"Berhenti merengek seperti anak kecil, Jo! Kamu sendiri yang tadi bilang tidak apa-apa menunggu di luar, kenapa sekarang malah ribut mau ikut masuk?!" bentak Xena yang sudah dibuat jengkel oleh kelakuan anak emak satu itu.
"Di luar seram Xenxen, masa kamu tega menyuruhku menunggu disini?" sahutnya sembari memegangi tangan Xena dengan wajah memelas tidak mau ditinggal.
Ibra, Reza, Bian dan Satria hanya berdiri menatap mereka jengah. Salah Xena sendiri kenapa malah mengizinkan Johan ikut mereka ke gudang. Bayangkan! Dia baru lihat rupa senjata saja sudah gemetar ketakutan, lalu apa jadinya kalau nanti menonton bagaimana sadisnya Ibra menyiksa Budiman Anggoro.
"Masuk ke mobil Jo, Erwin akan menemanimu di luar!" ucap Xena, tapi Johan tetap saja menggeleng.
"Aku akan diam tutup mulut, tidak akan mengganggu kalian menginterogasi mantan mertuanya Aksa. Ya?" rengeknya.
"Kamu sudah berapa lama berteman dengan Ibra? Masih tidak tahu juga bagaimana kelakuan dia ke musuhnya?" sahut Xena.
"Sialan! Kenapa malah jadi aku yang kena?"
Bian dan Reza tertawa cekikikan mendengar Ibra yang sewot. Xena membuka pintu mobil lebar-lebar, matanya melotot kesal ke Jo yang masih saja merengut.
"Aku bilang masuk dan tunggu di mobil! Kalau kamu masih ngeyel aku akan mengantarmu pulang sekarang juga. Tapi ingat, besok-besok jangan datang mencariku lagi! Aku tidak suka orang yang susah diatur dan bikin pusing!" gertak Xena.
Mereka menggeleng melihat Jo yang kemudian menuruti perintah Xena masuk ke mobil, lalu menutup pintunya kasar. Erwin bersama beberapa anak buahnya tetap menunggu di luar, sedangkan Ibra dan yang lain bergegas masuk ke dalam gudang.
"Salah sendiri pacaran kok sama anak emak, pusing kan?!" cibir Reza.
"Diam kamu! Setidaknya Jo jauh lebih baik dari kalian," sahut Xena ketus.
"Tidak apa Xen, bagus kamu bisa sama Jo yang polosnya amit-amit. Mau seperti apa anakmu nanti kalau emaknya saja sudah pecicilan, terus misal bapaknya juga yang model kayak Ibib begini?" ucap Bian.
"Kata dia yang takut iparnya tidak laku," sindir Satria.
Mereka tertawa lebar menuruni tangga menuju lantai bawah tanah dimana Budiman Anggoro dikurung. Suasana yang temaram dan lengang, semakin mencekam saat mereka melewati deretan ruang kosong yang pengap dan dibiarkan gelap gulita. Kalau saja Jo ikut masuk, dijamin sudah banjir keringat dingin saat melewati lorong disana.
"Boss …" sapa Leon dan Ryan buru-buru berdiri dari duduknya saat melihat kehadiran Ibra.
Menyadari ada yang datang, Budiman Anggoro yang dikurung di ruang berjeruji besi layaknya penjara itu sontak mendekat ke pintu. Dia menatap nyalang Ibra yang duduk dan tersenyum mengejeknya.
"Datang juga akhirnya kamu, k*****t!" makinya kasar.
"Masih punya nyali berteriak memaki juga dia," ucap Bian menggeleng.
"Biar saja, mumpung mulutnya belum kita buat selamanya bisu." sahut Xena mulai menyulut rokoknya. Sudah pasti dia akan menikmati tontonan disana, karena selama beberapa bulan sejak Budiman kabur dia juga ikut kalang kabut menjaga Sifa.
"Bagaimana rasanya dikurung di ruangan yang sama tempat anakmu aku siksa sampai mati?" tanya Ibra.
Mata tua pria itu sontak melotot lebar, wajahnya memerah menahan marah. Tangannya tampak mencengkram kuat jeruji yang menghalanginya untuk menghajar pria pembunuh anaknya.
"Apa arwahnya yang sampai sekarang masih gentayangan disini sudah datang menemuimu?" lanjut Ibra masih dengan senyum di bibirnya sengaja menyulut emosi pria itu.
"Berengsek sialan! Hanya pengecut yang beraninya menyiksa dan membunuh perempuan!" teriaknya.
"Lalu apa bedanya dengan kamu yang terus bersembunyi dan muncul diam-diam memukul dari belakang?" sahut Reza.
"Keluarkan aku dari sini! Kita bertarung secara jantan, bukan malah mengurungku seperti ini!" tantangnya menuding Ibra.
Mereka tertawa tergelak menatap lucu pria tua yang barusan berteriak menantang duel Ibra. Bahkan meski tanpa menggunakan tangannya pun, mereka yakin Ibra bisa dengan mudah membuat Budiman terkapar.
"Sayang sekali tanganku kalau harus terkotori oleh darahmu. Aku membawamu kesini karena ada hal yang harus kamu jelaskan padaku, kalau tidak sudah pasti sejak semalam kamu mati terpanggang di villa itu." ucap Ibra.
"Jangan harap akan buka mulut!" serunya lantang.
Suara tembakan menggelegar keras, menggaung di setiap sudut ruang pengap bawah tanah di sana. Budiman menjerit bersamaan dengan tubuhnya yang jatuh berlutut. Mata pria itu terlambat menyadari tangan Ibra yang dengan cepat menyambar pistol di atas meja sampingnya.
"Kalau begitu kita lihat sejauh mana kamu bisa bertahan untuk tetap tutup mulut!" balas Ibra seraya menimang senjata di tangannya.
Satria yang sedari tadi hanya bungkam tampak bertopang dagu menatap betis Budiman yang mulai mengalirkan darah setelah tertembus peluru.
''Buka mulut atau tidak, aku tahu kamu tidak akan membiarkanku keluar dari sini dalam keadaan hidup. Jadi jangan harap bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan dariku!" ujarnya dengan wajah meringis kesakitan.
"Karena kamu memang tidak layak hidup, sama seperti anakmu yang tidak waras dan mencelakai siapapun demi obsesinya pada Aksa itu. Kalau saja bukan karena Aksa yang mengorbankan dirinya untuk menjadi tameng, adikku yang sedang hamil pasti sudah mati di tangan anakmu." ucap Ibra.
Dia melangkah mendekat, lalu berjongkok di depan Budiman yang sudah duduk di lantai menekan luka di betisnya supaya darah tidak terus keluar.
"Bukan cuma anakmu yang kesayangan dan berharga, tapi adikku juga. Sasha sudah mengalah pergi dan membiarkan Riana merebut pria yang seharusnya menjadi ayah dari anaknya. Bukankah menggelikan kalau karena dia diceraikan Aksa, lalu menjadikan adik dan keponakanku sebagai sasaran sakit hatinya?" lanjut Ibra.
"Apapun yang kamu katakan aku tidak akan pernah peduli. Anakku mati di tanganmu, dengan cara apapun aku pasti akan membalasmu." sahut Budiman.
"Pantas saja Riana juga jadi perempuan yang tidak tahu malu dan tidak punya harga diri, karena ayahnya juga sampah." cibir Bian yang sudah mulai muak mendengar ocehan Budiman.
Pria tua itu bahkan sama sekali tidak peduli. Pandangannya tidak beralih dari Ibra yang menatapnya dingin. Kalau saja tidak terhalang jeruji besi, Budiman pasti sudah menghajar sampai mati pria yang sudah menjebloskannya ke penjara dan membuatnya kehilangan anak kesayangannya itu.
"Bukankah sekarang kamu juga punya anak, lalu apa kamu juga akan terima kalau aku membunuhnya?"
Letusan kembali terdengar keras, kali ini Ibra menjadikan bahu kiri Budiman sebagai sasaran muntahan peluru dari senjatanya. Pria tua malang itu terkapar di lantai dengan tubuh gemetar hebat.
"Pakai otakmu sebelum bicara! Kamu dipenjara karena korupsi. Anakmu aku bunuh karena kalau dibiarkan hidup, dia akan terus mencelakai dan mengincar nyawa adik juga keponakanku. Paham kamu?!" bentak Ibra keras.
"Sejak awal sebenarnya dia sudah paham, hanya saja tidak mau mengakui kesalahanya. Percuma kamu bicara panjang lebar, karena dia tetap akan melempar semua salah padamu." ucap Satria.
"Buka pintunya!"
Leon bergegas membuka pintu, lalu dengan dibantu Ryan mendudukkan Budiman di kursi. Ibra yang kemudian menyusul masuk tampak menunduk dan tertawa terkekeh melihat Budiman meringis kesakitan saat mencoba menyambar kerah jaketnya.
"Punya dendam apa sebenarnya Agung Prayoga dan anaknya padaku, sampai mereka mau membantumu kabur dari penjara untuk membalasku?" tanya Ibra. Wajahnya tampak serius, dengan cara apapun dia pasti akan membuat Budiman buka mulut.
Namun, hal tak terduga justru pria tua itu lakukan hingga membuat Ibra naik pitam. Budiman tiba-tiba saja meludah yang mengenai jaket Ibra, lalu tertawa keras seperti orang tidak waras melihat musuhnya itu meradang.
Ibra melepas jaket hitam yang dikenakannya, lalu membuangnya asal. Dalam sekali hantam, kepalan keras tangan Ibra tidak hanya membuat mulut Budiman bonyok, tapi juga jatuh terjungkal ke belakang sekalian dengan kursi yang didudukinya. Teman-teman Ibra hanya menggeleng, memilih bungkam sama halnya Budiman membiarkan Ibra menyiksanya pelan-pelan sampai mati.
Leon dan Ryan hanya berdiri menonton saat bosnya itu melangkah mendekati tubuh Budiman yang meringkuk di lantai yang sudah belepotan darah. Suara rintihan pria tua itu berubah menjadi jerit memilukan begitu Ibra sengaja menginjak betisnya yang terluka tembak.
"Jawab pertanyaanku!" bentak Ibra dengan wajah dinginnya.
"Mati saja kamu!" balas Budiman tersendat di antara rasa sakit yang membuatnya hampir tidak bisa bernafas.
"Bawa King kesini!" seru Ibra.
Xena beranjak menuju ruang samping dimana anjing mereka dikurung sejak kemarin untuk mengawasi Budiman. King, anjing herder berukuran besar dan buas itu menyalak keras saat Xena membawanya keluar kandang. Satria bahkan sampai terlonjak kaget, ketika anjing itu berlari kencang menghampiri Ibra yang melambaikan tangannya.
"Jangan bilang aku tidak memberimu kesempatan. Kalau kamu tetap bungkam, bersiaplah jadi santapan anjingku!" ancam Ibra.
"k*****t! Ibis kamu!" teriak Budiman yang mulai ketakutan melihat anjing di samping Ibra yang menyeringai menampakkan gigi runcingnya dan juga tatapan buasnya.
"Sekali lagi aku bertanya, punya dendam apa Agung Prayoga dan anaknya padaku?" cecar Ibra.
Nyatanya Budiman Anggoro benar-benar menutup mulutnya rapat-rapat. Matanya sempat menjelajah berusaha mencari celah untuk bisa kabur, tapi mana mungkin. Sedikit gerak saja dia yakin anjing itu akan langsung menerkamnya tanpa ampun.
Seperti paham apa yang Budiman pikirkan, Ibra tampak menyeringai. Semakin pria itu ketakutan, Ibra akan semakin senang.
"Go King!" titahnya.
Budiman menjerit histeris saat anjing herder buas itu menyalak keras sambil melompat menerkamnya. Kaki dan tangannya sudah mulai kebas dengan darah yang terus mengalir keluar, membuatnya tidak bisa berkutik jadi sasaran anjing itu.
Reza tampak meringis ngilu. Ini untuk kedua kalinya dia melihat langsung keberingasan Ibra, setelah dulu disuguhi tontonan sadis saat pria itu membunuh Ega Mahesa.
"Dasar gila!" gumam Reza.
"Memangnya kapan Ibra pernah waras?" sahut Bian.
"Dia hanya terlihat seperti manusia normal saat bersama keluarganya saja," tambah Xena.
"Ampun! Aku akan bicara," teriak Budiman setelah tidak kuat menahan siksaan Ibra.
"Stop King!" serunya keras. Anjing itu berhenti menggigit, lalu kembali duduk di samping kaki Ibra dengan tatapan awasnya ke arah Budiman yang terkapar bersimbah darah.
"Kamu hanya punya satu kesempatan. Berani bermain-main lagi denganku, aku akan membuatmu mati pelan-pelan oleh anjingku. Bagiku itu jauh lebih menyenangkan daripada langsung membunuhmu."
"Terkutuk kamu!" maki Budiman menyumpahi Ibra yang sedang menatapnya datar
"Apa ada hubungannya dengan kematian adik Andra? Jawab!" gertak Ibra yang mulai kehilangan sabarnya.