Ternyata Sulit!

1542 Kata
“Ini sesuatu yang jarang terjadi, kamu menghubungiku lebih dulu.” Sindir pria yang punya wajah seperti dirinya. “Aku tidak mengganggumu kan?” Halim merindukan keluarganya yang di Jakarta, tidak mudah mengambil keputusan untuk menetap di Jerman dan jauh dari semua keluarganya. Halim berharap luka tidak kasat mata dalam hatinya membaik hingga ia siap untuk kembali ke Jakarta tanpa merasa takut terluka ketika suatu saat waktu mempertemukannya lagi dengan Lou. “Tidak si kembar baru tidur, hanya saja kamu menelepon ketika aku baru bersemangat modusin Lea. Biar dapat jatah dari sore.” Halim menatap datar. “Simpan bagian itu untuk dirimu sendiri.” “Kupikir kamu mau dengar, siapa tahu jadi ngebet kawin. Hehe…” Jika saja Hamish ada depan matanya, sudah Halim tendang kakinya. “Ada apa? kamu belum bilang tujuan meneleponku lebih dulu.” Halim menghela napas lebih dalam, “kamu terus bicara, aku sampai tidak punya kesempatan untuk mengatakannya.” Hamish hanya memberi senyum nakal khasnya, “Iya deh sorry, dokter.” “Lea bisa-bisanya jatuh cinta padamu ya?” “Aku ganteng,” jawabnya dengan tingkat percaya diri luar biasa. “Kita berdua itu kembar identic. Kalau hanya soal ganteng, Lea harusnya jatuh cinta saja padaku.” “Heh!” Hamish langsung membulatkan mata, tidak senang. Halim terkekeh, senang saja menggoda kembarannya apalagi sejak tahu Hamish cemburu padanya karna dianggap Lea dulu lebih tertarik padanya. “Malas deh kalau kamu jomlo! Sana cari pacar, biar punya sendiri, tidak mengharapkan istri kembaranmu!” Halim terkekeh, lumayan hiburan menarik untuknya di tengah rasa patah hati belakangan setelah tahu Lou akhirnya jadi menikah dengan pria lain. “Kalian akhirnya datang ke pernikahan Lou?” “Aku dan Lea datang, Bunda dan Ayah juga. Kamu tahu, suaminya Lou sempat terkejut. Salah memanggil nama, dia mengira aku dirimu, mantan Lou. Sudah bete mukanya.” Cerita Hamish dengan seru. Halim hanya tersenyum tipis dengan enggan. “Jangan membahasnya jika hanya menyakiti dirimu saja.” Pesan Hamish dengan serius. “sekarang Lou benar-benar serius dengan pilihannya, dia istri orang.” “I know…” ucapnya pelan. “Move on, di Hamburg pasti banyak bule cantik dan sexy.” Halim hanya mendengarkan, sama sekali belum terpikir ke sana. Dia tidak menemukan yang bisa menarik hatinya. Perempuan satu-satunya yang akhirnya dekat dengannya, hanya Felora, gadis empat tahun yang manis juga Kikan. Dia menyayangi Felora tulus, sementara dengan Kikan. Ia merasa bukan pilihan tepat. “Hamish,” “Oi?” “Masih berkomunikasi dengan Kikan?” Kening Hamish mengernyit, kemudian ia menyeringai, “Mau punya nomornya?” “Sudah,” “Huh? Sudah? Waktu di resto kalian—” “Kami bertemu lagi, di rumah sakit. Felora sedang di rawat.” Halim hanya merasa perlu cerita singkat, tidak berlebihan. Sebab, lihat saja wajah Hamish yang sudah menyeringai. “Jamu itu menyehatkan, Halim. Siapa tahu dia bisa menyembuhkan lukamu dari Lou…” “Bicara apa sih?!” Halim menggeleng. “Jamu.. Janda Muda.” Dia menyeringai. “Kami hanya berteman.” “Teman awal-awal nanti jadi teman hidup.” Halim hanya menggeleng malas, “menyesal aku meneleponmu.” Hamish tergelak, “aku serius, Halim. Lebih baik cari sendiri, sebelum Bunda mencarikan wanita untukmu.” “Sejujurnya, aku sudah dititik terserah Bunda. Jika ia merasa menemukan perempuan yang cocok denganku, aku akan ikuti pilihan Bunda.” “Serius? Kok kamu terdengar pasrah ya…” Halim hanya mengedikan bahu, memang begitu adanya untuk saat itu. Hamish kemudian mengatakan jika Lea yang lebih sering komunikasi dengan Kikan. Hanya itu yang Halim mau tahu setelah cerita tentang pernikahan Lou. Telepon berakhir. Halim baru bisa tidur tengah malam. *** “Jangan menyusahkan Oma, oke?” Felora mengangguk, sudah mandi dan anak cantik itu sedang sarapan pancake favoritnya. Felora sedang libur sekolah, anaknya memang sudah mulai sekolah. “Aku kapan sekolah lagi?” “Besok.” Kikan menunduk mencium pipi tembamnya. “Uncle dokter kapan menemui Felo agih, Bun?” Kikan langsung menatap Oma, “Uncle dokter bilang akan usahakan datang ke rumah, dinner sama kita. Tapi, belum tahu waktunya. Uncle kan dokter, banyak pasien yang butuh pengobatannya.” “Oma,” tegur Kikan merasa Oma tidak mengikuti arahannya untuk membatasi Felora hingga terbiasa tanpa Halim lagi. “Lho apa yang salah? Oma hanya menyampaikan yang sebenarnya? Kamu yang bilang dokter Halim setuju untuk Dinner kapan-kapan, iya kan?” “Sepertinya Oma pun sudah menyukai Uncle dokter Halim, bahkan sebelum bertemu.” Sindir Kikan. Oma terkekeh, Felora menatap Kikan yang meraih gelas, minum. “Bunda ndak suka sama Uncle dokter?” “Uhuk!” Kikan sampai terbatuk mendengar pertanyaan polos Felora. Oma kian tersenyum, “kamu menanggapi pertanyaan Felora kok kaget begitu, maksudnya suka di sini seperti dia dan Oma, ya kan Fel?” “Iya, kan Uncle dokter baik.” Kikan yakin Halim telinganya akan panas, sebab sekarang setiap hari terutama di pagi begini jadi pembicaraan di meja makan keluarganya. Kikan memilih pamit, takut kesiangan di tambah dia harus mampir ke tempat tinggal Halim untuk mengembalikan jaketnya. Kikan memasukkan ke tas karton belanja, melipatnya dengan rapi. Mobilnya melaju menuju apartemen Halim, di tambah pagi itu hujan turun kian deras. Sampai di dekat apartemen, mobil-mobil tampak penuh di area parkir. Buat Kikan baru bisa memarkir cukup jauh. “Ah, bisa-bisanya aku tidak bawa payung!” Gerutunya. Akhirnya Kikan mengambil ponsel, coba menelepon Halim. Tetapi, ponselnya tidak aktif. “Masa tidak jadi mengantarkan jaketnya sih?” Kikan melihat jam, jika menunggu hujan reda dan tetap di mobil, ia akan terlambat, jadi dia mencari mantel tebalnya untuk mengurangi basah merembes. Di tambah dia sedang pakai kemeja putih. Kikan memeluk tas berisi jaket dokter Halin, berlari secepat mungkin tetap saja membuatnya basah. Kikan menaiki beberapa tangga, untuk sampai pintu utama. Halim juga sudah memberikan nomor apartemennya. Kikan memeluk dirinya sendiri, menekan bel. Beberapa kali dengan tidak sabar sebab ia mulai menggigil. Dia berbalik untuk melepas mantelnya dan tepat kembali menghadap pintu Halim berdiri di sana dengan wajah bangun tidur. “Aish! Bisa-bisanya kamu masih tidur jam segini!” Kikan kelepasan bicara. “Ya?” “Saya menelepon dokter, sampai sini parkir mobil penuh. Mobil saya cukup jauh, dan saya tidak bawa payung, saya coba telepon dokter, tapi—” “Kikan, sebaiknya masuk dulu.” potong Halim. Pagi-pagi sudah dibom bardir dengan keluhan wanita yang basah di depannya. “Saya—Haaachuuuu!” Kikan bersin sampai Halim mengernyit. “Kamu bisa flu jika tetap berdiri di sini!” “Tunggu! Saya belum selesai mengeluh!” “Sekarang saya jadi tahu, Felora pintar bicara karena menurun dari ibunya.” “Huh?” Kikan sampai melongo, Halim yang sebal sama orang lambat segera berbalik dan menarik Kikan. Lalu menutup pintu. Kesan pertama Kikan di apartemen itu, rapi dan wangi. Jelas sekali Halim suka sekali kebersihan. Halim berjalan cepat, mengambil sebuah handuk kemudian mengulurkannya. “Kamar mandinya di sana jika kamu butuh.” Halim tampak salah tingkah. Kening Kikan mengernyit, kemudian matanya menatap ke cermin yang memperlihatkan dengan jelas bra yang ia gunakan tercetak karena kemeja putihnya ikut basah. Matanya terbelalak segera melingkarkan handuk di tubuhnya. “Hm! Kamu bawa pakaian cadangan?” Ujar Halim lagi. “Oh iya, ada di mobil, dekat kursi tengah.” “Tunggu di sini, berikan kunci mobilmu. Biar saya ambilkan.” Kikan tidak pikir dua kali, segera memberikannya. Ia memerhatikan Halim yang mengambil payung. “Kalau saja ponselmu aktif, menjawab teleponku, aku tidak akan basah.” Kembali mengeluh. “Ponsel saya kehabisan baterai.” “Kamu dokter, bagaimana kalau ada panggilan darurat dari rumah sakit?” “Saya punya dua ponsel, ponsel lain dengan nomor khusus utuk panggilan darurat.” “Ouh, saya kan tidak tahu.” “Masih mau bicara?” tanyanya dengan ekspresi datar. Kikan menggeleng, tersenyum malu. Ia menjelaskan posisi mobilnya berada pada Halim. Kikan segera meletakan tasnya dan juga tas belanja berisi jakat Halim. Sembari menunggu ia melihat-lihat, tersenyum melihat foto keluarga yang terpajang. “Semua keluarganya good looking,” pendapat Kikan. Tidak ada yang aneh, ia mau duduk tetapi takut membasahi sofa. Tetap berdiri, sampai Halim kembali membawakan baju milik Kikan. “Thank you, aku pinjam kamar mandimu.” “Ya. Suka kopi atau mau teh?” Halim sempat bertanya sebelim Kikan berbalik. “Teh saja,” ada beberapa menit waktu untuk Kikan bicara dengan Halim mengenai Felora. Namun, Kikan mulai ragu dan bingung juga memulainya saat beberapa menit berikutnya sudah duduk berhadapan dengan Halim. Berdua, hening. “Felo..” “Fel—” Keduanya memulai bersamaan dengan nama Felora jadi topiknya. Kikan menyelipkan rambut ke belakang telinga. “Kamu dulu, mau bilang apa?” kata Halim. Kikan mengangguk, “Felora kemarin bangun, cari-cari kamu. Sepertinya dia belum puas bertemu kamu.” Halim tak disangka tersenyum walau tipis saat mendengarnya, “pas libur nanti, saya akan datang ke rumah kalian. Apa boleh?” Kikan harusnya bilang tidak, kan? Rencananya membatasi Felora bertemu Halim agar tidak tergantung. Tetapi, mengapa lidahnya begitu kelu untuk melakukannya? Apa benar, ia tahu jika melakukannya akan menyakiti hati Felora? “Kikan?” tegur Halim karena wanita di hadapannya hanya diam. “Hm, ya… nanti kabari saya, biar saya dan Oma siapkan makan malam. Felora pasti senang dapat kunjungan dari kamu.” Justru kalimat itu yang dengan lancar dan mudah mengiyakan dari bibirnya. ‘Ouh ya ampun, bukan ini tujuanku datang!’ batin Kikan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN