Ruang Bawah Tanah

1508 Kata
Sebelum SMA Erlangga yang saat ini berdiri, sebenarnya dulu kakek Erlangga pernah membangun gedung sekolah lain. Hanya berjarak 10 km dari Gedung Tua. Tapi karena suatu hal kakek Erlangga menghentikan pembangunan itu. Gedung sekolah yang belum selesai itu terbengkalai sampai sekarang. Elang samasekali nggak menyangka kalau ternyata gedung sekolah itu punya banyak rahasia. Elang menghentikan mobilnya tepat di halaman gedung sekolah, dimana Lintang menemui Saka, "Lo yakin ini tempatnya?" tanya Elang tanpa menoleh ke arah Lintang. Tatapannya terarah ke pintu utama gedung yang sudah berantakan. Rumput yang meninggi, kaca jendela yang pecah, engsel pintu yang hampir lepas, dan langit-langit yang jebol. Nggak akan pernah ada yang curiga kalau tempat ini bisa menjadi salah satu markas Yachio Dragon. Lintang mengangguk yakin. Saat itu Lintang nggak menyadarinya samasekali. Tapi sekarang dia baru ingat, ada hal yang ganjil saat dia mendatangi gedung ini. Lintang turun dari mobil diikuti Elang. Mereka langsung menuju dalam, gelap disana, nggak ada penerangan. Hari juga mulai malam. Elang menyalakan lampu senter dari ponselnya. Dia arahkan ke seluruh penjuru ruangan, kosong, nggak ada apapun yang menunjukkan gedung ini dipakai. "Gue ikutin Saka, Riko, Iqbal sampai sini. Gue liat sendiri, mereka naik motor dan masuk ke dalam. Gue baru ingat El, sesampainya di dalam, gue nggak liat motor mereka." Elang menoleh, mengarahkan senter itu ke Lintang, menuntut Lintang untuk mengulangi ucapannya tadi. "Maksud lo?" "Iya, motor itu nggak ada di dalam, di luar juga nggak ada. Tapi mereka ada di atas. Ini gedung milik keluarga Erlangga kan?" Elang meraup mukanya, kembali mengawasi sekitar berharap mendapatkan sesuatu. Dia berjalan mendekati tangga yang menuju lantai dua. Lintang mengikutinya dari belakang. Anak tangga itu masih belum selesai dibangun, masih beruba cor beton, debu tebal menutupi tiap anak tangganya. Elang menghentikan langkahnya, membuat Lintang yang sedari tadi di belakangnya nggak sengaja menabrak punggung Elang. Elang memang selalu seenaknya sendiri kan? Untung tangannya dengan gesit meraih tubuh Lintang yang terhuyung hampir jatuh. "Pelang dong kalo jalan!" omel Elang dibalas pelototan Lintang. Hei ini mereka sedang dalam masalah serius, kenapa masih sempat-sempatnya Elang mengomeli Lintang, padahal dia yang salah berhenti mendadak. Lintang memukul bahu Elang, semakin kesal karena Elang hanya tertawa menarik Lintang untuk berdiri di sampingnya. "Lo takut?" tanya Elang. Lintang menggeleng keras, tapi tangannya yang masih gemetar nggak luput dari penglihatan Elang. Elang menggenggam tangan mungil itu. "Nggak usah takut, ada gue kan?" Lintang mengangguk. "Lo ke atas lewat tangga ini?" tanya Elang lagi kembali serius. Lintang hanya mengangguk, mengikuti lampu senter yang Elang arahkan ke tangga. Ada jejak-jejak sepatu yang saling tindih berlawanan arah dengan ukuran yang sama. Itu artinya tangga ini hanya dilewati oleh satu orang. Elang mengarahkan senternya kali ini ke kaki Lintang. "Itu jejak sepatu lo, cuma lo yang naik ke atas lewat tangga ini." Terang Elang. "Jadi maksud lo?" Elang mengangguk seolah mengerti apa yang akan diucapkan Lintang. Masih menggenggam tangan Lintang, dia mengajak Lintang untuk kembali ke tengah ruangan, mengarahkan senternya ke lantai, dan benar saja jejak roda motor yang juga saling tindih menuju ke satu titik. Sekilas nggak akan terlihat kalau lantai beton itu bersisihan dengan lantai besi yang disamarkan. Elang menyerahkan senternya pada Lintang, memintanya untuk menerangi lantai yang ia injak. Elang ketuk dua sisi lantai itu. Bunyinya terdengar berbeda. Lalu dia meraba sisi lantai mencari-cari sesuatu. Sampai dia menemukan sesuatu seperti tuas kecil lalu memutarnya searah jarum jam. Elang pikir itu akan membuka lantai besi, tapi ternyata salah. Nggak ada perubahan, sampai Lintang mengarahkan senternya ke salah satu kolom beton, mendapati kotak fire hydrant disana. Lintang membuka kotak itu, dan sesuai dugaannya. Nggak ada alat pemadam kebakaran dalam kotak itu, gantinya hanya tombol warna merah yang bahkan nggak terlihat, karena warnanya sama dengan kotak. Lintang meraba bagian dasar kotak itu lalu menekannya. Nggak lama lantai besi yang ada di sebelah Elang bergeser, menampilkan lorong yang melandai curam ke bawah. Saka cs dengan motor mereka masuk lewat lorong ini. "Eit, mau ngapain?" Elang menahan lengan Lintang saat dia buru-buru akan turun ke bawah. Elang memberinya tatapan peringatan. "Turun." Jawab Lintang polos tanpa merasa bersalah sedikit pun sudah membuat si Elang panik. "Nggak, lo tunggu di mobil, biar gue yang turun. Kita nggak tahu di dalam ada apa." "Ada Saka, El." "Nah lo tahu, itu bahaya!" Elang kukuh membantah. "Yang diharapkan Saka gue, gue yang harus akhiri ini semua, El." Elang diam sejenak, menarik napas dalam-dalam. Menggeser Lintang untuk berdiri di sampingnya. "Kita turun berdua, gue duluan, baru lo nyusul." Pinta Elang lembut kali ini, percuma saja dia mencegah Lintang. Gadis yang hampir jadi miliknya itu juga termasuk keras kepala. Elang melepas jas hitamnya, lalu mengikat jas itu ke pinggang Lintang, "Kita turunnya nggak mungkin jalan kaki Lin, lo pernah main perosotan?" Lintang mengangguk. "Nanti turunnya gitu, gue nggak tahu ada apa dibawah sana, yang jelas nggak akan semulus perosotan di taman bermain. Tahu gitu tadi gue bawa motor, mobil juga nggak bisa masuk kesini. Lo berani kan?" "El ..." panggil Lintang mengabaikan ucapan Elang. Kenapa di saat seperti ini Lintang jadi ingat masalalunya bersama Elang. Elang orang baik, hanya saja dia sedikit nakal kan? Lintang menatap lekat mata Elang di kegelapan. "Hem?" "Makasih ya, gue nggak pernah nyesel kenal sama lo. Makasih karena lo udah jagain gue, sampai sekarang." "Apa lo mau balikan? Apa habis ini kita nikah aja? Biar gue bisa jagain lo seterusnya?" "Buruan turun aja gimana? Gue takut otak lo tambah gesrek." *** Dan benar apa kata Elang, meski mereka berhasil meluncur, tapi banyak kerikil bahkan beberapa pecahan kaca menyebar di sepanjang lorong yang menurun itu. Untungnya Lintang memakai jas milik Elang, jadi dia nggak terluka. "Are you okay?" tanya Elang yang sudah sampai di bawah duluan, tangannya penuh sayatan pecahan kaca yang tadi dia coba singkirkan saat menuruni lorong, supaya nggak mengenai Lintang yang ada di atasnya. Bukannya menjawab fokus Lintang beralih ke tangan Elang, panik dia. Kenapa semua orang harus berusaha menjaganya? Dengan membahayakan nyawa? "El tangan lo." Elang buru-buru menarik tangannya sendiri saat Lintang berusaha meraihnya. Ini bukan saatnya Lintang mengkhawatirkan dirinya. Mereka nggak punya waktu banyak. Gantinya lagi-lagi Elang menggenggam tangan Lintang, dia nggak mau kalau di tempat yang nggak dia kenal, di tempat yang Elang sendiri nggak tahu seberapa tingkat bahaya nya, dia kehilangan Lintang. "Lo liat itu?" Elang menunjuk arah lorong sisi kanan yang menuju atas, kali ini memakai tangga. "Gue yakin mereka lewat situ untuk sampai di lantai dua. Mereka taruh motornya disini." "Dan lorong itu?" Lintang menunjuk lorong sebelah kiri, jalanan datar tapi penuh genangan air, dan ada penerangan lampu bohlam kuning setiap jarak dua meter. Elang menaruh jari telunjuk di bibirnya, menyuruh Lintang untuk memelankan suara. Ada penerangan berarti ada orang yang tinggal disini. Sambil terus menggandeng Lintang, Elang menyusuri lorong sebelah kiri, dan sudah menggenggam revolvernya, menodongkannya ke arah depan, berjaga seandainya ada bahaya yang tiba-tiba muncul. Elang nggak mau ambil resiko. "El ..." panggil Lintang berbisik. "Hem," "Lo masih sering bawa pistol kemana-mana?" "Ini yang terakhir." "Lo selalu bilang gitu." "Gue mafia, Lin. Gue punya musuh dimana-mana. Tapi kali ini gue bawa bukan buat lindungin diri gue sendiri." "Terus?" "Ya lindungin lo lah, b**o! Stttt!" Elang menghentikan langkahnya, menoleh ke Lintang. Dia mendengar suara derap langkah mendekat. Nggak cuma satu, ada beberapa. Saat ini mereka sudah sampai di persimpangan lagi, tiga cabang lorong. Elang mengintip dari balik dinding batu itu. Benar saja, lima orang bertubuh besar tengah berjalan ke arah mereka dan masing-masing membawa senapan. Elang menoleh lagi ke arah Lintang, kali ini dia melepaskan genggamannya. Meminta Lintang untuk tetap berada di belakangnya. "Jangan jauh-jauh dari gue. Paham?" Lintang mengangguk, merapatkan tubuhnya di belakang Elang. Sedang Elang merogoh lagi saku celananya, memberikan Lintang pisau lipat yang juga selalu dia bawa. "Pakai ini kalau sedang dalam keadaan darurat." Tambah Elang lagi, sebelum dia melangkah berdiri di tengah persimpangan. Dalam hitungan detik, revolver yang berada dalam genggamannya sudah menembaki dengan cepat orang-orang itu. Serangan mendadak, membuat mereka nggak berkutik untuk beberapa waktu. Orang-orang itu kelimpungan, menghindari tembakan dari Elang. Elang terus merangsek maju diikuti Lintang. Satu tendangan mendarat di orang yang paling dekat dengan Elang. Tinjuan lainnya dilayangkan saat ada yang mencoba meraih Lintang. Lintang menjerit histeris saat kerah bajunya ditarik dari belakang. Elang menghantam orang itu dengan ujung pistol. Menembak di kedua kakinya. Terakhir Elang menembaki lampu bohlam yang ada tepat di atas mereka. Semua berhasil dilumpuhkan. Elang menarik Lintang untuk segera berlari. Tapi sepertinya Elang lupa kalau sedang nggak berada di wilayah kekuasaannya. Dia hanya sendiri menjaga Lintang, pertahanannya terlalu lemah di area yang minim penerangan. Tanpa mereka sadari, pukulan keras mendarat ke tekuk leher Elang, membuatnya tumbang seketika. Lepas sudah genggamannya dari tangan Lintang. Lintang yang melihat itu kembali berteriak histeris, buru-buru membuka pisau lipatnya, mengacungkannya ke dua orang entah dari mana tiba-tiba muncul. "Mau serang kita?" tanya salah satu dari mereka, suara gelak tawa menggema di lorong berbatu itu. Elang yang masih sadar, mencoba untuk berdiri di depan Lintang. Tapi belum Elang menyerang, suara tembakan terdengar lagi. Dua bohlam yang berada di atas mereka pecah di tembakan kedua. Derap langkah panjang seseorang yang baru datang mengakhiri perlawanan Elang dan Lintang malam ini. "Akhirnya datang juga, Kak." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN