanya itu menyisakan trauma yang amat dalam.
“Bagaimana bila Felora yang meminta?”
“Oma, ah mana mungkin Felora yang minta?!” Kikan jelas menepis itu, rasanya mustahil putrinya tiba-tiba meminta seorang Ayah. Hingga Kikan harus menikah lagi.
Oma hanya tersenyum kecil.
“Balik ke dokter Halim… dia memang pria baik, Felora juga langsung nyaman dan tidak asing lagi. Entah ini baik atau tidak untuknya, aku takut Felora bergantung pada dokter Halim. Terlebih aku takut dokter Halim terganggu, Oma.”
Oma tidak langsung menjawab, melainkan matanya tertuju pada Felora. “Masa sih? Kelihatannya dokter Halim juga nyaman dengan Felora tuh. Buktinya ia masih menanggapi celoteh Felo,” Oma mengulas senyum penuh makna.
Kikan hanya menghembuskan napas panjangnya, “aku harus batasi.”
“Kamu mau batasi seperti apa pun, kalau sudah jalan Tuhan, tidak bisa mencegahnya.” Kata Oma ambigu. Kikan menggeleng pelan, ia yakin jika kedekatan Felora dan Halim hanya sesaat dan tidak akan mengubah kehidupan mereka. Jika pun ya, mungkin hanya berteman.
Namun, mengingat ekspresi dokter Halim seperti tipe pria yang tidak mudah untuk disentuh hatinya, jadi bisa berteman rasa-rasanya pun sulit. Dia hanya terliat lebih lembut saat bersama Felora, sementara dengannya, “sangat irit bicara,”
“Siapa yang irit bicara?” tanya Oma.
Kikan memejamkan mata sekilas. “Oh, bukan siapa-siapa Oma.” Kikan tersenyum canggung, mana mungkin dia jujur sedang menilai dokter Halim.
"Kikan, lain kali ajak dokter Halim makan malam dengan kita. Oma ingin kenal juga."
"Ah, ya... Kalau dokter Halim bersedia." Kikan tak yakin.
***
Bila biasanya Felora sangat sulit diajak ke rumah sakit untuk pemeriksaan rutin setiap bulan, ia yang jadi rewel, Kikan sampai kadang harus memaksanya, menjanjikan beli mainan dan makanan favorit Felora, hari ini berbeda.
Felora sangat antusias. Tidak sabar, berulang kali bertanya, “kita berangkat kapan, Bunda? Sekarang? Kok lama sekali sih?”
Ya sekiranya pertanyaan anak manis itu sejak bangun tidur.
Kikan mengepang dua sisi rambut Felora. “Felo, potong ya rambutnya. Sebahu. Biar kamu tidak mudah gerah.” Kikan juga sejak kemarin sedang membujuk anaknya agar mau potong rambut.
Felora menggeleng pelan, “No…no, Bun!”
Kikan menghela napas saja, jika dipaksa terlalu berbahaya. Saat di salon nanti Felora memberontak.
“Salim sama Oma, minta doanya dulu.” Kikan mengingatkan putrinya, berlari kecil ke Oma. Ketika Kikan menyusul, Oma sedang mencium puncak kepala Felora.
“Nyetir, Kikan?”
“Iya, Oma. Takut terlambat kalau naik train.”
“Hai-hati,” pesan Oma.
Kikan memang jarang menyetir, lebih suka naik kendaraan umum semenjak tinggal di Jerman. Tetapi, kali ini karena membawa Felora bersamanya dan dikejar waktu janji dengan dokter, di mana orang-orang sana selalu on time.
“Uncle dokter udah telepon, yum Bun?” tanya Felora yang duduk di sampingnya, Kikan memastikan sabuk pengamannya terpasang.
“Kita bertemu di sana,” Kikan malu jika harus menelepon Halim lagi, walau atas permintaan Felora memastikan Halim tepati janjinya.
Kikan mulai meninggalkan carport rumah yang ditempati, menuju rumah sakit tempat periksa Felora.
Putrinya belakangan jauh lebih baik, alerginya pun jarang muncul, ia yakin hasil pemeriksaannya jauh lebih baik. Sejujurnya Kikan tahu jika kelak yang harus Felora jalani adalah prosedur transplantasi jantung, Kikan sudah menyiapkan dananya. Namun, ia masih belum yakin terutama mencari pendonor sesuai untuk usia Felora jadi sesuatu kasus yang langka. Masih perlu evaluasi lagi oleh para tim dokternya.
Alternatif lain untuk anak seusia Felora dengan terapi obat-obatan dan perawatan medis yang intensif. Sejauh ini terapi obat-obatan dapat membantu mengurangi gejala gagal jantung dan meningkatkan kualitas hidup putrinya. Namun, Kikan tahu jika terapi ini tidak dapat menyembuhkan gagal jantung secara permanen. Selain itu, perawatan medis yang intensif ini diperlukan untuk memastikan kondisi Felora tetap stabil dan terhindar dari komplikasi yang membahayakan nyawanya.
Arti lainnya Felora, putrinya itu harus jalani pengobatan seumur hidupnya sampai ia dapat pendonor jantung.
Kikan tidak akan menyerah, seperti halnya Felora yang bertahan untuk hidup bersamanya. Kikan tidak pernah bisa membayangkan hidupnya tanpa Felora. Mungkin dia akan benar-benar hancur dan ikut tiada, bila sampai kehilangan Felora.
Tangan Kikan terulur, mengusap puncak kepala Felora.
“Bunda…” panggilnya.
“Ya?”
“Uncle dokter bilang, Felora anak berani. Tidak boleh nangis nanti pas diperiksa dokter. Biar sehat, biar bisa main sama teman-teman.”
Kikan tersenyum, “Uncle dokter bilang begitu?”
“Iya, pas telepon itu.”
“Felo, kenapa suka sekali sama Uncle dokter?” tanya Kikan.
“Baik, Uncle dokter sayang Felo.” Jawabnya polos. Kikan tertular senyumnya.
Sejauh ini Felora tidak pernah menanyakan tentang ayahnya, Hanan, tetapi Kikan sudah siapkan diri kelak Felora semakin besar, pasti kian penasaran dan pasti akan bertanya.
Kikan mencari parkiran mobil di rumah sakit. Kemudian Ia turun sambil menuntun Felora. Mereka menuju poli dokter jantung anak. Kala itulah Kikan menemukan Halim sudah menunggu sesuai janjinya.
“Uncle dokter!” Felora langsung melepaskan tangannya dan berlari dengan senang. Halim menyambut putri Kikan itu dengan senyum.
Detik yang sama hati Kikan menghangat, membayangkan jika Hanan adalah suami yang baik untuknya, pernikahan mereka pasti masih bertahan. Mungkin kah yang memeluk Felora adalah Hanan? Lalu Kikan yakin bisa lebih kuat karena tidak harus menghadapi semuanya, tidak berjuang sendirian.
“Apa-apaan aku ini? Aku sudah berjuang sendirian sejauh ini, aku tidak membutuhkan sebuah ‘andai’ dan pengharapan kosong yang hanya melemahkan diriku.” Gumam Kikan, menarik napas dalam demi singkirkan perasaan sesak. Kemudian dia menyusul putrinya yang tengah bersama Halim.
“Maaf kami terlambat, sudah dari tadi?” tanya Kikan.
“Belum,” jawabnya singkat lengkap dengan ekspresi kaku. Lalu Halim lebih tertarik menatap Felora, “Ayo, Felora…”
Felora lebih suka di gandengan Halim, sampai melupakan ibunya yang berjalan sendirian.
‘Semudah itukah putriku nyaman dan menyayangi dokter Halim?’ Pikir Kikan. Merasa jika Felora begitu karena mulai membutuhkan sosok seorang Ayah dalam hidupnya yang tidak pernah didapatkannya.