Bukan Senjamu

1339 Kata
"Permisi!" teriak seseorang mengagetkan Lintang yang tengah asyik duduk di rumah pohon. Keningnya berkerut sedikit melongok ke bawah demi mencari tahu siapa pemilik suara yang mengusiknya sore itu. Lintang mematikan alunan musik pop rock dari ponselnya. Yang dia lihat ternyata hanya murid SMA, bocah ingusan batin Lintang. Baru Lintang ingin mengabaikannya, bocah itu malah bersiap naik ke atas lewat tangga sambil bertanya, "Boleh nggak gue naik ke atas?" "NGGAK BOLEH!" bentak Lintang tanpa pikir panjang yang berhasil membuat bocah SMA itu diam seketika membatalkan niatnya. "Lo cewek?" tanya bocah SMA itu masih saja penasaran, membuat Lintang semakin jengah memutar bola matanya malas. "Lo pikir?" "Oke. Gue tadi denger lagu yang lo puter. Gue suka. Boleh tahu apa judulnya? Habis itu suer deh, gue langsung pergi!" terocos bocah SMA itu santai tanpa merasa sungkan harus bicara dengan orang yang lebih tua. Bagaimana bisa bocah itu bicara dengan bahasa santai tanpa tahu siapa yang diajak bicara? Tanpa tahu berapa umur yang diajak bicara? Dasar nggak tahu tata krama! Demi untuk mengakhiri kejadian nggak mengenakkan ini, Lintang akhirnya menjawab pertanyaan itu. Dia nggak mau pikirannya yang sudah penat karena pekerjaan, jadi semakin sesak karena hal sepele. "Kekuatanku-Rocket Rockers." Jawab Lintang. Sore itu ternyata bukan untuk yang terakhir kali. Lintang pikir setelah itu si bocah SMA nggak akan datang lagi. Tapi ternyata salah besar. Setiap sore, Lintang selalu mendengar suara deruan motor berhenti tepat di bawah rumah pohon. Lagi-lagi Lintang mengintip dari atas, mengeluh dalam hati karena melihat si bocah SMA itu duduk di atas motor tanpa melakukan apapun. Dia hanya meminta Lintang untuk memutar lagi lagu rocket rocker. "Puter lagi lagunya!" pintanya santai sembari menyulut rokok. Entah kenapa saat itu Lintang nggak berniat menolak, dia putar saja lagunya. Toh setiap lagu selesai diputar, tanpa pamit si bocah SMA itu kembali menyalakan mesin motornya, dan pergi. Terus seperti itu selama beberapa hari, sampai pada akhirnya sore itu si bocah SMA nggak langsung pergi begitu lagu selesai diputar. Dia kembali menyulut rokoknya, mengajak Lintang bicara. "Makasih ya." Ucap si bocah SMA itu terdengar tulus, tapi Lintang diam nggak berniat menjawab, membiarkan si bocah SMA itu kembali bicara, "Lo tahu nggak kenapa gue selalu minta lo puterin lagunya rocket rocker itu?" "Karena lo suka?" akhirnya Lintang bertanya, dia melihat dari atas si bocah SMA itu mengangguk seolah berpikir Lintang melihatnya. Ah, sebenarnya saat itu Lintang penasaran juga bagaimana tampangnya, ganteng kah? "Di saat gue butuh banget kekuatan, dukungan, dengan denger lagu itu gue berasa bisa hadapi semuanya lagi, sendiri." Lintang terdiam seketika, ada apa dengan bocah itu? "Lo bisa dengerin sendiri kan di ponsel? Kenapa harus kesini?" Kali ini bocah SMA itu menggidikkan bahunya, membuang puntung rokok yang tinggal sedikit lalu menginjaknya. "Mungkin gue merasa kekuatan itu bakal kembali kalo lo yang puterin? Nggak masuk akal ya?" "Iya." Jawab Lintang polos sontak membuat si bocah SMA itu tertawa. Sore itu berbeda untuk mereka berdua. Mereka berdua merasa sepertinya akan ada kemajuan di hubungan ini, antara gadis penunggu rumah pohon dan si bocah SMA. "Lo nggak penasaran sama gue?" tanya si bocah SMA itu lagi. "Penasaran sih." "Nggak mau kenalan sama gue?" Ganti Lintang yang tertawa, "Lo mau kenalan sama tante-tante?" "Maksud lo?" terlihat bocah SMA itu mendongak menatap tepian rumah pohon, membuat Lintang buru-buru bergeser ke belakang nggak mau ketahuan. "Gue lebih tua dari lo bocah!" "Terus masalahnya apa? Kita cuma mau kenalan, bukan nikah kan?" "Jadi nggak masalah?" "No problem sih buat gue, tapi mungkin bakal jadi problem buat lo kalo gue jatuh cinta sama lo nantinya." "Hah?" Lagi-lagi si bocah SMA itu tertawa, menertawakan ucapannya sendiri. Meskipun dia memang terkenal sebagai playboy, belum pernah dia merayu perempuan yang usianya lebih tua. Awalnya si bocah SMA itu ragu, tapi nggak tahu kenapa dia penasaran sekali dengan seseorang yang selalu berada di rumah pohon itu. Si bocah SMA itu ingin sekali melihatnya. "Siapa nama lo?" tanya si bocah SMA itu. "Lintang, elo?" "Ehmm, besok gue kasih tahu." "Kenapa harus besok? Sok misterius tahu nggak!" omel Lintang nggak terima. Dia sudah memberitahukan namanya, kenapa dia nggak mau kasih tahu balik? Itu kan curang! "Besok boleh gue naik ke atas? Gue suka senja, pasti keren banget bisa lihat senja dari rumah pohon." Diam sejenak Lintang nampak berpikir, lalu mengiyakan. Lintang juga suka senja, dia memang sering menghabiskan sore nya di rumah pohon hanya karena ingin menikmati senja. Benar katanya, senja yang perlahan menghilang memang selalu indah. "Nama gue Saka." BUKKK Suara debuman orang dipukul membuat Lintang tersadar. Matanya mengerjap perlahan berusaha mengambil seluruh kesadarannya. Mimpi apa dia tadi? Apa setahun lalu yang dia lihat itu Saka? Lintang memimpikan pertemuannya dengan bocah SMA setahun lalu, dan ternyata itu Saka? Berarti nggak cuma tiga tahun lalu Lintang bertemu Saka? "Udah bangun kak?" Saka menghampiri Lintang yang baru tersadar dari pingsannya. Saka harus membekap Lintang dan membuatnya pingsan, karena jelas dia nggak mau main tangan dengan Lintang. Cukup Elang yang dibuatnya babak belur. Samar-samar di depannya Lintang bisa melihat Elang tengah diikat di tiang. Mukanya sudah babak belur penuh lebam. Darah segar mengalir dari mulutnya. Mata Lintang membulat seketika, saat Elang kembali dipukuli oleh Riko dan Iqbal. "CUKUP!" teriak Lintang histeris kembali menangis membuat Elang menatapnya panik. "Cukup gue bilang. Lo mau gue kan? Yang lo butuhin gue, bukan Elang. Lepasin dia Saka!" pinta Lintang kali ini matanya beralih ke Saka yang sudah duduk di depannya, mengusap kening Lintang yang berkeringat. Saka terlihat santai sekali, seolah nggak terpengaruh dengan tangis Lintang atau bahkan tindakan sahabat-sahabatnya yang terus menghajar Elang dibawah pengawasan seluruh anak buahnya yang mengelilingi ruangan besar ini. Nampak remang, karena hanya dengan penerangan beberapa lampu kuning. "NGGAK LIN, LO NGGAK BOLEH TANDA TANGAN DOKUMEN ITU! JANGAN PERNAH SERAHIN GEDUNG TUA KE DIA!" teriak Elang langsung mendapat hantaman keras dari Iqbal kali ini. Saka menoleh sebentar ke arah Elang lalu kembali menatap Lintang lembut, mendekat ke arah Lintang melepas ikatan di tangan Lintang. "Lo denger sendiri kan? Kalo gue lepasin dia, dia yang akan cegah lo buat tanda tangan dokumen itu, Kak. Gue nggak mau ambil resiko, gue nggak bisa." "Jadi apa yang lo mau Saka?" "Gue mau lo buka brankas itu," Saka menunjuk brankas yang ada di meja depan mereka, sudah dikawal dua penjaga dengan masing-masing membawa senapan. "Dan tanda tangan dokumen itu, juga cap pakai jari lo Kak." "Dimana Bang Al? Lepasin Bang Al juga Elang, dan gue akan turutin semua permintaan lo." "Bang Al?" tanya balik Saka menaikkan sebelah alisnya, "Lo pikir Bang Al masih hidup Kak?" Saka tersenyum tipis melempar tali itu sembarang arah beranjak berdiri di samping brankas. "Dimana Bang Al gue tanya!" ulang Lintang semakin panik. Lintang tahu soal ledakan mobil itu, tapi nggak benar kan kalau Ali juga tewas dalam ledakan itu? Ali masih hidup kan? Ali nggak mungkin pergi begitu saja kan? "Mobilnya meledak Kak, apa yang bisa gue lakukan? Nggak ada lagi Bang Al yang tolongin lo, semua keputusan ada di tangan lo Kak. Lo menyaksikan sendiri Elang menyusul Bang Al, atau lo buka brankas ini?" Sebenarnya kesalahan ini dimulai dari mana? Atau bagaimana mengakhiri ini semua? Apa semua harus kehilangan nyawa nya supaya semua ini berakhir? Sesaat Lintang sangat menyesali hidupnya sendiri, dia merasa selalu membawa sial untuk orang-orang yang berusaha menjaganya, orang tuanya, pamannya, Elang, dan Ali? Lintang beranjak berdiri, seketika seluruh moncong senapan mengarah pada Elang saat Lintang mendekat ke depan brankas. Mereka sudah siap untuk menghabisi Elang kalau Lintang menolak membuka brankas itu. Saka hanya mengamatinya, dia tahu ini salah. Saka tahu tindakannya itu membuat Lintang semakin membencinya. Tapi Gedung Tua adalah tujuan utamanya selama ini sebelum mengenal Lintang. Mati-matian Saka menahan diri untuk nggak berlari merengkuh Lintang, menghentikan semuanya. Saka pikir mungkin nanti kalau semua berjalan sesuai rencana, Lintang akan memaafkannya. Dia berjanji akan hidup normal seperti yang lain setelah semua selesai. "Ka, lo ingat setahun lalu di rumah pohon? Lo ingat kenapa lo pengen naik ke atas sana?" Saka tersentak, terkejut menatap Lintang tak percaya. Lintang hanya mengangguk, menatap Saka datar. "Gue bersyukur nggak pernah melihat senja itu sama lo. Lo nggak pantas buat menikmati senja itu. Senja itu bukan punya lo, Ka." *** 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN